Signifikansi “Asbab an-Nuzul” Menurut Roem Rowi

Signifikansi Asbab an-Nuzul Menurut Roem Rowi
Signifikansi Asbab an-Nuzul Menurut Roem Rowi

Masih dalam suasana duka mengenang kepergian Prof. Roem Rowi (1947-2023), artikel ini ingin mengulas orasi ilmiah yang disampaikan oleh Roem Rowi ketika dikukuhkan menjadi Guru Besar Ilmu Alquran dan Tafsir IAIN Sunan Ampel Surabaya pada tahun 2005. Naskah orasi ilmiah tersebut telah terkodifikasi dalam sebuah buku yang berjudul Dialektika Islam dengan Problem Kontemporer (IAIN Press, 2006).

Ridlwan Nasir, selaku Rektor IAIN Sunan Ampel saat itu sekaligus editor buku tersebut, berupaya untuk mengabadikan gagasan-gagasan cemerlang para guru besar IAIN Sunan Ampel periode 2005-2006 melalui pembukuan naskah-naskah orasi ilmiah mereka. Salah satunya adalah naskah milik Roem Rowi. Pakar tafsir Alquran asal Ponorogo tersebut menyampaikan sebuah orasi ilmiah dengan judul “Menimbang Kembali Signifikansi Asbāb an-Nuzūl dalam Pemahaman Al-Qur’an.”

Baca Juga: Tujuh Kitab Populer untuk Referensi Asbabunnuzul

Dualisme tentang Peran Asbab an-Nuzul

Sudah jamak diketahui, bahwasanya para ulama telah banyak menyebutkan akan urgensitas peran asbab an-nuzul dalam memahami ayat-ayat Alquran. Mulai dari Ibn Daqīq al-‘Īd (1228-1302), Ibn Taimiyah (1263-1328), az-Zarkasyī (1345-1394), as-Suyūṭī (1445-1505), Subhī Ṣālih (1926-1986), Mannā’ al-Qaṭṭān (1925-1999), Muhammad ‘Alawi (1944-2004), hingga as-Ṣābūnī (1930-2021), semuanya menyatakan bahwa pemahaman akan asbāb an-nuzūl merupakan cara utama dan unsur penentu dalam menafsirkan sebuah ayat Alquran. Bahkan, terdapat ayat-ayat yang akan keliru dipahami jika tidak mengetahui asbab an-nuzul-nya, seperti Q.S. al-Baqarah [2]: 115, 158; Q.S. Ali ‘Imran [3]: 188; dan Q.S. al-Ma’idah [5]: 93.

Di sisi lain, Muhammad Syahrur (1938-2019) justru menyatakan bahwa sejatinya Alquran itu tidak memiliki asbab an-nuzul karena kandungan Alquran sudah terprogram sejak di Lauh al-Mahfudz sebagaimana tercermin dalam terminologi kitab maknūn dan imām mubīn.

Alasan lain yang mendasari pemikiran Syahrur adalah dikarenakan Alquran sudah diturunkan satu paket utuh pada bulan Ramadan, sehingga tidak ada lagi kaitan antara peristiwa-peristwa qur’anik yang disebutkan dalam riwayat-riwayat hadis dengan ayat Alquran. Bagi Syahrur, andaikan pun ada hubungan, barangkali hal tersebut hanyalah bersifat kebetulan semata.

Baca Juga: Belajar Sabab Nuzul dalam Menafsirkan Al Quran Sangat Penting!

Meninjau Ulang Signifikansi Sabab an-Nuzul

Melalui potret dualisme pandangan tersebut, Roem Rowi ingin meninjau kembali sejauh mana signifikansi (posisi dan fungsi) asbāb an-nuzūl dalam kajian tafsir Alquran dengan dua pendekatan.

Pendekatan yang pertama adalah melakukan kuantifikasi jumlah surah dan ayat yang memiliki asbāb an-nuzūl, beserta hadis-hadisnya. Dalam proses kuantifikasi tersebut, Roem Rowi menggunakan tiga sumber kitab asbāb an-nuzūl, yaitu: (1) Asbāb an-nuzūl karya al-Wāḥidī (w. 468 H/1076 M); (2) Lubāb an-Nuqūl fi Asbāb an-Nuzūl karya as-Suyūṭī (w. 911 H/1505 M); dan (3) aṣ-Ṣaḥīḥ al-Musnad min Asbāb an-Nuzūl karya Muqbil ibn Hadi al-Wadi‘ī (w. 1442 H/2001 M).

Berdasarkan proses analisis yang komprehensif, Roem Rowi menyimpulkan beberapa poin berikut:

  1. Tidak semua ayat Alquran mempunyai asbāb an-nuzūl. Dari total 6.234 ayat, jumlah ayat Alquran yang mempunyai asbāb an-nuzūl hanya sebanyak 715 ayat/11,46% (al-Wahidi), 711 ayat/11,40% (al-Suyuthi), dan 333 ayat/5,34% (al-Wadi‘i).
  2. Dari 114 surat, jumlah surat yang ayat-ayatnya memiliki asbāb an-nuzūl terdapat sebanyak 82 surat/71,90% (al-Wahidi), 103 surat/90,35% (al-Suyuthi), dan 55 surat/48,24% (al-Wadi‘i).
  3. Jumlah hadis yang memuat peristiwa asbāb an-nuzūl dari tiga kitab tersebut berjumlah sebanyak 885 hadis (al-Wahidi), 994 hadis (al-Suyuthi), dan kira-kira 330-an lebih hadis (al-Wadi‘i).

Melalui data kuantitatif ini, Roem Rowi berpendapat bahwa dalam memahami ayat-ayat Alquran, pengetahuan akan asbāb an-nuzūl bukanlah segala-galanya atau bersifat mutlak, yang seakan-akan tidak mungkin memahami suatu ayat Alquran tanpa asbāb an-nuzūl. Dengan kata lain, penggunaan asbāb an-nuzūl itu cukup diperlukan dalam memahami ayat-ayat yang apabila tanpanya tidak dapat dipahami dengan benar.

Kemudian, pendekatan kedua yang dilakukan Roem Rowi adalah mengkaji seberapa banyak jumlah ta‘addud al-nāzil wa al-sabab wāḥid (sekumpulan ayat yang lebih dari satu, tetapi sabab an-nuzūl hanya satu) di tiga kitab asbāb an-nuzūl yang dijadikan objek kajian.

Mengutip dari al-Zarqāni dalam Manāhil al-‘Irfān fi ‘Ulūm al-Qur’ān, contoh dari ta‘addud an-nāzil wa as-sabab wāhid adalah suatu riwayat yang disampaikan oleh al-Ḥākim wa at-Tirmīdzi. Bahwasanya Ummu Salamah protes kepada Nabi akibat tidak disebutkannya perempuan dalam proses hijrah Nabi, maka turunlah Q.S. Ali ‘Imran [3]: 195. Dalam riwayat lain, al-Hakim menyebut kisah protes Ummu Salamah karena Alquran tidak menyebut peran perempuan, akhirnya turun Q.S. al-Ahzab [33]: 35 dan Q.S. Ali ‘Imran [3]: 195. Terakhir, al-Hakim juga meriwayatkan dari Ummu Salamah, bahwasanya dia protes kepada Nabi karena laki-laki boleh berjihad sedangkan perempuan tidak diperkenankan, maka turunlah Q.S. an-Nisa’ [4]: 32 dan Q.S. al-Ahzab [33]: 35.

Baca Juga: Asbabun Nuzul dalam Perbincangan Inteletual Muslim yang Tak Pernah Usai

Berdasarkan hasil perhitungan, Roem Rowi menyebut jumlah ta‘addud al-nazil wa al-sabab wahid terbanyak terdapat dalam karya as-Suyūṭī, kemudian al-Wāḥīdī, dan terakhir al-Wadi‘i. Ini mengindikasikan bahwa jumlah ayat-ayat yang memiliki asbab an-nuzul yang telah disampaikan sebelumnya itu masih bisa menyusut, karena beberapa di antaranya memiki sabab an-nuzul yang sama.

Oleh karena demikian, hal ini menuntut suatu kehati-hatian agar dalam menafsirkan atau ber-istinbath hukum terhadap suatu ayat Alquran, jangan sampai ada beberapa ayat yang berbeda namun melahirkan makna yang sama. Oleh karena itu, dalam konteks ini, lebih bijak menggunakan ijma’ ulama yang lebih memilih al-‘ibrah bi ‘umūm al-lafdz lā bi khuṣūṣ as-sabab.

Selanjutnya, terdapat satu catatan oleh Roem Rowi yang menurut penulis sangat penting dalam memposisikan suatu riwayat sabab an-nuzul, sebagaimana dalam kutipan berikut:

“Hal lain yang patut menjadi catatan penting dalam melihat persoalan asbab an-nuzul adalah penegasan sejumlah ulama bahwa tidak semua riwayat—baik itu dari Nabi, Sahabat, ataupun Tabiin—yang termuat dalam kitab-kitab asbab an-nuzul benar-benar menunjukkan latar belakang turunnya ayat.”

“Sebab riwayat yang dinilai ṣarih (jelas) sebagai asbab an-nuzul hanyalah yang memakai lafadz sabab nuzul hadhihi al-ayah (sebab turunnya ayat ini adalah), atau yang menggunakan fa’ ta’qibiyyah seperti lafadz fa anzala Allahu al-ayah setelah suatu peristiwa atau pertanyaan. Sedangkan ungkapan lain seperti nazalat al-ayah fi kadha atau ahsibu al-ayah nazalat fi kadha, itu belum bisa dipastikan sebagai sabab an-nuzul, karena itu hanya menunjukkan kepada siapa ayat diturunkan, cakupan, dan hukum yang dikandung ayat.”

Dengan demikian, berdasarkan data kuantitatif dan proses analisis yang telah dilakukan, Roem Rowi berkesimpulan bahwa tidak semua ayat Alquran membutuhkan penjelasan dengan perantara asbab an-nuzul, sehingga Alquran dapat lebih mudah dipahami dan dipelajari, sebagaimana yang dijanjikan sendiri oleh Allah dalam firman-Nya. Namun hal ini bukan berarti mengurangi arti penting asbab an-nuzul, apalagi dianggap tidak diperlukan lagi. Wallahu a’lam.