Kisah perjalanan kehidupan Abraham, Sarah, dan Hajar memang menarik untuk ditinjau lebih mendalam. Ketiga figur ini telah menghadirkan sebuah kisah yang sangat problematis: Abraham dan Sarah dalam sebuah sistem perkalian, Sarah dan Hajar dalam perebutan dominasi status, kepergian Abraham dari kediamannya, kepergian Hajar menuju sebuah lembah, pengorbanan seorang anak Abraham, dan lain-lainnya. Tulisan ini berusaha melihat secara khusus tentang siapakah kisah sosok Hajar yang disajikan dalam narasi Al-Kitab kemudian membandingkannya dengan narasi yang disajikan oleh Al-Qur’an.
Hajar dalam Narasi Al-Kitab
Tykva Frymer-Kensky, dalam Reading the Women of the Bible, menyajikan secara khusus kisah Hajar dengan membaginya menjadi beberapa tahapan berdasarkan urutan kronologinya (Frymer-Kensky 2002). Pertama, kedatangan Ismail. Untuk menjelaskan bagian ini, Tykva merujuk kepada beberapa bagian dalam Al-Kitab: Kejadian 16: 1-3 terkait masalah dan rencana, Kejadian 15: 3-6 terkait alur yang semakin mengental, Kejadian 16: 7-14 terkait malaikat di padang gurun, dan Kejadian 16: 16 terkait kelahiran. Kedua, kepergian Ismail: Kejadian 21. Bagian ini, oleh Tykva, dijelaskan secara terperinci dengan merujuk pada: Kejadian 21: 8-13 terkait penyapihan Ishaq dan Kejadian 21: 14-21 terkait penebusan Ismail.
Baca Juga: Dialog Interpretatif Muslim-Kristen atas Yesus dan Maria dalam Al-Qur’an dan Al-Kitab
Berangkat dari sajian Al-Kitab tersebut, kisah Hajar bermula dari penjelasannya sebagai sosok yang ‘asing’. Ia merupakan ‘budak wanita’ yang berasal dari Mesir; yang berada dalam pusaran rumah tangga Abraham dan Sarah (Kejadian 12). Mulanya, semua berjalan sebagaimana semestinya: Abraham dan Sarah sebagai sebuah keluarga sekaligus Nabi (Abraham), dan Hajar sebagai seorang budak. Konflik yang besar, yang terjadi antara Sarah dan Hajar bermula dari rencana Sarah untuk menjadikan Hajar sebagai istri kedua Abraham, yang darinya diharapkan dapat melahirkan anak yang dapat diakuisi Sarah (Kejadian 16: 1-3). Ini merupakan sebuah norma yang umum dalam realitas saat itu: jika istri pertama belum melahirkan dalam jangka waktu yang lama, maka ia dapat menggantikannya dengan budaknya.
Mendengar rencana tersebut, Abraham lantas menyetuinya. Apa yang diharapkan Sarah menjadi kenyataan: Abraham menjadikan Hajar sebagai istri kedua, dan Hajar mengandung anak Abraham. Terlepas dari kenyataan tersebut, faktanya ini justru menjadi konflik yang semakin problematis (Kejadian 15: 3-6).
Setelah mengetahui bahwa ia (Hajar) hamil, Hajar justru bereaksi lain. Hajar yang seharusnya netral, dan masih di status yang berada di bawah Sarah, justru menganggap rendah Sarah dengan dalih kepemilikan bayi yang sedang ia kandung. Prilaku yang ditunjukkan Hajar melawan tatanan hukum saat itu. Sebagai reaksinya, Sarah mendakwa: kesalahan saya adalah memberikan Hajar kepadamu. Sebagai reaksi baliknya, Abraham mengatakan Sarah: lakukan padanya apa yang baik untukmu.
Apa yang telah dilakukan Sarah kepada Hajar telah mengantarkan Hajar untuk bereaksi untuk pergi ke sebuah lembah. Di lembah tersebut, Hajar sempat berkomunikasi dengan sosok malaikat yang justru menganjurkan kepadanya untuk kembali ke rumah dengan imbalan bahwa ‘ia akan melahirkan anak (Ismail) yang pemberani. Kisah lanjutannya dapat dilihat dalam beberapa poin dalam Al-Kitab yang disebutkan di atas. Namun, poin pentingnya adalah: Hajar dalam narasi Al-Kitab adalah seorang ‘budak wanita’ yang berasal dari Mesir.
Hajar dalam Narasi Al-Qur’an
Berbeda dengan narasi yang disajikan dalam Al-Kitab, narasi yang lebih halus tentang sosok Hajar dimunculkan dari kalangan Islam. Oleh kalangan ini, Hajar dinarasikan sebagai ‘seorang putri’ dari Raja sebuah dinasti yang bernama Maghreb. Beberapa nama yang tercatat dalam argumen ini dapat dilihat dalam Qashash al-Anbiya’ karya Ibnu Katsir, juga dalam Islam and the New Woman/ ﺍﻹﺳﻼﻡ ﻭﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﺍﻟﺠﺪﻳﺪﺓ” (al-Rahman and Anthony Calderbank 1999), dan Tykva Frymer-Kensky, dalam Reading the Women of the Bible (Frymer-Kensky 2002, 226). Adapun terkait statusnya sebagai budak, ini hadir karena kekalahan perang ayahnya, yang kemudian menjadikan Hajar sebagai seorang ‘budak’.
Baca Juga: Bahasa Al-Quran dan Pesan Keterbukaan Islam Terhadap Perbedaan
Secara spesifik, penjelasan mengenai sosok Hajar sebagai seorang budak atau seorang putri tidak dijelaskan di dalam Al-Qur’an. Isyarat-isyarat yang paling mendekati Hajar justru berasal dari anaknya, Ismail. Ini kiranya dapat dilihat di antaranya dalam QS. Al-Baqarah [2]: 125, 158; QS. Ibrahim [14]: 37 dan QS. As-Saffat [37]: 99-102.
Ayat yang pertama, sebagaimana terdapat dalam Tafsir Al-Misbah karya Quraish Shihab, menceritakan mengenai Ibrahim dan Ismail ketika ia bersama-sama membangun Baitullah. Lebih lanjut, dalam QS. As-Saffat [37]: 99-102 merupakan narasi Al-Qur’an yang mendekati sosok Hajar. Dalam urutan ayat ini, menceritakan doa-doa Nabi Ibrahim ketika meminta dianugerahi sosok anak, sampai kepada mimpinya tentang perintah untuk mengorbakan anaknya. Wallahu’alam.