Surah pertama dalam Alquran, yaitu surah al-Fātihah memiliki sejumlah nama yang unik. Nama-nama tersebut dinukiil oleh para ulama baik berdasarkan riwayat ataupun berdasarkan kandungan dan redaksinya. Di antara nama-namanya adalah fātihatul kitāb, as-sab’ul matsāni, ar-ruqyah, al-wāqiyah, al-kāfiyah dll.
Berbeda dengan beberapa nama sebelumnya, di kampung halaman saya, kampung Terengan, di Lombok Utara, surah al-Fātihah lebih sering disebut dengan surah “peteha“. Penyebutan ini sangat dipengaruhi oleh bahasa asli orang Lombok; bahasa Sasak. Kata “peteha” dibaca dengan membunyikan huruf vokal “e” pertama seperti pada kata “peti”, sedangkan huruf “e” kedua dibunyikan seperti pada kata “bengkel”.
Huruf “P” adalah pelafalan orang Lombok untuk membunyikan huruf konsonan “F”. Seperti halnya orang Sunda yang nampaknya sedikit kesulitan saat membunyikan huruf “F” dan lebih memilih huruf “P” karena dirasa lebih nyaman dan mudah dilafalkan.
Penggunaan kata “peteha” untuk menyebut surah al-Fātihah bukan hanya digunakan oleh warga kampung Terengan, akan tetapi digunakan hampir di semua daerah di Lombok, terutama oleh para orang tua dan para sesepuh. Bedanya, jika warga kampung saya menyebut kata “peteha” dengan akhiran bunyi vokal “a”, maka di kebanyakan daerah lain menggunakan akhiran “e” dengan bunyi yang sama dengan vokal “e” pertama. Ini dipengaruhi oleh bahasa Sasak yang notabenenya selalu mengganti huruf “a” di akhir kata dengan bunyi huruf “e”, seperti pada kata “percume”, “angke due”, “angke lime”, “sengaje”, dan lain-lain.
Baca Juga: ‘Pepujian Jawi’ Surah Al-Fatihah
Selain menyebut surah al-Fātihah dengan “peteha”, warga kampung Terengan sering menyebut surah al-Fātihah dengan sebutan surah “alham“, atau lebih tepatnya “al-hamd” dari kata الحمد pada penggalan awal ayat pertama dalam surah al-Fatihah.
Penyebutan ini, mungkin kurang lebih sama dengan penyebutan surah “qulhu” untuk surah al-Ikhlās, “amma” untuk surah “an-nabā“, atau “tabbat” untuk menyebut surah al-Lahab. Karena kata itulah yang menjadi awal kata pada ayat pertama setiap surah tersebut. Sejauh pengetahuan penulis, para ulama tidak pernah menyinggung nama-nama itu untuk menyebut surah-surah tersebut. Namun berbeda dengan penamaan surah al-Fātihah dengan sebutan “alham” atau “al-Hamd“.
Awalnya saya mengira bahwa penyebutan itu digunakan oleh para tetua di kampung penulis untuk memudahkan ingatan, dimana ketika menyebut namanya maka akan langsung terbayang bunyi awal ayat dari surah itu; bukan karena ada panduan dan dasarnya dari literatur keislaman. Penulis sendiri sudah menghilangkan kebiasaan sejak kecil menyebut surah al-Fatihah dengan nama surah al-Hamd. Penulis beranggapan bahwa sudah saatnya menyebut nama al-Fātihah dengan namanya sendiri.
Baca Juga: Ini Rahasia Angka Tujuh dalam Surah Al-Fatihah
Namun, alangkah kagetnya ketika penulis menemukan nama itu disinggung dalam salah satu kitab tafsir mu’tabar dari generasi klasik, yaitu tafsir al-Jāmi’ li Ahkām Al-Qur’ān, kitab tafsir karya Imām al-Qurthūbī, ulama besar klasik asal Cordova, Andalusia atau yang sekarang dikenal dengan negara Spanyol.
Dalam tafsirnya, beliau menjelaskan,
الثاني: الحمد؛ لأن فيها ذكر الحمد، كما يقال سورة الأعراف، والأنفال، والتوبة، ونحوها
Nama yang kedua dari al-Fātihah adalah “al-hamd”; karena di dalamnya disebutkan kata الحمد sebagaimana surah al-A’raf, al-Anfāl, at-Taubah, dan semisalnya (dinamakan demikian karena di dalam masing-masing surahnya disebutkan kata-kata itu).
Keterangan ini sempat membuat saya kaget, penamaan “alham” atau “al-hamd” terhadap surah al-Fātihah oleh warga kampung Terengan yang awalnya saya anggap asal-asalan alias tidak berdasar bisa jadi memang mempunyai transmisi keilmuan yang bermuara pada penafsiran al-Qurṭūbī.
Namun demikian, bukan berarti penamaan surah al-Kāfirūn dengan sebutan “qulya“, al-Quraisy dengan “li-iila“, al-Mā’ūn dengan “ara’ay“, dan penamaan lainnya yang dipakai warga kampung Terengan itu juga terdapat dalam tafsir, loh ya. Tentu ini membutuhkan penelitian lebih lanjut. Wallahu a’lam.