BerandaUlumul QuranKritik Atas Pandangan Theodor Noldeke Tentang al-Huruf al-Muqatta’ah

Kritik Atas Pandangan Theodor Noldeke Tentang al-Huruf al-Muqatta’ah

Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab, namun dalam memahami kosakata dan kalimatnya juga merupakan hal yang tidak mudah bagi kalangan orang Arab sendiri, apalagi kalangan non Arab. Sementara itu, Ibnu Khaldun mengklaim bahwa semua orang Arab memahami dan mengetahui makna, kosakata, dan kalimat di dalam Al-Qur’an dengan dalih diturunkan dalam bahasa Arab. Nah, dari pernyataan tersebut nampaknya perlu dikritisi, sebab jika yang dimaksud Ibnu Khaldun adalah kosakata dan kalimat al-Qur’an secara umum, maka tentu saja pernyataan tersebut ada benarnya. Akan tetapi, jika yang dimaksud adalah secara keseluruhan, maka pernyataan tersebut kurang tepat.

Hal ini dapat kita telaah melalui keberadaan bagian-bagian tertentu di dalam al-Qur’an yang sulit dipahami dan tergambar dengan jelas lewat pernyataan QS. Ali-Imran (3): 7. Ayat ini secara eksplisit menyebutkan dua klasifikasi ayat, ayat muhkamat dan ayat mutasyabihat. Ayat muhkamat merupakan ayat yang jelas maknanya, seperti perintah salat, membayar zakat, dan berpuasa di bulan Ramadhan. Sementara yang dimaksud dengan ayat mutasyabihat ialah ayat yang samar maknanya. Satu contoh di antara ayat yang samar ialah rangkaian huruf-huruf hijaiyah (al-huruf al-muqatta’ah) di permulaan beberapa surah (fawatih al-suwar) yakni, Kaf-ha-ya-‘ain-sad,Ya-sin, dan lainnya.

Dari sini muncul lah ketimpangan dalam hal memahami fawatih al-suwar. Dalam Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab menyebutkan bahwa pemahaman terhadap rangkaian huruf-huruf hijaiyah terkadang dikontrol untuk kebutuhan subjek sebagaimana yang direpresentasikan oleh sebagian penganut Syi’ah dan Sunni. Bagi kelompok Syi’ah, apabila huruf-huruf awalan itu dikumpulkan setelah dihapus ulangan-ulangannya akan tersusun suatu kalimat “sirat ‘Ali haqq numsikuh”, yang berarti “jalan Ali adalah kebenaran yang kita pegang teguh”. Pandangan ini mendapat respon dari kelompok Sunni yang pada akhirnya membuat slogan dari rangkaian al-huruf al-muqatta’ah yakni “sahh tariquk ma’ al-sunnah (benar jalanmu bersama kaum Ahl al-Sunnah).

Atas problematika tersebut, William Montgomery Watt dan Richard Bell dalam bukunya Introduction to the Qur’an” (Pengantar al-Qur’an) menyebutkan seorang orientalis yang bernama Hartwig Hirschfield juga mencoba merespons sekaligus mengkaji fawatih al-suwar ini. Dia memberikan penyelesaian dengan menganggap bahwa huruf sad sebagai isyarat untuk Hafsah, kaf untuk Abu bakar, dan nun untuk ‘Utsman. Kemudian ia menyimpulkan bahwa sebelum surah-surah tersebut tertulis secara permanen dalam Al-Qur’an, huruf-huruf itu hanyalah singkatan dari judul-judul surah yang tidak terpakai lagi.

Demikian pula argumen dari Theodor Noldeke yang memiliki pandangan mengenai huruf-huruf hija’iyah di awal surah. Menyandang predikat sebagai father of qur’anic critism, Noldeke selalu menjadi acuan bagi para orientalis lain dalam mengkaji dan mengkritisi otentisitas al-Qur’an. Melalui tulisan ini, penulis akan mengulas mengenai kritik atas pandangan Noldeke mengenai huruf muqatta’ah dalam al-Qur’an.

Baca juga: Theodor Nöldeke: Sarjana German Pelopor Kajian Sejarah Al-Qur’an

Pendapat Ulama tentang al-Huruf al-Muqatta’ah

Mengacu pada kitab al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an karya Muhammad bin Abdullah al-Zarkashi, beliau memberikan penjelasan adanya 29 surah dalam al-Qur’an yang diawali dengan al-huruf al-muqatta’ah. Ibnu Katsir sendiri menyimpulkan bahwa al-huruf al-muqatta’ah jika dihitung keseluruhannya tanpa pengulangan berjumlah 14 huruf. Huruf-huruf tersebut terangkai dalam kalimat نَصَّ حَكِيْم قَاطِع لَهُ سِرٌّ. Jika dihitung dengan jumlah pengulangannya, maka jumlah huruf muqatta’ah berjumlah 78 huruf.

Secara umum, pandangan ulama tentang makna al-huruf al-muqatta’ah dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

  1. Makna huruf tersebut tersembunyi, merupakan rahasia yang hanya diketahui Allah. Al-Suyuti dalam kitab al-Itqan fi ‘Ulum al-Qur’an menganggap bahwa pendapat ini sebagai pendapat yang terpilih. Ia mengatakan Ibn Munzir suatu ketika meriwayatkan bahwa al-Sa’bi pernah ditanya tentang fawatih al-suwar, ia berkata: Inn li kulli kitab sirran wa inn sirr hadha al-qur’an fawatih al-suwar (Setiap kitab suci memiliki rahasia, sedangkan rahasia al-Qur’an adalah ayat-ayat yang menjadi pembuka surah; al-huruf al-muqatta‘ah). Begitu pula pandangan al-Zarkashi, bahwa ayat mutasyabihat ialah hal yang harus diyakini dan diserahkan pemahamannya kepada Allah.
  2. Huruf muqatta‘ah dapat diketahui dan dipahami oleh mereka yang mendalam ilmu pengetahuannya, sehingga dapat menjangkau hikmah dan maksud yang dituju.

Baca juga: Hikmah Penggunaan Huruf-Huruf Hijaiyah Pada Fawatihus Suwar

Pandangan Theodor Noldeke tentang al-Huruf al-Muqatta’ah

Noldeke dalam bukunya Geschichte des Qorans, berpandangan bahwa huruf-huruf muqatta‘ah bukan bagian dari al-Qur’an, melainkan inisial dari nama-nama penulis al-Qur’an. Pandangan Noldeke ini memang bukan hal baru, ia merujuk pada pendangan Jacob Golius dan George Sale. Bagi Sale, meskipun penafsiran terhadap makna huruf muqatta‘ah banyak, tetapi keseluruhannya tidak sesuai kecuali pendapat yang dikemukakan oleh Golius. Golius berpendapat bahwa huruf-huruf tersebut, merupakan tambahan yang disisipkan oleh para penulis al-Qur’an. Salah satu argumen yang mendasari hal ini adalah karena kebanyakan sarjana Muslim ketika dihadapkan dengan huruf muqatta’ah, selalu berkata “Hanya Allah yang tahu”.

Oleh karena itu, ketika ada ilmuan dan mufasir muslim yang mencoba menafsirkannya, maka ada dua kelompok yang saling bertentangan. Ada yang meyakini bahwa huruf muqatta’ah bisa ditafsirkan, dan sebagian lagi meyakini tidak bisa ditafsirkan. Di antara sarjana Muslim yang mencoba menafsirkannya adalah al-Suyuti yang menyatakan bahwa Qaf adalah pegunungan yang mengelilingi bumi atau lautan yang merupakan singgasana Tuhan.

Dalam bukunya, al-Itqan, al-Suyuti bersandar pada pendapat Ibn Abbas yang menyatakan bahwa Kaf-ha-ya-‘ayn-sad merepresentasikan Allah, Karim, Hadi, Hakim, ‘Alim, Sadiq. Singkatnya, seluruh metode interpretasi sarjana Muslim bersikeras menegaskan huruf muqatta’ah adalah bagian dari otentisitas al-Qur’an yang telah diwahyukan pada Muhammad, yang secara umum menunjukkan kata-kata itu sebagai tanda.

Sementara menurut Jeffrey yang paling benar adalah usaha yang dilakukan oleh Noldeke dalam karyanya yang berjudul Geschichte des Qorans (1860). Dalam hal ini, baik Noldeke dan Jeffrey menyatakan bahwa keberadaan huruf muqatta’ah dalam al-Qur’an akibat kebingungan Zaid bin Tsabit saat ditugaskan menulis atau menyalin kembali al-Qur’an pada masa itu. Karena banyaknya bacaan dan sumber manuskrip pada masa itu, hingga memaksa Zaid bin Tsabit membubuhi inisial di setiap bacaan dan manuskrip yang ada.

Baca juga: Huruf Muqathaah: Cara Baca dan Pembagiannya dalam Ilmu Tajwid

Kritik Atas Pemikiran Theodor Noldeke

Noldeke berpandangan bahwa huruf muqatta’ah bukan bagian dari al-Qur’an, melainkan  inisial para penulis al-Qur’an yang kemudian dijadikan sebagai bagian dari ayat al-Qur’an. Jika benar apa yang dikatakan Noldeke dan Hartwig Hirschfeld demikian, lalu bagaimana dengan sahabat lain yang berperan penting dalam kehidupan Rasulullah ternyata tidak ter-cover dalam surah-surah tersebut.

Abu Laylah dalam al-Qur’an al-Karim min al-Manzur al-Istishraqi merespons tuduhan Noldeke tersebut atas Zaid bin Tsabit adalah tidak benar. Zaid sendiri melakukan pengumpulan naskah tidak hanya dari naskah sempurna yang dimiliki oleh sahabat, namun juga melakukan pengumpulan dari berbagai bahan seperti tulang, pelepah kurma, dan batu. Sebab itu, Zaid tidak butuh inisial sebagai pembeda naskah sahabat.

Selain itu, pandangan Noldeke tidak didasari argumentasi yang kuat. Proses kodifikasi Al-Qur’an melewati tahapan yang ketat dan sangat hati-hati oleh Zaid, meskipun ia adalah penulis wahyu utama dan penghafal al-Qur’an. Zaid sendiri dalam menjalankan tugasnya bersandar kepada ayat al-Qur’an yang ditulis di hadapan Nabi dan disimpan di rumah Nabi, serta ayat al-Qur’an yang dihafal oleh para sahabat. Zaid tidak menerima tulisan ayat al-Qur’an kecuali disaksikan oleh dua orang saksi yang adil. Pembukaan al-Qur’an telah melalui proses panjang, serta menyaratkan riwayat-riwayat mutawatir yang kemudian hal ini bisa digunakan untuk membendung tuduhan Noldeke yang tidak didasarkan pada riwayat yang kuat, bahkan yang dhaif sekalipun.

Dan jika tuduhan Noldeke benar, seharusnya ia juga memaparkan penjelasan mengenai mushaf sesuai dengan nama sahabat. Namun, hal itu tidak dilakukannya. Kemudian ini dapat menjadi bantahan dengan mempertanyakan mengapa hanya sebagian surah yang diberi inisial. Bukankah surah yang lainpun bersumber dari para sahabat?

Abu Laylah menambahkan pula, bahwa nama inisial yang digunakan bukan nama sahabat yang mahsyur dalam segi periwayatan. Tentu hal ini terkesan memaksakan dan merupakan cocokologi semata yang dilakukan Noldeke demi mengurangi keontentikan al-Qur’an. Selain itu, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa bukan kebiasaan orang Arab menggunakan naskah maupun manuskrip. Kebiasaan bangsa Arab yang dikenal ialah memiliki hafalan yang kuat (dhabit).

Meskipun banyak sarjana studi al-Qur’an yang mengemukakan pandangannya tentang huruf muqatta‘ah, namun tidak dijumpai pendapat seperti yang dikemukakan oleh Noldeke. Pandangan Noldeke ini kemudian mempengaruhi mayoritas pandangan murid-muridnya. Pandangan mereka berangkat dari pemikiran untuk mengkritik, menggugat, dan menelanjangi otentisitas al-Qur’an. Meskipun sebagian sarjana Islam juga mengomentari tentang huruf-huruf muqatta‘ah, akan tetapi pendapat mereka didasari atas sikap ibadah dan ketakwaan.

Pandangan Noldeke tidak terbukti kebenarannya. Tuduhan tersebut tidak memiliki landasan yang kuat, baik secara historis maupun secara teoritis. Bahkan yang paling mencolok ialah ketidaksesuaian singkatan huruf-huruf muqatta‘ah sebagai inisial nama sahabat. Begitu pula pandangan tersebut bertentangan dengan ketakwaan para sahabat. Wallahua’lam bishawab.

Baca juga: Ayat-ayat Spesial itu Dikenal dengan Huruf Muqattaah

Dinda Duha Chairunnisa
Dinda Duha Chairunnisa
Mahasiswi S1 Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

penamaan surah Alquran

Penamaan Surah Alquran: Proses Penamaan Nonarbitrer

0
Penamaan merupakan proses yang selalu terjadi dalam masyarakat. Dalam buku berjudul “Names in focus: an introduction to Finnish onomastics” Sjöblom dkk (2012) menegaskan, nama...