BerandaTokoh TafsirAl-Qur’an dalam Konstruksi Pemikiran Abraham Geiger

Al-Qur’an dalam Konstruksi Pemikiran Abraham Geiger

Beragam kajian orientalis tentang Islam ditengarai mulai muncul pada awal abad ke-19 yang mencakup kajian Al-Qur’an, hadis, fiqh, dan sebagainya. Studi ketimuran (oriental studies) ini juga menjadi sebuah studi yang menganalisis berbagai hal kaitannya dengan linguistik, historis, hingga kultur atau peradaban Asia dan Afrika Utara.

Jika ditinjau dari perspektif filologi dalam jangkauan yang lebih luas, dapat dipahami pula orientalisme sebagai kajian terhadap budaya dengan mengadakan studi dari sumber otentiknya. Terlebih yang berhubungan dengan teks-teks tertentu yang cenderung bersifat dogmatis (Nanji, Peta Studi Islam: Orientalisme dan Arah Baru Kajian Islam di Barat, hal. 2). Studi inilah yang selanjutnya lebih familier disebut orientalisme, diikuti dengan perkembangan dan penyebarannya yang begitu pesat hingga saat ini.

Dari sederet nama tokoh orientalis yang mendalami berbagai lini disiplin keilmuan, mulai dari kajian bahasa Arab, teks, historis, keislaman, hingga hukum, dan lain-lain, mencuatlah satu nama yang mengkaji Islam dari sudut pandang Al-Qur’an, yaitu Abraham Geiger. Ia mengemukakan bahwa terdapat beberapa bagian Al-Qur’an yang condong mengadopsi kebudayaan Yahudi. Lantas, apakah pendapat demikian dapat dibenarkan atau justru layak dianggap sebagai statement yang salah kaprah?

Baca juga: Al-Quran dalam Pandangan Orientalis dan 3 Ajaran Islam yang Diadopsi dari Yahudi menurut Geiger

Keterpengaruhan Al-Qur’an terhadap budaya Yahudi

Konstruksi pemikiran Abraham Geiger tentang Al-Qur’an dideskripsikan dalam bukunya, Judaism and Islam. Pada buku tersebut ia menerangkan bahwa Al-Qur’an dipengaruhi oleh agama Yahudi dalam beberapa aspek; Pertama, lingustik, keimanan, dan ideologi. Kedua, aturan-aturan hukum dan moral. Ketiga, prinsip tentang kehidupan. Keempat, kisah-kisah dalam Al-Qur’an (Geiger, Judaism and Islam, hal. 41-72).

Terkait dengan aspek linguistik yang mengakar pada budaya Yahudi, menurut Geiger setidaknya terdapat 14 derivasi kata Al-Qur’an yang berasal dari bahasa Ibrani. 14 kata tersebut ialah sakinah, taagut, furqan, ma’un, masani, makalut, darasa, tabut, jannatu ‘adn, taurat, jahannam, rabbani, sabt, serta ahbar (As-Suyuti, Al-Itqan, hal. 197-199).

Pada kata tabut misalnya, Geiger menyatakan bahwa akhiran ut menunjukkan akar kata ini tidak berasal dari bahasa Arab, melainkan bahasa Ibrani yang berkaitan dengan doktrin Yahudi. Begitu pula dengan kata Jahannam yang diklaim sebagai bahasa Yahudi karena mengacu pada lembah Hinnom atau lembah yang dipenuhi kesengsaraan. Simbol inilah yang mendasari penggunaan Hinnom menjadi Gehinnom pada kitab Talmud sebagai isyarat neraka. Di samping itu, masih banyak derivasi kata lain yang dikatakan Geiger sebagai bentuk pengadopsian Al-Qur’an terhadap tradisi Yahudi (Geiger, Judaism and Islam, hal. 32).

Dilanjutkan dengan konsep keagamaan, yaitu keimanan dan doktrin keislaman. Dalam pandangan Geiger, terdapat berbagai bidang yang diadopsi Nabi Muhammad dari ajaran-ajaran sebelum Islam. Sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 29 tentang tujuh tingkatan surga yang seluruhnya sudah dinamai, ternyata tercantum pula pada kitab Chagiga 9: 2.

Selain itu, terkait dengan adanya hari pembalasan termasuk surga dan neraka, umat Yahudi juga mengimaninya. Disebutkan dalam Isaiah, v. 14 bahwa penjaga neraka setiap harinya berkata, “Berikan kami makanan, supaya kami merasa puas.” Hal serupa agaknya juga diterangkan dalam Al-Qur’an walaupun dengan redaksi yang cukup berbeda, tepatnya pada QS. Qaf [50]: 30.

Lalu berhubungan dengan aturan hukum maupun moral Yahudi yang juga lekat dengan ajaran tunggal, Geiger mengklaim Nabi Muhammad telah meminjam tuntunan ini. Seperti halnya perintah untuk salat atau sembahyang. Secara lebih spesifik, Geiger menuturkan bahwa konsep salat khauf atau salat dalam keadaan takut dan berbahaya sebagaimana diterangkan dalam QS. Al-Baqarah [2]: 238-239 juga tercantum pada surat X. 13. Persamaan inilah yang dinyatakan Geiger sebagai peminjaman tradisi.

Dijelaskan pula tentang legalitas tayamum. Pada ajaran Talmud, air juga menjadi salah satu cara untuk bersuci. Dan apabila tidak ditemukan air, pasir bisa digunakan sebagai opsi penggantinya. Hal ini jelas juga diperbolehkan dalam ajaran Islam (Geiger, Judaism and Islam, hal. 72). Selain itu, konsep tuntunan Islam lainnya seperti batalnya wudu saat bersentuhan dengan lawan jenis, adab dalam salat berjamaah, berbagai aturan dalam berpuasa, serta durasi masa ‘iddah selama tiga bulan dan rentang waktu menyusui selama dua tahun bagi perempuan juga dipandang sebagai pengadopsian agama Yahudi.

Tak hanya itu, menurut Geiger dalam hal prinsip kehidupan terdapat beberapa aspek yang memiliki kesamaan antara Islam dan Yahudi. Sebut saja keinginan untuk wafat dalam keadaan husnul khatimah yang diterangkan pada QS. Ali ‘Imran [3]: 193, juga dituturkan dalam Balaam 22: 10. Islam yang sangat menjunjung tinggi balasan kebaikan seperti terdapat dalam QS. An-Nisa’ [4]: 85, sebenarnya juga telah disebutkan konsep tersebut pada Baba Kamma 92 (Geiger, Judaism and Islam, hal. 70).

Disusul dengan kisah-kisah tertentu dalam Al-Qur’an yang dituduh menukil tradisi Yahudi, antara lain kisah tentang kepemimpinan laki-laki yang mencakup para Nabi utusan Allah kepada umatnya, kisah Nabi Musa, kisah tiga raja yang memiliki kekuasaan tak terbatas yaitu raja Thalut, Nabi Daud, dan Nabi Sulaiman, serta kisah kalangan orang suci yang diutus setelah era Nabi Sulaiman.

Baca juga: Pro Kontra Teori Peminjaman dan Keterpengaruhan Al-Quran Terhadap Yahudi dan Nasrani

Kritik pemikiran Abraham Geiger

Menurut Fazlur Rahman, buah pemikiran Abraham Geiger tentang Al-Qur’an sebagaimana pemaparan tersebut dapat dikategorikan sebagai karya orientalis yang memiliki upaya menunjukkan seberapa terpengaruhnya Al-Qur’an oleh tradisi atau kebudayaan Yahudi maupun Kristen (Rahman, The Major Themes of The Qur’an, hal. 5). Pada umumnya, golongan ini mayoritas menguak isu klasik bahwa Al-Qur’an hanyalah sebuah produk ataupun buah tangan Nabi Muhammad, serta dirangkai berlandaskan pada Bibel yang telah lebih dulu ada kala itu.

Dengan demikian, Geiger hendak menyatakan bahwa Al-Qur’an tidaklah suatu hal yang superior, lantaran telah dibuktikan isinya mengandung kombinasi dan plagiasi dari berbagai macam tradisi Yahudi, Nasrani, hingga Jahiliyah. Al-Qur’an hanya dipandang sebagai refleksi Nabi Muhammad berkaitan dengan kebudayaan dan keadaan masyarakat Arab pada saat itu, sehingga cenderung bersifat kultural.

Melalui berbagai penjelasan tersebut dapat ditarik benang merah bahwa sudah barang tentu terdapat berbagai bentuk derivasi kata Al-Qur’an yang memiliki kesamaan dengan kata-kata pada agama Yahudi. Di luar apakah hal ini murni sebagai bentuk akulturasi bahasa Yahudi atau malah memang terdapat keselarasan bahasa Al-Qur’an dengan bahasa Yahudi. Tentu perlu diakui pula bahwa agama Islam hadir tidak dalam ruang yang vakum historis, lantaran telah muncul berbagai tatanan sosial pada masyarakat sebelum Islam.

Maka dari itu, sangat dimungkinkan terjadi adanya akulturasi bahasa, adat istiadat, maupun budaya agama lain dengan ajaran Islam sebagai agama yang hadir setelahnya. Kendati demikian, realitas ini tidak dapat serta merta disebut mengubah keautentikan Al-Qur’an ataupun doktrin-doktrin keislaman. Hal ini lantaran Islam hadir tidak sebagai penentang, melainkan sebagai penyempurnaan bagi agama-agama sebelumnya.

Baca juga: Theodor Nöldeke: Sarjana German Pelopor Kajian Sejarah Al-Qur’an

Bagas Maulana Ihza Al Akbar
Bagas Maulana Ihza Al Akbar
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...