Surah Al-Hajj [22] Ayat 34: Berkurban Adalah Syariat Agama Samawi

Syariat Qurban
Syariat Qurban

Dalam ajaran Islam, terdapat syariat qurban yang dilaksanakan setiap bulan Dzulhijjah, tepatnya pada hari raya Idul Adha dan hari-hari Tasyriq. Secara bahasa, qurban berasal dari bahasa Arab qaruba-yaqrubu-qurbanan yang bermakna mendekat. Sedangkan secara istilah, qurban adalah menyembelih hewan tertentu (hewan qurban atau al-udhhiyyah) dengan niat mendekatkan diri kepada Allah swt (al-Shihah fi al-Lughah [2]: 28).

Ibadah qurban – sebenarnya – tidak hanya disyariatkan dalam ajaran Islam, tetapi juga agama-agama terdahulu, yakni agama samawi. Ibnu Katsir dalam Qashah al-Anbiya menyebutkan bahwa syariat qurban telah ada sejak masa Nabi Adam as, tepatnya ketika Allah memerintahkan Qabil dan Habil untuk berkurban. Hal ini diabadikan Allah swt dalam surah al-Maidah [5] ayat 7 yang bermakna:

Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua putra Adam, ketika keduanya mempersembahkan kurban, maka (kurban) salah seorang dari mereka berdua (Habil) diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima. Dia (Qabil) berkata, “Sungguh, aku pasti membunuhmu!” Dia (Habil) berkata, “Sesungguhnya Allah hanya menerima (kurban) dari orang yang bertakwa.” (QS. Al-Maidah [5] ayat 7).

Baca Juga: Haruskah Pamer Hewan Kurban di Medsos? Simak Penjelasannya

Dalam surah al-Hajj [22] ayat 34 Allah juga menegaskan bahwa syariat qurban adalah syariat agama samawi yang dibawa oleh nabi-nabi terdahulu dan tidak hanya dikhususkan dalam ajaran Islam yang dibawa oleh nabi Muhammad saw. Firman-Nya:

وَلِكُلِّ اُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِّيَذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلٰى مَا رَزَقَهُمْ مِّنْۢ بَهِيْمَةِ الْاَنْعَامِۗ فَاِلٰهُكُمْ اِلٰهٌ وَّاحِدٌ فَلَهٗٓ اَسْلِمُوْاۗ وَبَشِّرِ الْمُخْبِتِيْنَ ۙ ٣٤

Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak. Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserahdirilah kamu kepada-Nya. Dan sampaikanlah (Muhammad) kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah).” (QS. Al-Hajj [22] ayat 34).

Secara umum, surah al-Hajj [22] ayat 34 berisi informasi bahwa syariat qurban disyariatkan dalam setiap agama samawi dengan bentuk tertentu. Syariat ini ditujukan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan manifestasi rasa syukur terhadap-Nya atas rezeki yang telah diberikan, termasuk binatang ternak. Selain itu, bagian akhir ayat ini memerintahkan manusia untuk berserah diri dan patih kepada ketentuan Allah Swt.

Menurut Quraish Shihab, surah al-Hajj [22] ayat 34 menjelaskan bahwa Allah telah menjadikan bagi setiap umat syariat mansak, yakni syariat qurban dan tempat penyembelihannya. Tujuan syariat itu adalah mendekatkan diri kepada Allah, dan supaya manusia menyadari kebesaran-Nya, bukan selain-Nya. Demikiannya syariat Allah kepada umat-umat terdahulu, demikian pula yang harus dilakukan oleh umat Islam dalam rangka mematuhi perintah-Nya.

Kata mansakan diambil dari kata nasak yang berarti menyembelih. Patron kata yang digunakan ayat ini menunjuk pada tempat, sehingga ia bermakna tempat penyembelihan. Sebagian ulama memperluas maknanya sehingga dapat diartikan ibadah dan ketaatan secara umum. Dalam konteks ini surah al-Hajj [22] ayat 34 bermakna, ‘Allah swt telah menjadikan bagi setiap umat ibadah dan ketaatan dalam rangka mendekat kepada-Nya (Tafsir al-Misbah [9]: 53).

Al-Sa’adi menuturkan dalam Taisir al-Karim al-Rahman Fi Tafsir Kalam al-Mannan, makna surah al-Hajj [22] ayat 34 adalah Allah swt telah menjadikan bagi setiap umat, termasuk umat-umat terdahulu, ibadah dan ketaatan tersendiri, maka berlomba-lombalah kepada kebaikan dan bersegeralah menujunya. Kemudian, Dia akan memperhatikan siapa di antara kalian yang paling baik amalnya.

Al-Sa’adi menambahkan, sekalipun bentuk dan jenis syariat agama samawi berbeda-beda, sejak nabi Adam hingga nabi Muhammad saw, namun semua itu memiliki pangkal tujuan yang sama, yakni mendekatkan diri kepada Allah swt. Dalam konteks ini, syariat qurban juga serupa. Meskipun ia hadir dalam wujud yang berbeda pada masing-masing agama samawi sesuai ketatapan Allah, namun itu membawa ruh ketaatan yang sama, yakni ketauhidan dan kedekatan.

Hal serupa disampaikan oleh Imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain. Menurutnya, surah al-Hajj [22] ayat 34 menyampaikan bahwa Allah swt telah mensyariatkan ibadah qurban bagi umat-umat terdahulu (sebelum era nabi Muhammad saw) dengan menyembelih hewan ternak yang telah diberikan Allah kepada mereka. Hal ini dilakukan dalam rangka berserah diri kepada Allah dan mematuhi perintahnya.

Sedangkan Syekh Nawawi  al-Bantani menyebutkan dalam Marah Labid, surah al-Hajj [22] ayat 34 berisi tentang informasi ibadah qurban bagi umat-umat terdahulu, sejak masa nabi Ibrahim hingga nabi Muhammad, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Kemudian, penyebutan Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa ditujukan agar orang yang berkurban hanya menyebut nama-Nya, bukan selain-Nya sebagai manifestasi ketauhidan dan keislaman.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Syarat, Rukun Puasa Ramadan, dan Alasan Niat di Malam Hari

Al-Bantani juga menegaskan ayat ini mendeskripsikan tentang tauhid uluhiyyah dan rububiyyah, bahwa sesungguhnya Allah Swt adalah Tuhan Yang Maha Esa pada dzat-Nya sebagaimana Keesaan-Nya pada Ilahiyyah. Oleh karena itu, seluruh makhluk wajib mengesakan dan berserah diri kepada-Nya dengan cara tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun dan patuh terhadap segala ketentuan yang Dia berikan.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami surah al-Hajj [22] ayat 34 berisi tentang informasi bahwa ibadah qurban merupakan syariat Isam dan agama-agama samawi yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt dan sebagai manifestasikan ketaatan kepada-Nya. Dalam konteks ini, seorang muslim dapat meyakini kebenaran Islam dan agama-agama samawi, karena semuanya merujuk pada hal yang sama, yakni ketauhidan dan ketaatan. Wallahu a’lam.