Fakta bahwa terdapat sepuluh perintah Tuhan yang secara mendasar memiliki makna yang mendalam bagi kalangan Yahudi dan Kristen tidak dapat terbantahkan lagi. Sepuluh perintah ini merupakan mikrokosmos dari sumber ajaran yang lebih besar, yakni Al-Kitab, yang dalam catatan beberapa sarjana berasal dari perjanjian yang terjadi antara Tuhan dengan manusia di sebuah pegunungan Sinai. Tulisan ini berusaha melihat temuan-temuan Sebastian Günter (Günther 2007), terkait sejauhmana Al-Qur’an mengakomodir secara tegas sepuluh perintah Tuhan dalam Al-Kitab. Lebih lanjut, Sebastian Günter juga ingin melihat sejauhmana kolerasi di antara Al-Kitab dan Al-Qur’an ketika berbicara berkenaan dengan sepuluh perintah Tuhan.
Sepuluh Perintah dalam Al-Kitab
Secara umum, merujuk kepada Keluaran 20: 1-17, juga biasa disebut dengan Perjanjian Lama, sepuluh perintah Tuhan yang diyakini dalam keyakinan umat Yahudi dan Kristen ini berisi mengenai daftar ajaran dalam agama, tatanan hukum, dan kode etik sosial yang terbagi menjadi dua bagian penting—dengan masing-masing lima perintah.
Bagian pertama, terkait hubungan Tuhan dengan manusia. Bagian ini meliputi antara lain larangan menyembah Tuhan selain Allah, melarang politeisme, penyembahan terhadap berhala, ketetapan untuk beristirahat satu hari dalam tujuh hari, dan menghormati orang tua. Bagian kedua, terkait interaksi sesama manusia. Bagian kedua ini meliputi antara lain larang untuk tidak membunuh sesama manusia tanpa disertai dengan sebab yang dibenarkan (tidak adil), larangan perzinaan, larangan mencuri, berdusta dalam kesaksian, dan larangan mengambil hak atau barang yang bukan miliknya.
Baca Juga: Sepak Terjang Orientalis dalam Penerjemahan Al-Qur’an dan Respons Umat Islam
Hal serupa juga dinyatakan kembali dalam Perjanjian Baru lengkap dengan penguatan signifikansinya. Hanya saja, sebagaimana disebutkan dalam Markus 10:19, Yesus, sebagai sosok yang diyakini sebagai manusia yang melakukan perjanjian, menyebut sepuluh perintah hanya dengan sebutan ‘Perintah’. Hal ini juga diperkuat dalam Matius 19: 17-19, yang menyatakan bahwa Perjanjian Baru ini mengikat di bawah tatanan Hukum Baru dan memberikan daftar singkat tentangnya.
Sepuluh Perintah, Al-Qur’an, dan Tafsir
Meskipun pada dasarnya Al-Qur’an tidak secara terang-terangan berbicara mengenai sepuluh perintah Tuhan, namun jika melihat secara lebih mendalam, pada dua kesempatan, yakni QS. Al-Baqarah [2]: 83-84 (periode Madinah) dan QS. Al-A’raf [7]: 142-145 (periode Mekkah akhir) nampaknya Al-Qur’an telah memberikan kode referensi khusus yang berkaitan dengan sepuluh perintah sebagaimana tercantum dalam Al-Kitab.
Terkait dengan tafsir atas referensi yang pertama (QS. Al-Baqarah [2]: 83-84), para penafsir dari kalangan muslim awal menawarkan penjelasan berkenaan dengan hukum perjanjian Allah dengan orang Israel. Sebastian Günter tidak menyebutkan secara tegas ihwal siapa yang menjadi rujukan dalam era ini. Ia hanya menunjukkan bahwa komentar atas hadirnya ayat ini menunjukkan bahwa ayat ini ditujukan kepada orang-orang Yahudi untuk memenangkan mereka demi Islam dan menjadikan mereka sebagai sekutu Muslim.
Terlepas dari komentar yang hadir pada era ini, para penafsir justru lebih tertarik pada keyakinan bahwa orang Israel terlah melanggar perjanjian yang dibuat di Gunung Sinai. Ini terlihat dengan jelas dalam QS. Al-Baqarah [2]: 83 dan Keluaran 32:8. Adapun dalam pandangan penafsir abad pertengahan, mereka tidak banyak memberikan komentar hubungan langsung ayat ini dengan sepuluh perintah dalam Al-Kitab. Umumnya, para penafsir era ini mengajukan argumen bahwa ayat ini sejajar dengan apa yang ada di dalam Taurat.
Sementara itu, terkait dengan QS. Al-A’raf [7]: 142-145, sampai pada titik tertentu menyatakan bahwa ayat ini berkaitan erat dengan ‘Tablet’ yang diterima oleh Musa. Namun isi dari apa yang terdapat di dalam ‘Tablet’ tersebut tidak cukup menarik perhatian beberapa kalangan penafsir abad pertengahan.
Ketidakpedulian ini nampaknya sangat berkaitan erat dengan doktrin bahwa pada akhirnya melalui Al-Qur’an, Tuhan telah memberikan petunjuk apa yang harus diketahui oleh umat manusia. At-Tabari (w. 310/923) misalnya. Ia menyatakan bahwa teks yang terima Musa dalam ‘Tablet’ hanya diperuntukkan untuk kalangan orang Israel saja. Dan karenanya, bagi At-Tabari, ini dianggap tidak memiliki pengaruh langsung pada umat Islam.
Di sisi yang lain, Fakhruddin al-Razi (w. 606/1209) turut dalam perbincangan ayat ini. Secara ringkas ia menyebut bahwa ‘Tablet’ yang diterima Musa di Gunung Sinai ini termasuk dalam ‘peraturan hukum’, juga sebagai materi naratif yang berfungsi mendorong kepada sikap patuh. ‘Tablet’ ini berisi apa yang Musa dan kaumnya perlu ketahui tentang agama, apa yang diperbolehkan dan dilarang.
Perspektif yang berbeda hadir dari Abu Ishaq al-Thalabi (w. 427/1035) dalam Qasas al-Anbiya’. Ia menjelaskan QS. Al-A’raf [7]: 142-145 dengan memberikan parafrase yang dekat dengan QS. Al-Isra’ [17]: 22-39 dan QS. Al-An’am [6]: 151-153. Menurutnya, ada dua poin penting yang berkait dengan ayat tersebut. Pertama, dalam QS. Al-Isra’ [17]: 22-39, Al-Qur’an mengakomodir tidak hanya secara umum dari apa yang disebut dengan ‘sepuluh perintah’ dalam Al-Kitab, bahkan secara khusus dan terperinci dari ‘sepuluh perintah’. Kedua, dalam QS. Al-An’am [6]: 151-153, Al-Qur’an memberikan identifikasi ringkas yang berkaitan dengan ‘sepuluh perintah’ dalam Al-Kitab.
Sebagaimana para penafsir pada abad sebelumnya, penjelasan yang berkaitan dengan QS. Al-Baqarah [2]: 83-84 dan QS. Al-A’raf [7]: 142-145 juga hadir di era modern. Beberapa nama yang tercatat dalam usaha ini antara lain Muhammad al-Amin al-Shinqiti (w. 1913), Muhammad Syahrur (b. 1938) dalam al-Kitab wa al-Qur’an: Qira’ah Mu’asirah, dan Abu al-Maududi (1903-1979).
Muhammad Syahrur, misalnya, menyatakan bahwa kedua ayat tersebut jika direnungkan secara mendalam merujuk kepada ‘sepuluh perintah’ dalam Al-Kitab. Al-Maududi juga menjelaskan ayat tersebut dengan menghubungkan QS. Al-Isra’ [17]: 36. Menurutnya, dalam QS. Al-Isra’ [17]: 36 terdapat katalog perintah yang menentukan prinsip dasar dari ‘sepuluh perintah’ dalam Al-Kitab, yang di dalam Islam, hal ini bertujuan membangun seluruh struktur kehidupan manusia.
Temuan-temuan
Berdasarkan usaha ini, Sebastian Günter menemukan tiga poin penting. Pertama, sejak kebangkitan Islam, wacana untuk melihat dengan QS. Al-Isra’ [17]: 22-39 dan QS. Al-An’am [6]: 151-153 sebagai sebuah katalog perintah telah mencerminkan pada adanya kesejajaran dengan ‘sepuluh perintah’ dalam Al-Kitab. Lebih lanjut, dalam usaha ini telah terjadi pergeseran perhatian untuk melihat secara lebih mendalam apa yang terdapat dalam QS. Al-Baqarah [2]: 83-84 dan QS. Al-A’raf [7]: 142-145, terutama ihwal ajaran-ajaran etis-religius.
Baca Juga: Mengenal Asal Muasal Doa Khatmil Quran
Kedua, baik di dalam Al-Kitab maupun dalam Al-Qur’an, keduanya memberikan persamaan penekanan dalam menjelaskan ihwal keberadaan Tuhan yang satu, menjalankan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya.
Ketiga, meskipun kedua kitab suci ini memiliki dimensi persamaan yang cukup signifikan, namun keduanya memiliki perbedaan pada titik tertentu. Misalnya terkait dengan menjaga kekudusan hari Sabat dan tidak melakukan pekerjaan apapun di hari itu. Di dalam Al-Qur’an, penekanan yang dominan justru berkaitan dengan nilai moral-kemanusiaan. Wallahu ‘alam