BerandaTafsir TematikSeni Rekonsiliasi Konflik Ala Nabi Muhammad

Seni Rekonsiliasi Konflik Ala Nabi Muhammad

Adalah hal yang lumrah dalam lingkaran sosial jika seseorang menjumpai konflik, baik di lingkup keluarga, pertemanan, tempat kerja, masyarakat, atau bahkan konflik dalam diri sendiri. Namun demikian, tidak berarti konflik dibiarkan begitu saja tanpa ada upaya mengelola konflik dan meredamnya. Surah Ali Imran ayat 159 mengajak kita belajar bagaimana upaya rekonsiliasi konflik yang telah diteladankan Nabi Muhammad. Beliau yang mempunyai perangai sangat luhur dan mulia telah dididik langsung oleh Allah. Baginda Nabi selalu bersikap lemah lembut, berjiwa pemaaf, bersedia mendengar saran dari orang lain, sangat demokratis, serta tidak otoriter dalam memutuskan sesuatu.

فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ

“Maka, berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.”

Sebab penurunan Q.S. Ali Imran [3]: ayat 159

Sayyid Qutb dalam Kitab Tafsir Fi Zilalil Qur’an menerangkan, ayat ini turun berkaitan dengan peristiwa Perang Uhud yang terjadi pada tahun 3 Hijriah. Pada waktu itu, semangat kaum muslimin berkobar untuk pergi berperang. Terutama, mereka yang sebelumnya tidak ikut Perang Badar. Namun barisan mereka mengalami guncangan. Banyak dari pasukan sahabat yang meninggalkan pos-pos yang telah ditentukan dalam peperangan itu. Akibatnya, umat Islam mengalami kekalahan.

Peristiwa ini sebenarnya sangat wajar kalau mengundang emosi manusia untuk marah, tetapi Nabi Muhammad masih tetap menunjukkan sikap kelemahlembutan kepada mereka. Meskipun sebelum peperangan itu, Rasulullah bermusyawarah dan menerima usulan tentang strategi peperangan dari para sahabat, yang lantas hasil kesepakatan diabaikan saat peperangan terjadi dengan meninggalkan pos masing-masing.

Baca juga: Quraish Shihab: Ada Isyarat Kedamaian Pada Ayat-Ayat Perang

Redaksi ayat yang disusul dengan perintah memberi maaf dan seterusnya menegaskan bahwa sikap Nabi Muhammad saw. yang amat luhur, tidak bersikap keras, tidak juga berhati kasar, pemaaf, dan bersedia mendengar saran dari orang lain. Itu semua disebabkan karena rahmat Allah kepada beliau, yang telah mendidiknya sehingga semua faktor yang dapat mempengaruhi kepribadian beliau disingkirkan.

Rangkaian peristiwa tersebut melatarbelakangi penurunan Surah Ali Imran ayat 159 untuk menenangkan dan menyenangkan hati Rasulullah. Selain itu, juga untuk menyadarkan kaum muslimin akan salah satu nikmat Allah, yaitu Rasulullah yang memiliki akhlak mulia, pemaaf, lemah lembut, selalu tawakal, dan menerapkan asas musyawarah.

Isi kandungan Surah Ali Imran ayat 159 dan teladan Rasulullah dalam memecahkan konflik

Ayat ini dapat memberi inspirasi motivasi dan advokasi tentang resolusi konflik demi terwujudnya perdamaian sosial. Salah satu upaya merekonsiliasi konflik adalah dengan media musyawarah, yaitu upaya untuk memecahkan persoalan guna mengambil sebuah keputusan terbaik sebagai solusi terkait problem yang sedang terjadi. Sebab, dengan bermusyawarah diharapkan akan diperoleh pandangan yang lebih membawa kepada kebaikan bersama.

Sejarah mencatat begitu banyak kisah yang menceritakan Rasulullah dan para sahabat melaksanakan musyawarah untuk mengambil keputusan dalam suatu problem atau konflik. Selain dalam riwayat perang uhud yang dijelaskan dalam ayat ini, peristilah islah dalam perjanjian Hudaibiyah juga menunjukkan sikap Nabi saw. untuk menyelesaikan konflik dengan musyawarah. Pun saat perang Ahzab dan perang Badar, Rasulullah mengajak sahabat bermusyawarah untuk mufakat.

Quraisy Shihab berpendapat, musyawarah atau syura adalah salah satu pokok ajaran yang sangat penting dalam Islam.  Merujuk penjelasan dari Tafsir al-Azhar, al-Munir, dan Ibnu Katsir penulis mensarikan, dalam Q.S. Ali Imran ayat 159 disebutkan tiga sifat dan sikap yang diperintahkan kepada Nabi Muhammad saw. secara berurutan. Penyebutan ketiga hal itu, walaupun dari segi konteks penurunan ayat mempunyai makna tersendiri yang berkaitan dengan Perang Uhud, secara implisit juga menerangkan prinsip esensi musyawarah yang harus dimiliki setiap orang untuk menyelesaikan permasalahan bersama.

Baca juga: Rasulullah Adalah Karunia Ilahi, Maka Berbahagialah atas Kelahirannya!

Pertama, ketika melakukan musyawarah apalagi sesorang yang berada dalam posisi pemimpin, yang pertama harus dia hindari adalah tutur kata yang kasar serta sikap keras kepala, karena jika tidak, maka mitra musyawarah akan bertebaran pergi. Telah dicontohkan Rasulullah dalam hal ini untuk bersikap lemah lembut dan menjauhi sikap kasar. Kata-kata kasar dan keras hati adalah sikap yang secara fitrah dibenci oleh manusia. Sedangkan, Baginda Nabi adalah pemimpin yang agung. Beliau tidak pernah marah karena persoalan pribadi. Sayyid Qutb menggambarkan pribadi beliau, “Tak pernah sempit dadanya menghadapi kelemahan mereka selaku manusia dan tak pernah mengumpulkan kekayaan untuk dirinya sendiri bahkan memberikan segala yang beliau punya. Kesantuan, kesabaran, kebajikan kelemahlembutan dan cinta kasih sayangnya yang mulia senantiasa meliputi mereka.”

Syaikh Wahbah al-Zuhaili menambahkan dengan mengutip atsar dari Umar bin Khattab: “Tidak ada sikap lembut yang lebih dicintai Allah dari sikap lembut dan murah hati seorang pemimpin. Dan tidak ada sikap kasar lagi angkuh yang lebih dibenci Allah dari sikap kasar dan arogansi seorang pemimpin seorang yang melakukan musyawarah, apalagi yang berada dalam posisi pemimpin.” Ini mengisyaratkan, sikap lemah lembut harus dimiliki oleh setiap mukmin, terlebih lagi jika ia seorang pemimpin. Jika ada pemimpin yang kata-katanya kasar dan hatinya keras, manusia akan menjauhinya. Kalaupun ada yang mendekat, mereka mendekat bukan karena cinta, tapi karena takut dan terpaksa.

Kedua, rekonsiliasi konflik atau islah diupayakan dengan sikap legowo dua pihak yang saling berseteru untuk saling memaafkan dan berdamai. Begitu pula, upaya untuk memecahkan problem bersama dalam hal ini setiap orang yang musyawarah harus mempersiapkan mental untuk selalu bersedia memberi maaf, karena boleh jadi ketika melakukan musyawarah terjadi perselisihan pendapat yang bahkan boleh jadi mengubah musyawarah menjadi pertengkaran dan melahirkan konflik baru.

Ketiga, yang harus mengiringi musyawarah adalah permohonan maghfirah atau ampunan kepada Allah. Hal ini dilakukan untuk mencapai hasil yang terbaik.

Baca juga: Teladan Baginda Nabi dalam Membangun Relasi Suami-Istri

Demikian Alquran mengajarkan tentang etika dalam menyelesaikan suatu perkara dengan mengedepankan prinsip lembut dan santun, dengan tidak berkata kasar, saling memaafkan, serta memohon maaf kepada Allah. Nabi Muhammad mendidik kita dengan perangai yang sangat mulia, dalam bermusyawarah Baginda Nabi menekankan untuk belajar selalu bersedia mendengar dan menghargai pendapat orang lain, tidak boleh mementingkan idenya sendiri, apalagi sampai memaksa orang lain untuk mengikutinya. Begitu juga, jika hasil musyawarah untuk menyelesaikan perselisihan itu telah tercapai, seyogianya tetap menyandarkan diri dengan bertawakkal kepada Allah, agar keputusan bersama yang telah diambil itu diberikan kemudahan jalan dalam pelaksanaan hasil keputusan musyawarah tersebut, serta yang terleih penting adalah tidak menyimpang dari ketentuanNya.

Rasyida Rifaati Husna
Rasyida Rifaati Husna
Khadimul ilmi di Pondok Pesantren Darul Falah Besongo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...