Salah satu instrumen dalam pewahyuwan Al-Quran yang cukup debatable dan masih hangat untuk diperbincangkan dewasa ini adalah qiraah. Sejarah telah mencatat bahwa tanpa panduan ilmu qiraah, Al-Quran sebagai teks transenden-universal akan sulit diterima, dibacakan, dan dipelajari oleh manusia dengan beragam bahasa dan dialek. Untuk itulah, ulama membuat sebuah konsensus yang menjadi standar baku dalam membaca Al-Quran dan dikenal dengan qiraah sab’ah.
Baca juga: Mengenal Kitab Al-Sab’ah fi Al-Qiraah (2) karya Ibnu Mujahid
Term qiraah sab’ah tentu bukan hal baru lagi di telinga kita. Sudah banyak literatur dengan beragam perspektif yang mendalami dan mengkaji masalah qiraah sab’ah ini. Namun ada beberapa poin fundamental dalam acuan baku tersebut yang berakibat fatal, jika tidak dijelaskan secara kompherensif bahkan keautentikan Al-Quran akan menjadi taruhannya. Diantara poin tersebut sebagai berikut:
Kuantitas sanad
Riwayat yang populer dengan sebutan qiraah sab’ah atau qiraah tujuh adalah:
1) Nafi’ al-Madani (70-169 H), Imam Nafi’ dari Madinah; 2) Abdullah bin Katsir al-Makki (45-120 H), Imam Ibnu Katsir dari Makkah; 3) Abu Amr al-Bashriy (68-154 H), Imam Ibnu Amir dari Basyrah; 4) Ibn Amir bin asy-Syamiy (21-118 H), Imam Ibn Amr dari Damaskus; 5) Abu Bakar Ashim bin Abi Najud (w. 127/128 H), Imam Ashim dari Kufah; 6) Hamzah al-Kufi (80-156 H), Imam Hamzah dari Kufah; 7) Ali bin Hamzah al-Kisa’i al-Kufi (119-189 H), Imam Kisa’i dari Kufah (Ahmad Fathani, Kaidah Qira’at Tujuh, 2005:119-123).
Jika diamati, ke tujuh Imam qiraah di atas yang menyampaikan qiraah Nabi SAW hanya terdiri dari satu dan atau dua orang rawi saja. Padahal jika kita memakai kriteria mutawatir dalam konstruk Ilmu Hadis, ditinjau dari aspek kuantitas perawi dari semua derajat thabaqat perawi, bahwa hadis mutawatir ialah suatu hadis yang disampaikan oleh banyak rawi yang secara adat tidak mungkin mereka bersepakat berbohong, juga terdapat keseimbangan diantara rawinya mulai dari permulaan sanad hingga akhir sanad (ujung perawi), serta tidak ada kejanggalan jumlah rawi pada setiap tingkatan (Ibnu Shalah, Ulum al-Hadith, 1972:10).
Baca juga: Qiraat Al-Quran (1): Sejarah dan Perkembangannya di Era Islam Awal
Sehingga, dalam proses penyampaian qiraah tersebut terkesan ahad, padahal ulama sepakat bahwa status Al-Quran adalah mutawattir (Mengenai konsekuensi hadis ahad silahkan dibaca sendiri). Ini bisa saja terjadi karena sudut pandang yang digunakan adalah ilmu hadis. Akan tetapi, jika perspektif yang dipakai adalah berdasarkan Ilmu qiraah, bahwa dalam periwayatan qiraah dengan sanad perawi yang kelihatanya tampak seorang diri (terbilang sedikit dan tidak mencapai derajat mutawair) namun pada esensinya para perawi tersebut tidak sendiri (atau tidak sedikit) karena pada saat bersamaan terdapat periwayat lain yang meriwayatkannya. Begitu juga dengan penduduk di negeri tersebut yang tentu ikut terlibat dalam meriwayatkannya, sekalipun tidak dicantumkan dalam rangkaian sanad yang ditulis oleh para ulama. Dan harus diakui bahwa untuk melacaknya bukanlah sesuatu yang mudah (M. Darwis Hude dkk., Penelusuran Kualitas dan Kuantitas Sanad Qiraah Sab’ah, 2020)
Baca juga: Qiraat Al-Quran (2) : Sejarah dan Perkembangan Qiraat di Era Sahabat
Sebagai contoh misalnya seperti Ibn Amir, ia menerima qiraah dari Abu Darda’, yang jika dilihat dari jalur sanad yang ditulis para ulama tampak menyendiri dan tidak memiliki muttabi’ (perawi lain yang sama-sama meriwayatkan qiraah dari Abu Darda’). Namun pada hakikatnya, Ibn Amir tidaklah sendirian dalam meriwayatkan qiraah dari Abu Darda’ tersebut. Sebab ada banyak rawi pula yang meriwatkan qiraah dari Abu Darda’, termasuk keluarganya sebagaimana Abu Darda’ tidak sendirian dalam membaca qiraah kepada Nabi, sebab banyak pula sahabat lain yang meriwayatkannya. Jika yang dimaksud dengan mutawatir dalam konteks ini maka dapat dikatakan bahwa seluruh sanad qiraah sab’ah dari para Imam qiraah kepada Rasulullah SAW status adalah mutawatir.
Walhasil, sanad-sanad qiraah dari para imam tujuh baik yang tidak ditulis atau yang ditulis oleh para ulama atau orang-orang yang mendapat ijazah, meskipun terlihat ahad tapi statusnya adalah tetap mutawatir. Karena pada hakikatnya—dan harus diyakini—bahwa pola riwayat mereka adalah riwāyah jam‘in ‘an jam‘in (riwayat orang banyak dari orang banyak). Walaupun yang ditulis cukup satu perawi saja dan itulah yang sampai kepada kita.
Narasi teks dan redaksi bacaan
Adat atau kebiasaan yang sering dipraktekkan dalam suatu ungkapan yang merujuk pada imam qiraah tujuh cenderung mengantarkan pada kesalahpahaman. Seperti ungkapan yang mashur di Indonesia, “tata baca Al-Quran kita menggunakan qiraah Ashim riwayat Hafs.” Sepintas redaksi sederhana ini tidak terdengar problematik. Berbeda halnya bagi kalangan awam, tentu redaksi semacam di atas bisa menimbulkan kesalahpahaman bahwa Al-Quran yang dibaca sekarang berdasarkan bacaan Imam Ashim bukan dari Rasulullah. Oleh karena itu, perlu ada penjelasan kelanjutan yang harus disampaikan bahwa sebenarnya redaksi “qiraah Ashim riwayat Hafs” itu berarti bacaan Rasullah SAW yang ditirukan dan sampai pada Imam Ashim melalui riwayat Hafs.
Meskipun masalah ini kelihatannya sederhana dan sepele, sedikit banyak akan berbeda “cerita” jika dibiarkan begitu saja sampai pada generasi anak-cucu kita. Maka bagi siapapun yang berdedikasi di bidang qiraah, alangkah baiknya jika masalah ini menjadi pertimbangan tersendiri sebagai bentuk antisipasi terhadap hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari.
Wallāhu a‘lam bi al-Sawāb.