Tanggapan Alquran Menyikapi Fenomena Fatherless

Tanggapan Alquran Menyikapi Fenomena Fatherless

Belakangan ini, dunia maya digegerkan dengan rentetan berita yang membahas tentang anak yang kekurangan kasih sayang dan peran dari ayahnya sebagai kepala keluarga. Fenomena ini akrab dikenal dengan sebutan fatherless. Meski sebetulnya bukan kasus yang ‘baru’, namun istilah ini menjadi sebutan yang tidak lama dikenal khalayak.

Di samping utamanya peran seorang ibu, peran ayah juga sangat dibutuhkan bagi setiap anak dalam tumbuh kembangnya. Maka, disayangkan sekali jika anak kekurangan peran dari figur seorang ayah. Bahkan Alquran menggaungkan pentingnya peran ayah bagi seorang anak yang akan dijelaskan berikut ini.

Baca Juga: Peran Ayah dalam Pengasuhan Anak Perspektif Alquran

Mendidik Iman Bagi Anak

Figur ayah dalam mendidik iman bagi seorang anak adalah dimulai saat pengumandangan azan di telinga sang anak setelah dikeluarkannya dari kandungan. Tanggung jawab inilah diharuskan terawat hingga anak mencapai usia baligh, agar tertanam ketetapan iman di hati anak. Sebagaimana nasihat Luqman terhadap putranya yang tertera pada surah Luqman ayat 13 berikut.

وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِه وَهُوَ يَعِظُه يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِۗ اِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ

(Ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, saat dia menasihatinya, “Wahai anakku, janganlah mempersekutukan Allah! Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) itu benar-benar kezaliman yang besar.”

Luqman menasehati putranya yang bernama Ṡārān, agar tidak menyekutukan Allah. Al-Qushayri menyebutkan bahwa anak-istrinya adalah orang kafir, sehingga ia terus-menerus berdakwah kepada mereka hingga pada akhirnya mereka masuk Islam. [Tafsīr al-Qurṭubī, 14/62]

Dari kisah Luqman ini, menunjukkan bahwa seorang ayah sebagai kepala keluarga, hendaknya terus-menerus menegur dan meluruskan kepada jalan yang benar bagi anggota keluaganya, termasuk anak-anaknya. Sebab, rusaknya iman adalah tindakan fatal yang amat serius.

Open Minded Terhadap Anak

Sikap open-minded ditunjukkan dengan keterbukaan seorang ayah kepada anaknya terhadap masukan, keluh kesah, dan pemikiran sang anak. Kemudian ayah memberikan arahan sebagai tanggapan atas apa yang diutarakan sang anak. Merangkul dengan dialog, mendengarkan, dan memberikan saran sebagai bentuk kasih sayang. Tidak dengan menyudutkan tanpa mau mendialogkan dengan anak sama sekali.

Baca Juga: Peran Ayah dalam Keluarga Menurut Alquran

Sikap ini telah diajarkan oleh Nabi Ibrahim kepada kedua putranya, Ismail dan Ishaq. Nabi Ibrahim sangat open-minded kepada kedua putranya. Melalui komunikasi terbuka itulah, kedua putra Nabi Ibrahim merasa dihargai dan disayangi. Dihargai karena didengar, dan disayangi sebab mendapat nasihat. Hal ini telah diceritakan dalam surah al-Shaffat ayat 102 berikut.

فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.”

Al-Shabuni mengutip perkataan Ibnu Abbas dan Mujahid dalam menafsirkan falammā balagha ma’ahu al-sa’ya, bahwa ketika itu putranya tumbuh besar dan mampu melakukan perjalanan, serta mampu melakukan apa saja yang dilakukan ayahnya dalam bekerja. [Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kaṡir, 2/186]

Artinya, kondisi putra Ibrahim yang sedang diceritakan ayat ini adalah telah menginjak usia baligh. Ini terlihat dari kemampuan putranya dalam menempuh perjalanan yang kala itu belum semudah sekarang dalam menempuh perjalanan. Serta kemampuannya dalam bekerja.

Pada usia beranjak baligh inilah, terjadi komunikasi terbuka antara Nabi Ibrahim dan putranya dalam menyelesaikan permasalahan. Dikatakan percakapan pertama: “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?”

Baca Juga: Fashabrun Jamil, Kisah Kebijaksanaan Sang Ayah Saat Ditipu Anak-Anaknya

Al-Shabuni mengomentari, bahwa pemberitaan ini sebetulnya adalah upaya Nabi Ibrahim dalam rangka memudahkan putranya dalam menjalankan kehidupan. Atau dalam kata lain, menggembleng jiwa, agar mudah meraih takwa. Yakni untuk menguji kesabaran, ketabahan, dan keteguhan hatinya di masa mudanya dalam menaati Allah dan ayahnya. [Mukhtaṣar Tafsīr Ibnu Kaṡir, 2/186] Dan kemudian putra beliau memersilakannya menyembelih dirinya, karena itu adalah perintah Allah yang wajib dipatuhi.

Sejatinya, membangun komunikasi yang baik antara anak dan ayah adalah kunci dari sebuah keharmonisan. Hubungan yang sehat inilah, akan mengantarkan pribadi anak yang lebih baik. Ketika usia anak menginjak baligh, atau telah memasuki usia yang bisa diajak untuk berkomunikasi terbuka, maka saatnya seorang ayah selalu menciptakan ruang dialog yang sehat. Ber-open-minded terhadap anak.

Sebab perlu diketahui bahwa seorang ayah yang memerankan dirinya sebagai pendengar dan penasihat yang baik, anak akan merasa dihargai dan diterima keberadaannya, serta disayang dan dikasihi. Ini akan berdampak pada perkembangan emosional yang stabil yang akan berpengaruh terhadap masa depan anak.

Fatherless Tidak Disarankan dalam Alquran

Berdasarkan pemaparan tafsiran dua ayat di atas terkait bagaimana pentingnya figur seorang ayah bagi sang anak, dapat dipahami bahwa Alquran sama sekali tidak mendukung adanya fenomena fatherless. Oleh karenanya, para kaum Adam hendaknya mempersiapkan dirinya agar menjadi sosok ayah yang baik bagi anaknya kelak. Karena tidak hanya ibu saja yang berperan atas tumbuh kembang anak, namun seorang ayah juga turut andil dalam hal ini. Kerjasama kedua orangtua dalam membersamai tumbuh kembang anak sangat berpengaruh terhadap kualitas generasi masa depan.

Wallāhu A’lamu.