BerandaKhazanah Al-QuranStudi Al-Quran di Barat, Antara Iman dan Objektifitas Akademik

Studi Al-Quran di Barat, Antara Iman dan Objektifitas Akademik

Dalam sebuah buku diktat tentang studi Al-Quran di Barat yang ditulis oleh beberapa akademisi berjudul The Blackwell Companion to the Quran, saya tertarik dengan pernyataan Christopher Buck dalam sub bagian yang ditulisnya. Di awal tulisan, Buck menulis sebuah pernyataan menarik: The Quran, the holy book of Islam, may well be the most powerful book in human history (Al-Quran, Kitab Suci umat Islam,  boleh jadi adalah buku yang paling berpengaruh dalam sejarah umat manusia).

Pengakuan Christoper Buck di atas saya kira bukan atas dasar keimanan, karena setahu saya Ia bukan Muslim. Pernyataan di atas semata-mata adalah pandangannya sebagai akademisi yang mengagumi pengaruh Al-Quran. Banyak di kalangan akademisi Barat pengkaji Studi Agama terutama Islam yang sangat apresiatif terhadap Al-Quran. Bahkan sikap apresiatif ini bisa dibilang sebagai kecenderungan yang paling dominan, untuk tidak menyebut seluruhnya.

Studi Al-Quran memang tidak hanya berkembang di Negara-Negara Islam, akan tetapi juga berkembang di Barat. Pasca peristiwa 9/11 pada tahun 2001, geliat studi Al-Quran di Barat kemudian melahirkan banyak kajian tidak hanya di kampus-kampus dengan Studi Agama di dalamnya, tetapi juga di kampus-kampus Negeri yang tidak ada Studi Agama/Timur di dalamnya.

Baca Juga: Robert of Ketton dan Dinamika Penerjemahan Al-Quran, Menjawab Kesimpulan Keliru Soal Kontribusi Orientalis dalam Studi Al-Quran

Masuknya kajian Al-Quran bahkan sempat menimbulkan polemik di kalangan masyarakat Barat. Christopher Buck menceritakan satu kasus di University of North Carolina pada tahun 2002, setahun setelah peristiwa 9/11. Kampus tersebut membuka kelas Summer Reading Program dengan buku utama karya Michael Sell berjudul Approaching the Quran: The Early Revelation.

Keputusan kampus ini banyak ditentang karena pengajaran buku ini dianggap dapat mencederai semangat Establisment Clause, klausul dalam UU Amerika Serikat yang melarang Negara untuk menunjuk satu agama resmi dan juga melarang pemerintah untuk memihak satu agama tertentu.

Kasus ini cukup menimbulkan polemik hingga diperkarakan ke pengadilan dan diberitakan oleh berbagai media. Dalam tahap-tahap pengadilan dari mulai pengadilan terendah (circuit courts of appeal) hingga pengadilan tertinggi Mahkamah Agung (US Supreme Court), kelompok penentang ini kalah.

Sebagaimana dikutip Buck, Hakim Agung N. Carlton Tilley menyatakan: “buku Approching the Quran tidak bisa disamakan dengan pengajaran praktik agama yang menyalahi Establisment Clause, penulis buku ini hanya menjelaskan Al-Quran bukan untuk mempromosikannya.”

Baca Juga: Michael Sells, Mengenalkan Aspek Aural dan Skriptural Sebagai Pendekatan Terhadap Al-Qur’an

Dari contoh kasus di atas, mungkin timbul pertanyaan apa bedanya menjelaskan Al-Quran dengan mempromosikannya? Secara singkat bisa dikatakan bahwa yang pertama berada dalam bingkai akademik (mempelajari), sedang yang kedua dalam bingkai doktrin agama (meyakini/mengimani).

Meski demikian, keduanya tetap bisa berjalan beriringan. Artinya seseorang bisa mengimani al-Quran sebagai doktrin sekaligus bisa melihatnya sebagai sebuah objek akademik seperti yang telah dilakukan oleh sarjana Muslim selama ini.

Adanya perbedaan tersebut merupakan hasil dari sejarah panjang polarisasi yang ada di dunia Barat. Terutama timbul dari adanya perbedaan yang mencolok antara pendekatan tradisional Muslim dengan pendekatan akademik Barat. Yang paling mencolok dari pendekatan akademik Barat adalah karakternya yang skeptis, analitik, dan kritis terhadap Al-Quran.

Baca Juga: Introducing English Semantics: Teori Semantika Al-Quran Ala Charles W. Kreidler

Untuk menjembatani kedua pendekatan di atas, Wilfred Cantwell Smith memiliki penjelasan yang cukup memadai. Dalam “Comparative Religion: Whither—and Why?” Smith mengenalkan istilah insider-outsider dynamic. Smith mengatakan bahwa pada prinsipnya jalan terbaik dalam menggeluti Al-Quran adalah masuk dan melihat dari perspektif orang yang mengimani (emic) sembari menjaga objektivitas akademik (etic).

Perspektif yang ditawarkan Smith di atas diterima dengan baik dan menjadi hal yang biasa dalam Studi Al-Quran di Barat dewasa ini. Pada gilirannya, kajian atas al-Quran terus berkembang di ranah akademik dengan beragam pendekatan. Hingga saat ini, banyak sekali sarjana Muslim yang belajar di Barat untuk memperdalam Studi Al-Quran dalam kapasitas mereka sebagai akademisi dengan perpektif emic sekaligus etic. Wallahu A’lam.

Wildan Imaduddin Muhammad
Wildan Imaduddin Muhammad
Dosen Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Konsep Kepemimpinan Berdasarkan Sila Kelima Pancasila

0
Dalam Pancasila terdapat nilai-nilai yang dapat menginspirasi terkait konsep kepemimpinan yang sesuai dengan semestinya, yakni sila yang kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat  Indonesia”....