Sepak Terjang Orientalis dalam Penerjemahan Al-Qur’an dan Respons Umat Islam

Sepak Terjang Orientalis dalam Penerjemahan Al-Qur’an dan Respons Umat Islam
Sepak Terjang Orientalis dalam Penerjemahan Al-Qur’an

Al-Qur’an sebagai kitab suci yang disakralkan dan dijadikan pedoman dalam kehidupan segenap umat Islam mengandung berbagai nilai hukum dan ilmu pengetahuan. Inilah yang menjadi pendorong bagi jutaan umat manusia untuk mengkaji dan mendalami substansinya. Dari berbagai bentuk upaya yang dilakukan, salah satunya adalah dengan menerjemahkannya.

Penerjemahan Al-Qur’an menjadi suatu usaha untuk mendukung masyarakat dunia dalam menelaah serta memahami pesan-pesan yang tersimpan di dalamnya yang mulanya berbahasa Arab. Namun pada pelaksanaannya, penerjemahan ini tidak berjalan mulus begitu saja. Terjadi perdebatan yang cukup pelik di internal umat Islam sendiri, kaitannya tentang kebolehan penerjemahan Al-Qur’an ke dalam bahasa lain.

Perdebatan inilah yang kemudian dijadikan celah bagi kalangan orientalis Eropa untuk mengambil langkah penerjemahan Al-Qur’an. Lantas, akankah upaya ini mampu memperkaya khazanah Al-Qur’an atau justru malah menjadi bumerang bagi eksistensi umat Islam?

Baca juga: Perkembangan Penerjemahan Al-Quran di Indonesia dari Masa ke Masa

Penerjemahan Al-Qur’an di Barat

Tradisi penerjemahan Al-Qur’an terbagi dalam beberapa periode pada kisaran abad ke-17 hingga 21. Pada abad ke-17, terjemahan Al-Qur’an dicetuskan pertama kali oleh Alexander Ross. Terjemahan ini diterbitkan pada tahun 1649 dalam bahasa Inggris dengan judul The Alcoran of Mahomet. Sebenarnya, karya ini tidak lebih hanya sebatas jiplakan dari terjemahan Andre du Ryer dengan bahasa Perancis berjudul L’Alcoran de Mahomet yang telah lebih dulu diluncurkan pada tahun 1647.

Pada periode berikutnya, di kisaran abad ke-18, George Sale juga mulai melangsungkan penerjemahan Al-Qur’an dalam bahasa Inggris dengan judul The Al-Koran of Mohammed. Terjemahan yang dilakukan secara langsung dari bahasa Arab ini terbit di London pada tahun 1731. Disusul pada abad ke-19 dengan lahirnya para penerjemah baru. Di antara mereka adalah Rodwell yang tampak memiliki ambisi kuat untuk melecehkan Al-Qur’an dan juga Nabi Muhammad.

Tak hanya itu, muncul pula Edward Henry Palmer, seorang pengajar bahasa Arab di Saint John College Cambridge. Tokoh berkebangsaan Inggris inilah yang menerbitkan terjemahan berjudul The Qur’an di London. Berbagai kalangan orientalis lain yang juga berupaya menerjemahkan Al-Qur’an dalam beragam bahasa antara lain yaitu, Andrew Arrevabene (Italia), Johannes Andreas (Spanyol), Scheigger (Jerman), J. H. Glazemaker (Belanda), Savary (Perancis), L. Uhlmann (Inggris), dan lain sebagainya (Aceh, 1986, hal. 41-42).

Adapun pada abad ke-20, hadir beberapa penerjemah lain seperti Richard Bell, Arthur J. Arberry, dan Nessim Joseph Dawood. Periode ini juga diiringi dengan mulai meningkatnya minat dalam kajian Islam yang ditandai berdirinya program Islamic Studies, Sejarah, Bahasa, Peradaban, serta Kebudayaan Timur Tengah di banyak perguruan tinggi Barat maupun Eropa. Di samping itu, muncul pula berbagai ilmuwan Islam yang turut mewarnai penerjemahan Al-Qur’an Setidaknya terdapat 73 karya terjemahan berbahasa Inggris yang terbit di abad ini.

Sedangkan pada abad ke-21, kajian lebih cenderung terfokus pada pengembangan model analisa terjemahan. Sehingga, pada periode ini hanya terdapat kisaran 45 karya yang diterbitkan dalam bahasa Inggris (Haleem, 2004, hal. 26-29).

Selain itu, penerjemahan selanjutnya juga diluncurkan dalam berbagai bahasa Eropa lainnya, meliputi bahasa Rusia, Polandia, Swedia, Yunani, Portugis, Kroasia, Bulgaria, Rumania, Ceko, Denmark, dan sebagainya (Amal, 2005, hal. 427-429).

Di samping penerjemahan secara tertib mushafi, para orientalis juga menerjemahkan Al-Qur’an sesuai runtutan turunnya wahyu. Sebagaimana yang dijalankan oleh J. M. Rodwell Hubert Grimme dan Richard Bell (McAuliffe, 2006, hal. 344-354).

Berbagai usaha dan bentuk penerjemahan Al-Qur’an tersebut sudah barang tentu mempunyai misi ataupun relevansi tertentu yang melatarbelakangi serta menjadi tujuan diadakannya kegiatan ini. Bagi para orientalis, pastinya Al-Qur’an berperan sebagai gerbang untuk mendalami ideologi umat Islam. Pijakan inilah kiranya yang menjadi pondasi dan antusiasme mereka dalam penerjemahan Al-Qur’an ke berbagai macam bahasa.

Faktor lainnya agaknya juga didasari oleh keinginan orientalis untuk merobohkan agama Islam (Syamsuddin, 2008, hal. 7). Parahnya, berbagai terjemahan sering kali diliputi oleh sangkalan dan antipati terhadap Al-Qur’an.

Mayoritas dari mereka menerjemahkan Al-Qur’an untuk kepentingan pribadi masing-masing. Kegiatan ini justru dijadikan ajang untuk menghujat dan mengecam kandungannya, sekaligus membuktikan kepada masyarakat luas bahwa kata maupun kalimat dalam Al-Qur’an cenderung susah dipahami.

Baca juga: Al-Quran dan Orientalis: Penerjemahan Al-Quran dalam Bahasa Latin

Respons umat Islam atas terjemahan orientalis

Adapun penerjemahan Al-Qur’an di kalangan umat Islam, ia dilandasi oleh keimanan dan kepercayaan akan kemukjizatannya, serta melanggengkannya sebagai pedoman kehidupan. Lain halnya dengan para orientalis yang sama sekali tidak mempertimbangkan tingkat kesakralan dan keautentikannya. Sehingga, hasil yang diperoleh hanya sebatas kerja akademik, bahkan kadangkala berisi kritikan, sanggahan, bahkan cemoohan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an (Makrifat, 2007, hal. 302).

Pada awalnya, kalangan orientalis memang menerjemahkan Al-Qur’an ke dalam bahasa Latin. Namun lambat laun, berbagai terjemahan setelahnya tidak menggunakan Al-Qur’an secara langsung, tetapi malah mengukuhkan terjemahan Latin sebagai acuan utama. Sehingga yang terjadi adalah bukan penerjemahan Al-Qur’an, melainkan penerjemahan dari terjemahan versi Latin tersebut. Naasnya, terjemahan ini kemudian diklaim sebagai terjemahan Al-Qur’an secara resmi.

Kenyataan ini tentu cukup berbahaya bagi eksistensi risalah Al-Qur’an, lantaran mampu menjerumuskan umat, terlebih yang belum memahami Islam secara lebih mendalam. Oleh sebab itu, muncul berbagai respons dari para cendekiawan dan ulama muslim untuk menerjemahkan Al-Qur’an. Dengan ini, harapannya, pesan-pesan yang terkandung dalam Al-Qur’an dapat tersalurkan secara detail dan menyeluruh (Al-Makin, 2015, hal. 72-73).

Walaupun tidak bisa ditepis bahwa terdapat berbagai kalangan orientalis yang memandang remeh agama Islam, akan tetapi cukup banyak pula dari mereka yang berkonsentrasi pada kajian Al-Qur’an maupun kajian keislaman lainnya dan tidak lagi terbatas hanya terhadap penerjemahan Al-Qur’an.

Pergeseran pandangan ini menjadikan sebagian orientalis mampu bersikap lebih moderat, bahkan bersahabat dalam menjalankan kajian keislaman yang lebih ilmiah. Banyak pula dari mereka justru berupaya mengklarifikasi dan membela Islam dari gempuran yang dilakukan para orientalis sebelumnya. Sebutan orientalis juga mulai luntur seiring dengan lahirnya istilah baru, yaitu islamisis ataupun islamolog (Baihaki, 2017, hal. 21-36).

Berubahnya paradigma kalangan orientalis, khususnya dalam penerjemahan Al-Qur’an pada abad 20 dan 21 ini tentu tidak terlepas dari semakin maraknya kajian Islam yang turut didominasi oleh mereka. Di samping itu, munculnya berbagai lembaga maupun universitas Islam yang mendalami kajian orientalis, termasuk pemikiran mereka telah mampu memberikan kontribusi positif bagi bertambahnya wawasan para cendekiawan muslim untuk menangkalnya seiring berjalannya waktu.

Baca juga: Robert of Ketton dan Dinamika Penerjemahan Al-Quran, Menjawab Kesimpulan Keliru Soal Kontribusi Orientalis dalam Studi Al-Quran

Jika awalnya umat Islam memang belum banyak berkutat dalam penerjemahan Al-Qur’an, sehingga seakan-akan menerima begitu saja hasil terjemahan para orientalis. Kini, dengan berbagai upaya mereka bergerak untuk turun langsung dalam upaya penerjemahan ini, baik secara mandiri, berkelompok, maupun melibatkan kalangan pemerintahan.

Alhasil, berbagai lapisan masyarakat, utamanya umat Islam bisa menyeleksi antara terjemahan yang keliru dan terjemahan yang dapat dipertanggungjawabkan yang mengantarkan pada pesan moral Al-Qur’an. Wallahu A’lam.

Baca juga: Mengenal Proyek Pemerintah Indonesia atas Terjemahan Al-Qur’an Berbahasa Lokal