Tidak jarang dijumpai dalam Al-Quran, kata yang sama persis secara lafal, akan tetapi memiliki makna yang berbeda. Dengan mempertimbangkan keluasan bahasa Al-Quran serta konteks penggunaannya, hal itu sangat mungkin terjadi. Misalnya ialah kata auliya’, yang tidak lain merupakan bentuk plural (jama’) dari kata wali.
Auliya’ dalam Al-Quran
Kata auliya’ dalam bentuk plural, secara khusus disebutkan dalam Al-Quran sebanyak 42 kali, yang terkumpul dalam 40 ayat. Di antara ayat yang terdapat redaksi kata auliya’ di dalamnya, serta cukup sering dikutip, ialah Al-Qur’an surah Yunus [10] ayat 62.
أَلَاۤ إِنَّ أَوۡلِیَاۤءَ ٱللَّهِ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡهِمۡ وَلَا هُمۡ یَحۡزَنُونَ
“Ingatlah! Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati.” [Q.S. Yunus (10): 62]
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa auliya’ merupakan bentuk plural (jama’) dari wali, yang mana berasal dari lafal al-wala’. Dalam kitab Tafsir Hasyiyah ash-Shawi disebutkan bahwa, al-wala’ mempunyai arti pertolongan (an-nashr) atau kemulyaan (al-‘izz). Berdasar pemaknaan tersebut, Syekh Ahmad bin Muhammad ash-Syawi melanjutkan bahwa, seseorang disebut sebagai wali atau auliya’ karena mereka merupakan orang-orang yang ditolong oleh Allah serta dimulyakan oleh-Nya. Mereka pun tak mengharapkan sesuatu selain kedekatan dengan Allah Swt.
Baca juga: Tafsir Surat Yunus Ayat 62: Tak Ada Rasa Takut dan Sedih bagi Wali Allah
Makna auliya’ menurut para mufassir
Dalam Tafsir at-Tahrir wat Tanwir, Syekh Ibnu ‘Asyur mentakwil lafal al-wali dengan redaksi penyokong (al-muwali), yang diartikan sebagai orang yang membersamai (al-muhalif) dan orang yang menolong (an-nashir). Adapun wali secara istilah, beliau artikan sebagai orang yang dekat dengan Allah Swt.
Wali atau auliya’ disebut sebagai orang yang dekat dengan Allah Swt., karena mereka tampak unggul dari dua sisi. Pertama, kedekatan mereka dengan Allah, dibuktikan dengan ketaatannya menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Kedua, kedekatan Allah dengan mereka, dibuktikan dengan karamah yang diberikan Allah kepada mereka.
Baca juga: Maryam Binti ‘Imran, Perempuan yang Menjadi Wali Allah
Penafsiran tersebut sebelumnya juga telah disebutkan oleh Imam az-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasysyaf, juga Imam al-Baidhawi dalam Tafsir Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil. Mereka mengungkapkan bahwa wali Allah adalah orang yang menjadi dekat dengan Allah melalui jalan ketaatan, juga didekatkan oleh Allah dengan diberi kekeramatan.
Tanda-tanda auliya’
Tanda auliya’ diungkapkan oleh Imam Ibnu Katsir. Beliau mengutip hadis yang diceritakan oleh Ibnu Abbas, yang menjelaskan bahwasanya wali Allah ialah orang-orang yang apabila terbesit perasaan riya dalam hati mereka, maka mereka akan sesegera mungkin mengingat Allah Swt.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ: قَالَ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، مَنْ أَوْلِيَاءُ اللَّهِ؟ قَالَ: “الَّذِينَ إِذَا رءُوا ذُكر اللَّهُ”
Dari Ibnu Abbas, ia berkata, seorang lelaki bertanya, “Wahai Rasulullah, siapakah wali-wali Allah itu?” Rasulullah Saw. menjawab: “Yaitu orang-orang yang apabila terbersit rasa riya dalam hati mereka, maka Allah segera diingat.” (H.R. Tirmidzi)
Berkenaan dengan Al-Quran surah Yunus ayat 62, Syekh Ibnu ‘Asyur kemudian membatasi bahwa maksud auliya’ dalam ayat tersebut ialah orang-orang yang beriman dan bertakwa. Karena orang-orang beriman dan bertakwa itu memiliki kedekatan dengan Allah Swt., dengan menjalankan ketaatan dan memperoleh keramatan. Penafsiran ini sama persis dengan yang dikemukakan oleh Syekh Fakhruddin ar-Razi dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib.
Ketika menafsirkam ayat tersebut, beliau berdua secara tegas mengutip ayat setelahnya, yaitu surah Yunus ayat 63, sebagai landasan penafsirannya.
ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ وَكَانُوا۟ یَتَّقُونَ
“(Yaitu) orang-orang yang beriman dan senantiasa bertakwa.” [Q.S. Yunus [10]: 63]
Meninjau berbagai penafsiran tentang tanda wali Allah dalam surah Yunus ayat 62 di atas, dapat dimengerti bahwa wali Allah yang dimaksud dalam ayat tersebut ialah orang yang beriman, bertakwa, taat, serta mengingat Allah Swt.
Baca juga: Covid-19 dan Kisah Ketakutan Kepada Selain Allah dalam Al-Quran
Oleh karenanya, setiap orang sejatinya sangat mungkin untuk menjadi wali Allah, dalam artian orang yang dekat dengan Allah Swt. Ada kemungkinan. Adapun syaratnya ialah, seseorang perlu menempuh proses keimaman, ketakwaan, dan ketaatan. Semoga kita dijadikan oleh Allah sebagai orang yang dekat dengan-Nya. Wallahu a’lam[]