BerandaTafsir TematikSiapakah yang Disebut Ahl al-Kitab dalam Al-Quran itu?

Siapakah yang Disebut Ahl al-Kitab dalam Al-Quran itu?

Dalam kajian tematik (maudlu’i), salah satu tema pokok al-Quran yang mendapat perhatian adalah menyangkut istilah ahl al-Kitab. Terdapat perbedaan pendapat dalam memandang siapa ahl al-Kitab yang sebenarnya ditunjuk oleh al-Quran.

Ada sebagian yang menyatakan ahl al-Kitab adalah setiap pemeluk agama yang menerima kitab suci, ada yang berpendapat bahwa mereka adalah orang yang berpegang pada kitab sucinya, yang sekarang sudah tidak ada.

Dari persoalan ini, penulis berupaya memaparkan bebrapa pendapat yang menguraikan siapa yang dimaksud dengan ahl al-kitab yang disinggung oleh al-Quran dalam QS. al-Ankabut [29]; 46.

Allah berfirman,

وَلَا تُجَٰدِلُوٓا۟ أَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ إِلَّا بِٱلَّتِى هِىَ أَحْسَنُ إِلَّا ٱلَّذِينَ ظَلَمُوا۟ مِنْهُمْ ۖ وَقُولُوٓا۟ ءَامَنَّا بِٱلَّذِىٓ أُنزِلَ إِلَيْنَا وَأُنزِلَ إِلَيْكُمْ وَإِلَٰهُنَا وَإِلَٰهُكُمْ وَٰحِدٌ وَنَحْنُ لَهُۥ مُسْلِمُونَ

Artinya, “Dan jangan-lah kamu membantah Ahli Kitab kecuali yang terbaik, kecuali orang-orang yang kezaliman di antara mereka, dan katakana-lah: ‘Kami telah beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada kami dan apa yang yang diturunkan kepada kamu. Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah Esa dan kami kepada-Nya adalah orang-orang muslim”.

Ayat ini menerangkan mengenai tuntunan untuk berlaku baik dan beretika dalam bertukar pikiran (diskusi) dengan ahl al-Kitab. Ada sebagian yang memahami  yang dimaksud dengan “bantahan” atau bertukar pikiran (diskusi) dengan cara yang lembut ini diperuntukkan kepada mereka yang telah memeluk Islam (Quraish Shihab, 2005: 514).

Sedangkan makna kata “kecuali orang-orang yang zalim di antara kamu”, dipahami sebagai ahl al-kitab yang belum masuk Islam. Adapun dalam Tafsir Ibnu Katsir, dikatakan mereka yang zalim adalah mereka yang menyimpang dari kebenaran serta buta (terhadapa kebenaran), sombong, dan takabur.

Dari pandangan Sayyid Quthb, ahl al-Kitab yang zalim adalah mereka yang merubah isi kitab suci mereka, dan yang berpaling dari tauhid kepada kemusyrikan, sedangkan syirik merupakan kezaliman yang besar. Kepada merekalah menurut Sayyid Quthb tidak diperlukannya diskusi atau tukar pikiran. Menurutnya, merekalah yang diperangi oleh umat Islam (Quraish Shihab, 2005: 515).

Jika-pun mereka yang zalim itu diajak pada cara yang baik serta lemah lembut, mereka enggan, malahan bersikap menentang dan memusuhi. Hal yang demikian telah terjadi pada bani Nadhir, bani Qainuqa’, dan bani Quraizah di Madinah. Mereka yang bagaimanapun sopan dan lembutnya seseorang mengutarakan kebenaran, mereka tetap saja akan mencara ribuan alasan untuk menolak dan menentang kebenaran tersebut (Hamka, 1988: 7).

Baca juga: Benarkah Ahli Kitab Selalu Ingin Memurtadkan Orang Islam?

Firman-Nya, “Kami telah beriman kepada apa yang telah diturunkan kepada kami dan apa yang yang diturunkan kepada kamu.” menuntun kita agar tidak langsung menolak ataupun mendustakan apa yang telah mereka (ahl al-Kitab) kabarkan. Ada kiranya, penyampaian mereka sejalan dengan al-Quran atau Sunnah, maka tidak ada halangan untuk menerimanya. Adapun jika tidak sesuai dengan al-Quran atau Sunnah, maka tidak ada alasan seorang untuk menolaknya

Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian membenarkan ahl al-kitab dan jangan pula mendustakan mereka. Dan katakanlah: ‘Kami telah beriman kepada kitab-kitab yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada kalian; Ilah kami dan Ilah kalian adalah satu dan hanya kepada-Nya kami berserah diri”. (H.R. Bukhari).

Sementara ulama sepakat bahwa yang disebut sebagai ahl al-kitab adalah golongan Nasrani dan Yahudi. Adapun pendapat lain seperti al-Qasimi memiliki pandangan bahwa Budha merupakan nabi, dan golongan mereka-pun dapat disebut sebagai ahl al-Kitab. Al-Qasimi pun mengira, bahwa pohon yang disebut dengan at-Tin adalah pohon Budha (Quraish Shihab, 2007: 368).

Selain istilah ahl al-kitab, al-Quran juga menggunakan beberapa istilah lainnya, seperti utul kitab, utu nashiban minal kitab, al-Yahud, al-Ladzina hadu, bani Israil, an-Nashara, dan beberapa istilah lainnya yang semaka atau identik dengan istilah ahl al-kitab.

Kesan umum yang diperoleh, bila al-Quran menggunakan kata al-Yahudu maka itu mengandung kecaman. Berbeda jika al-Quran menggunakan kata al-Ladzina Hadu dan kata an-Nashara, maka ayat itu memiliki pesan yang beragam, yakni dapat berupa kecaman maupun pujian, sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Maidah [5]: 82, yang menjelaskan, bahwa orang Nasrani lah yang paling dekat persaudaraannya dengan kaum Muslim (Shihab, 2007: 348).

Quraish menguraikan lebih lanjut, bahwa kebanyakan kecaman terhadap ahl al-kitab itu dialamatkan kepada kaum Yahudi (Shihab, 2007). Lantas, mengapa terdapat banyak kecaman terhadap mereka? Itu karena sifat sebagian mereka yang berusaha untuk menjerumuskan kaum muslim pada kemurtadan. Meskim demikian, sebagian lainnya ada yang lurus dan kembali kepada Allah.

Baca juga: Haruskah Selalu Bersikap Kasar dan Keras Terhadap Orang Kafir dan Munafik? Tafsir Surah At-Taubah Ayat 73

Siapakah ahl al-kitab?

Banyak ikhtilaf (perbedaan pandangan) mengenai siapa yang dimaksud oleh Quran sebagai ahl al-kitab. al-Maududi mengatakan, Imam Syafi’I memahami istilah tersebut sebagai orang Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang Israel, mengisyaratkan yang berbangsa lain tidak termasuk mereka. Beliau beralasan Nabi Musa dan Nabi Isa diturunkan hanya untuk bani Israel saja.

Sementara Imam Abu Hanifah dan mayoritas ulama pakar hukum memiliki pandangan berbeda. Mereka berpandangan, orang yang percaya atau mengimani pada salah satu nabi (saja) atau kitab yang telah diturunkan oleh Allah, maka mereka termasuk ahl al-kitab.

Adapun pandangan lain (sebagian kecil ulama salaf) yang menyebutkan, bahwa mereka yang memiliki kitab suci (samawi) dapat dicakup dalam pengertian ahl al-kitab (Shihab, 2007: 367). Termasuk di dalamnya menurut al-Maududi yang diuraikan oleh Quraish Shihab dalam buku Wawasan al-Quran, adalah penganut Majusi. Hingga kemudian maknanya diperluas oleh pakar hukum kontemporer, bahwa agama Hindu maupun Budha dapat disebut sebagai ahl al-kitab.

Dalam Tafsir Ibnu Katsir-pun diperjelas, bahwa Abu Tsaur berpendapat bahwa umat Islam boleh menikmati makanan dari sembelihan orang Majusi. Dengan demikian, seorang muslim juga dapat menikah dengan perempuan majusi, dengan beberapa syarat. Namun berbeda dengan ini, Abdullah ibn Umar melarang keras pernikahan dengan ahl al-Kitab, karena ia menganggap mereka adalah golongan musyrik.

Pandangan Quraish Shihab sendiri, ketika membahas tema mengenai ahl al-kitab, beliau membatasi istilahnya pada dua golongan saja, yaitu Yahudi dan Nasrani. Dan dalam  kesimpulan beliau, beliau menambahkan, bahwa “Tidak wajar seorang dianggap menyimpang dari ajaran Islam karena ia memilih salah satu pendapat”. Lantas, bagaimana sikap kita terhadap mereka? di sini al-Quran mengajarkan, untuk bersikap sesuai dengan sikap mereka.

Berdasarkan uraian di atas, juga dapat dipahami bahwa tidak semua ahl al-kitab itu sama. Ada sebagian dari mereka yang bersahabat (QS. 5: 82) bahkan masuk Islam. Ada pula sebagian dari mereka yang mengajak pada kemurtadan (QS. 2: 120), yang mana mereka tidak rela terhadap Nabi saw. sampai Nabi saw. Rela mengikuti agama mereka.

Baca juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 3-4: Bagaimana Cara Beriman Kepada Kitab-Kitab Allah?

Muhammad Fathun Niam
Muhammad Fathun Niam
Mahasiswa Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...