BerandaTafsir Al QuranSejarah Kemunculan Tafsir Pesantren

Sejarah Kemunculan Tafsir Pesantren

Tafsir Pesantren sejatinya termasuk bagian dari Tafsir Indonesia. Karena itulah, mengkaji Tafsir Pesantren sama seperti mengkaji tafsir Indonesia. Tafsir Indonesia itu sendiri sering diartikan sebagai sebuah karya di bidang tafsir yang memiliki konteks keindonesiaan. Akan tetapi, sebuah karya yang disebut sebagai Tafsir Indonesia tidak selamanya berupa karya tafsir yang berbahasa Indonesia saja. Lebih dari itu, terdapat sebagian karya tafsir yang ditulis menggunakan Bahasa Arab, namun tetap memiliki unsur-unsur lokalitas dalam bingkai keindonesiaan.

Baca juga: Dinamika Perkembangan Tafsir Indonesia: Dari Masuknya Islam hingga Era Kolonialisme

Sebagai contoh, karya tafsir yang menggunakan Aksara Pegon. Meskipun bertuliskan Huruf Arab, secara substansi, tafsir tersebut kental dengan nuansa kelokalan. Hal tersebut terlihat dari pilihan bahasa yang dipakai, seperti bahasa Jawa, Sunda, Madura, Bugis, dan sebagainya.

Pengertian Tafsir Pesantren

Penggunaan frasa “Tafsir Pesantren” merupakan gabungan dari dua kata yaitu, tafsir dan pesantren. Tafsir adalah hasil dari kegiatan memahami ayat-ayat Alquran berdasarkan metode dan pendekatan tertentu. Sedangkan pesantren adalah lembaga pendidikan Islam sebagai tempat belajar agama bagi masyarakat, yang ditransmisikan oleh Kiai kepada Santri.

Sejalan dengan itu, di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah pesantren dimaknai dengan asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji, yang berhubungan dengan keagamaan.

Penyebutan istilah tafsir pesantren mempunyai dua pemaknaan. Pertama, tafsir atas ayat-ayat Alquran yang lahir di pesantren dan dikarang oleh orang pesantren. Maksudnya adalah tafsir yang hanya dikarang oleh mufasir pada saat berkecimpung dalam dunia pesantren.

Kedua, tafsir yang dikarang oleh seorang mufasir dengan background pesantren. Yang dimaksud yaitu, setiap karya tafsir yang ditulis oleh seorang mufassir, yang memiliki latar belakang pesantren, meski ia telah hidup di luar pesantren.

Awal Kemunculan Tafsir Pesantren

Tafsir Pesantren terlahir dari jaringan keulamaan pesantren dengan tradisi intelektual yang dijumpai di Timur Tengah. Para ulama di fase-fase awal, telah menerapkan strategi untuk memperkenalkan Islam kepada masyarakat Nusantara melalui karya tafsir Alquran.

Pada abad ke-16 M atau kisaran awal abad ke-17 M, muncul naskah Tafsir Surah Alkahfi yang belum diketahui siapa penulisnya. Namun, Islah Gusmian menduga bahwa tafsir ini ditulis pada awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Atau bahkan, bisa jadi tafsir tersebut ditulis sebelum masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, yaitu di era pemerintahan Sultan Ala’ al-Din Ri’ayat Syah Sayyid al- Mukammil (1537-1604).

Masih di abad ke-17 M, sebuah karya tafsir yang dikarang oleh Ulama Nusantara yang notabenenya dari kalangan santri. Beliau bernama Abd Ra’uf Singkel (1615-1693). Sosok Ulama yang mempunyai hubungan akrab dengan kekuasaan kesulatanan Aceh pada saat itu. Ia menulis karya tafsir yang berjudul Turjuman al-Mustafid.

Nuansa lokalitas keindonesiaan pada tafsir tersebut terlihat jelas pada pemilihan bahasa yang dipakai, yakni Bahasa Melayu. Sebagaimana sudah umum diketahui oleh para pecinta kajian tafsir, kitab tafsir ini merupakan karya tafsir nusantara pertama yang ditulis lengkap 30 juz.

Pada fase berikutnya, kajian tafsir Alquran di Indonesia semakin menggeliat dan berkembang pesat. Di fase ini, Syekh Nawawi al-Bantany merupakan tokoh penting dalam konstelasi intelektual ulama nusantara. Banyak karya-karya yang lahir dari kecerdasan dan kealimannya, termasuk dalam bidang tafsir.

 Karyanya dalam bidang tafsir adalah Marah Labid li kasyf Ma’na al-Qur’an al-Majid atau juga dikenal dengan Tafsir al-Munir. Tafsir ini pertama kali diterbitkan di Mekah pada tahun 1880 M.

Baca juga: Tafsir Alquran Aksara Pegon yang Dikenal dalam Tradisi Tafsir Pesantren

Singkat cerita, setelah karya tafsir mulai diperkenalkan di berbagai pesantren, ternyata banyak dari kalangan santri yang menekuni bidang ini, hingga muncul beberapa santri, yang belakangan tampil sebagai mufasir produktif. Produktivitas mereka dibuktikan dengan karya tafsir yang dihasilkan.

Tercatat beberapa karya tafsir seperti Faidh ar-Rahman fî Tarjamah Kalam Malik al-Dayyan, karya Kiai Saleh Darat, Al-Ibriz li Ma‘rifah Tafsîr al-Qur’an al-‘Aziz karya KH. Bisri Mustofa, Al-Iklil li Ma‘ani at-Tanzil dan Taj al-Muslimin min Kalam Rabb al-Alamin, karya KH. Misbah Mustofa, Al-Mahalli karya KH. Ahmad Mudjab Mahalli, dan sebagainya.

Di daerah lain, muncul pula ulama tafsir dari tanah Sunda, yang bernama KH. Ahmad Sanoesi. Beliau menulis kitab tafsir monumentalnya dengan judul Raudhah al-‘Irfan fî ma’rifah al-Qur’an dan kitab Mulja’ al-Thalibin. Karya tersebut sebagai bentuk dedikasi Kiai Ahmad Sanusi terhadap penyebaran nilai-nilai Islam, khususnya kepada masyarakat Sunda.

Selain itu, di daerah Jawa Timur juga muncul ulama kharismatik kenamaan, yaitu KH. Abul Fadhal Senori yang berasal dari Tuban. Beliau menulis tafsir bercorak fiqhi yang berjudul Tafsir al-Ayat Ahkam min al-Qur’an al-Karim.

Baca juga: Belajar dari Mbah Fadhal al-Senory, Guru Besar Ulama Nusantara dan Tafsir Fikihnya

Tri Febriandi Amrulloh
Tri Febriandi Amrulloh
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Alquran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga, Staff Pengajar di Al Azhar Yogyakarta, Minat Kajian Manuskrip Mushaf Al-Qur’an dan Tafsir Nusantara
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...