BerandaTafsir TematikStrategi Pertahanan Keamanan Negara dalam Al Quran

Strategi Pertahanan Keamanan Negara dalam Al Quran

Keberadaan musuh wajib diwaspadai agar keamanan dapat terjamin. Zaman yang semakin berkembang menjadikan tindak kejahatan pun semakin berkembang. Terlebih dengan keberadaan teknologi yang semakin maju menjadikan pelaku kejahatan semakin “kreatif” dalam mengembangkan tindak kejahatannya.

Narkoba, terorisme, perdagangan manusia menjadikan kita harus selalu waspada. Bukan hanya pemerintah saja, namun  masyarakat pun harus tetap waspada dengan musuh baik yang tampak maupun tersembunyi. Karena itu diperlukan strategi pertahanan dalam melindungi sebuah Negara. Berkenaan dengan pertahanan ini, terdapat firman Allah dalam QS. Al-Anfal ayat 60 sebagai berikut:

وَأَعِدُّواْ لَهُم مَّا ٱسۡتَطَعۡتُم مِّن قُوَّة وَمِن رِّبَاطِ ٱلۡخَيۡلِ تُرۡهِبُونَ بِهِۦ عَدُوَّ ٱللَّهِ وَعَدُوَّكُمۡ وَءَاخَرِينَ مِن دُونِهِمۡ لَا تَعۡلَمُونَهُمُ ٱللَّهُ يَعۡلَمُهُمۡۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡء فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ يُوَفَّ إِلَيۡكُمۡ وَأَنتُمۡ لَا تُظۡلَمُونَ

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”

Menurut Muhammad Rashid Rida, ayat di atas turun berkenaan dengan sikap kaum Yahudi Madinah yang melanggar perjanjian bersama Nabi Saw. atau yang dikenal dengan perjanjian Madinah. Pasca peristiwa ini putuslah hubungan persahabatan antara kaum Muslim dengan kaum Yahudi, sehingga terjadi persekutuan antara kaum Yahudi dengan kaum Musyrik untuk memerangi Nabi Saw. (Muhammad Rashid Rida, Tafsir al-Qur`an al-Hakim al-Shahir bi Tafsir al-Manar, Juz 10, hal. 69)

Di akhir ayat, terdapat redaksi a’iddu yang merupakan bentuk jamak dari kata i’dad yang berarti merencanakan sesuatu untuk masa depan. Dalam ayat ini, terdapat pula kata ribat jika ditinjau dari segi bahasa berarti tali yang mengekang binatang yang ditunggangi. Sedangkan jika dikaitkan pada ayat tersebut, redaksi ribat bermakna mempersiapkan kekuatan untuk menggentarkan musuh melalui mempersiapkan persenjataan.

Menurut Rida pengertian dari ribat al-khayl terdiri dari dua macam. Pertama, usaha untuk mempersiapkan tenaga sesuai kemampuan masing-masing. Kedua, meningkatkan kewaspadaan di seluruh tempat-tempat penting dalam suatu negara seperti pelabuhan, bandara, kantor pemerintahan juga perbatasan negeri agar tidak jatuh ke tangan musuh. Sehingga dalam hal ini Rida menafsirkan redaksi ribat al-khayl dengan menyesuaikan konteks zaman yang berkembang. Jika pada masa Rasulullah Saw, peralatan tempur yang digunakan adalah panah, alat pelempar atau Manjaniq juga pasukan berkuda atau kavaleri. Maka pada zaman modern berupa alusista.

            Redaksi selanjutnya adalah turhibuna bihi aduw Allah wa ‘aduwwakum (kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu). Menurut Rida, adalah merancang strategi untuk menggentarkan musuh dengan mengerahkan seluruh upaya dalam masalah keamanan seperti unsur militer, kepolisian dan intelijen. Kata turhibu>na yang memiliki akar kata al-irhab dimaknai dengan usaha yang dilakukan untuk membuat lawan menjadi kagum dan gentar sehingga dapat menyiutkan nyali lawan (Muhammad Rashid Rida, Tafsir al-Qur`an al-Hakim al-Shahir bi Tafsir al-Manar, Juz 10, hal. 70-72).

Kemudian pada redaksi wa akharin min dunihim la ta’lamunahum Allah ya’lamuhum (dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya.)  menurut at-Tabari, terdapat beberapa pendapat mengenai redaksi wa akharin yakni Bani Quraidah (Salah satu kabilah Yahudi Madinah), Imperium Persia, orang-orang Munafik, dan satu kaum dari bangsa Jin.

Dari pendapat ini, at-Tabari pun mengingatkan dalam tafsirnya untuk tetap waspada dengan musuh yang tidak tampak. Tambahnya, musuh dalam konteks ini ialah musuh dalam selimut. Tentu ini merupakan ancaman paling berbahaya dalam kehidupan suatu bangsa. (at-Tabari, Jami’ al-Bayan ‘An Ta`wil Ay al-Qur`an, Juz 4, hal 59-60).

Ahmad Mustafa Al-Maraghi memiliki kesamaan pandangan dengan Rashid Rida mengenai penafsiran ayat ini. Namun, al-Maraghi menambahkan pendapatnya mengenai hikmah turunnya ayat tersebut agar umat manusia memiliki sikap waspada terhadap keamanan negeri. Dalam mewujudkan keamanan negeri, maka perlu dibentuk angkatan bersenjata sebagai kekuatan resmi untuk melindungi rakyat dan Negara dari ancaman musuh. Selain itu dibutuhkan pula dinas resmi yang bertugas mengolah informasi dari pihak musuh atau yang disebut dengan intelijen. (Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz 10, hal. 24-25)

Berkenaan dengan ayat ini, jika dikaitkan dengan era milenial, maka perang bukan lagi pada ranah persenjataan, namun perang pada ranah pemikiran. Sehingga yang perlu diwaspadai pada era masa kini adalah narasi-narasi kebencian yang mengantarkan pada perpecahan dan konflik sosial. Sehingga pihak keamanan harus meningkatkan kewaspadaan terhadap narasi-narasi kebencian dan hasutan yang tersebar di media sosial. Oleh karena itu langkah utama yang harus dilakukan adalah menggandeng elemen masyarakat untuk dapat melawan narasi kebencian melalui tim cyber medsos.

meski demikian, bukan berarti keamanan ranah publik diabaikan begitu saja. Hal ini tetaplah penting, karena saat ini tempat-tempat penting seperti bandara, stasiun kereta api, bahkan perbatasan negeri menjadi rawan akan kejahatan abik berupa adanya pelaku pengedar narkoba, terorisme dengan segala jaringannya maupun perdagangan manusia. Jika kita lengah, maka para pelaku kejahatan dengan mudahnya akan menggunakan fasilitas publik untuk menyebarkan tindakan kejahatan.

Penutup ayat yakni wa ma tunfiqu min sya`in fi sabil Allah yuwaffa ilaykum wa antum la ta’lamun (Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)).

Allah Swt. mengakhiri ayat ini dengan mengungkapkan masalah infak harta di jalan-Nya. Menurut at-Tabari, jika seseorang menyumbangkan hartanya baik untuk membeli peralatan tempur maupun hal lain yang dapat menggentarakan musuh, maka hal tersebut termasuk dalam menginfakkan harta di jalan Allah. Jika melakukan hal ini, maka bagi orang tersebut akan ada balasan baik di dunia maupun di akhirat. Sehingga dengan menginfakkan hartanya untuk kemaslahatan bersama dalam rangka meningkatkan kewaspadaan dan keamanan dalam negeri, maka orang tersebut tidak akan merasa rugi atau dianiaya. Wallahu a’lam

Jaka Ghianovan
Jaka Ghianovan
Dosen di Institut Daarul Qur'an (IDAQU) Tangerang. Aktif di Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Q.S An-Nisa’ Ayat 83: Fenomena Post-truth di Zaman Nabi Saw

0
Post-truth atau yang biasa diartikan “pasca kebenaran” adalah suatu fenomena di mana suatu informasi yang beredar tidak lagi berlandaskan asas-asas validitas dan kemurnian fakta...