BerandaTafsir TematikSifat Ketergesa-gesaan Manusia dalam Surah Al-Isra Ayat 11

Sifat Ketergesa-gesaan Manusia dalam Surah Al-Isra Ayat 11

Dalam terminologi Alquran, kata “manusia” sering disebutkan dengan berbagai istilah, seperti basyār, insān, dan banī Ādam. Kata insān secara khusus disebutkan sebanyak 65 kali yang tersebar di berbagai ayat dalam Alquran. Mayoritas ayat-ayat tersebut menjelaskan tentang diri manusia, dari proses penciptaan hingga besar, sifat manusia, dan bagaimana seharusnya manusia bersikap. Penyebutan kata manusia yang sangat banyak dalam Alquran mengindikasikan betapa penting seorang manusia untuk mengenal dirinya terlebih dahulu sebelum mengenal yang lain. Surah Al-Isra ayat 11 merupakan di antara sekian ayat yang menjelaskan salah satu sifat asal yang melekat pada diri manusia, yakni tergesa-gesa.

وَيَدْعُ الْاِنْسَانُ بِالشَّرِّ دُعَاۤءَهٗ بِالْخَيْرِۗ وَكَانَ الْاِنْسَانُ عَجُوْلًا

Manusia (seringkali) berdoa untuk (mendapatkan) keburukan sebagaimana (biasanya) berdoa untuk (mendapatkan) kebaikan. Manusia itu (sifatnya) tergesa-gesa. (Al-Isrā’ [17]:11)

Baca Juga: Tafsir Surah Al-Isra Ayat 32: Kekejian Kekerasan dan Pelecehan Seksual

Tafsir Surah Al-Isra Ayat 11

Dalam Tafsir al-Qurthubi dihimpun beberapa ikhtilaf ulama mengenai kepada siapa ayat ini dimaksudkan. Satu pendapat menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan an-Nadhr bin al-Harits yang berdoa meminta diturunkan azab. Lafaz doa tersebut diabadikan Alquran dalam Q.S. Al-Anfal [8]: 32,

اللّٰهُمَّ اِنْ كَانَ هٰذَا هُوَ الْحَقَّ مِنْ عِنْدِكَ فَاَمْطِرْ عَلَيْنَا حِجَارَةً مِّنَ السَّمَاۤءِ اَوِ ائْتِنَا بِعَذَابٍ اَلِيْمٍ

(Ingatlah) ketika mereka (orang-orang musyrik) berkata, “Ya Allah, jika (Alquran) ini adalah kebenaran dari sisi-Mu, hujanilah kami dengan batu dari langit atau datangkanlah kepada kami azab yang sangat pedih.”(Al-Anfāl [8]: 32)

Pendapat lain mengaitkan ayat ini dengan ketergesa-gesaan Nabi Adam ketika proses penciptaannya. Proses penciptaan Nabi Adam dimulai dari kepala, dan ketika proses penciptaan memasuki bagian tubuh yang lain, Nabi Adam sudah mampu melihat proses penciptaan tubuhnya yang lain dan minta disegerakan agar diselesaikan. Masih dalam kisah yang sama, riwayat lain menyebutkan ketika ruh Nabi Adam baru masuk ke dalam perutnya, ia merasa lapar tergiur dengan buah-buahan surga, kemudian ia melompat sebelum ruh masuk ke dalam kedua kakinya. (Tafsir Al-Qurthubi/5/148)

Terlepas dari perbedaan pendapat di atas, semua peristiwa yang dikaitkan dengan Q.S. al-Anfal [8]: 32 tidak terlepas dari  sifat ketergesa-gesaan yang ada pada diri manusia. Imam At-Thabari mengatakan bahwa ayat ini merupakan pengingat dari Allah kepada hamba-hamba-Nya atas pertolongan yang telah diberikan. Saat kesal dan marah, seseorang kerap kali mendoakan keburukan bagi dirinya, anaknya atau hartanya, sama seperti ketika berdoa untuk meminta kebaikan berupa kesehatan dan keselamatan bagi diri, harta, dan anaknya. (Tafsir ath-Thabari/8/44)

Dalam pandangan ahli nahwu, kalimat permintaan dapat dimaknai dengan 3 cara. (1) Disebut dengan istilah amr, yakni permintaan dari orang yang posisinya lebih tinggi kepada orang yang berkedudukan lebih rendah. (2) Adapun jika permintaan tersebut berasal dari dan ditujukan kepada orang yang mempunyai kedudukan yang sama atau sederajat, maka dinamakan iltimas atau roja’ (3) sedangkan yang ketiga merupakan kebalikan dari jenis yang pertama, yakni doa atau permintaan dari orang yang kedudukannya lebih rendah kepada orang yang lebih tinggi.

Jika dilihat dari konteks lafaz ayat, lafaz يَدْعُ  pada  Q.S. al-Anfal [8]: 32 merupakan kalimat permintaan yang bermakna doa, bukan perintah (amr), karena berasal dari manusia dan ditujukan kepada Allah swt. Penggunaan doa pada ayat ini mengindikasikan adanya pengakuan akan kelemahan dan ketidakmampuan pada diri manusia sebagai hamba hingga dia menghadap Allah untuk mewujudkan permintaannya. (Tafsir asy-Sya’rawi/8395)

Baca Juga: Tafsir Surah al-Isra’ Ayat 36: Larangan Berkomentar Tanpa Ilmu

Lafaz عَجُوْلًا  adalah bentuk mubalaghah dari kata عَاجِل  yang artinya orang-orang yang tergesa-gesa. Inilah yang membuat manusia tidak sabar ketika menerima ujian sehingga tak jarang kalap lalu mendo’akan keburukan kepada  sendiri dan orang lain. (Al-Mishbah/7/33)

Menurut Buya Hamka, tergesa-gesa hanya dapat dikendalikan dengan keimanan. Sebagai contoh, Buya Hamka memaparkan rangkaian peristiwa menyedihkan yang dialami Nabi Yusuf selama hidupnya. Sejak dibuang ke dalam sumur oleh saudara-saudaranya, lalu dijual sebagai budak, kemudian dirayu majikan perempuannya, hingga berakhir di penjara. Banyaknya kesengsaraan yang ditimpakan kepada Nabi Yusuf tidak membuatnya cemas dan tergesa-gesa berdoa ingin dimatikan karena tidak tahan menghadapi cobaan tersebut. Setelah menyelesaikan semua tugasnya, barulah Nabi Yusuf minta dimatikan, namun dalam keadaan Islam dan dikumpulkan bersama orang-orang saleh (Tawaffani musliman wa alhiqni bi as-sholihin). (Tafsir al-Azhar/6/4021)

Idealnya, seorang manusia bersabar apabila ditimpa musibah, tidak mengutuk diri, atau mendoakan sesuatu yang buruk, apalagi sampai minta dimatikan dengan alasan tidak tahan menghadapi cobaan.

Rijal Ali
Rijal Ali
Mahasiswa UIN Antasari, minat kajian Isu-isu keislaman kontemporer,
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian I)

0
Diksi warna pada frasa tinta warna tidak dimaksudkan untuk mencakup warna hitam. Hal tersebut karena kelaziman dari tinta yang digunakan untuk menulis-bahkan tidak hanya...