BerandaTafsir TematikSurah Al-Hujurat Ayat 13 dan Fenomena Perbudakan Spiritual

Surah Al-Hujurat Ayat 13 dan Fenomena Perbudakan Spiritual

Ahmad Syafii Maarif dalam karyanya, Memoar Seorang Anak Kampung, mengatakan bahwa:

“Mereka yang mendewakan keturunan raja, ulama, atau bahkan keturunan nabi termasuk dalam kategori perbudakan spiritual ini, menurut pemahamanku. Bagiku, gelar-gelar sayid, syarifah, wali, habib, dan 1001 gelar lain yang mengaku keturunan nabi, atau keturunan raja, hulubalang, atau keturunan bajak laut dan perompak lanun yang kemudian ditakdirkan menjadi raja, sultan, amir, dan dianggap keramat dan suci oleh sebagian orang akan runtuh berkeping-keping berhadapan dengan penegasan ayat Al-Qur’an surat Al-Hujurat: 13.”

Pernyataan Ahmad Syafii Maarif di atas begitu aktual terjadi hari-hari ini. Mereka yang tersemat dalam namanya beragam gelar keramat sangat disanjung dan dimuliakan oleh sebagian orang di negeri ini, bahkan begitu “didewa-dewakan”. Inilah gambaran dari kultur masyarakat tradisionalis, yang menurut Haedar Nashir, secara sosiologis, kultur mitos itu masih kuat.

Maka, tak heran banyak di antara mereka saling rebutan hendak memeluk dan mencium berkali-kali tangan orang yang dianggap keramat itu saat bertemu meskipun dalam kondisi berdesak-desakan bahkan mengancam jiwa mereka, dengan dalih mengambil berkah darinya. Fenomena inilah yang tak luput dari sorotan Ahmad Syafii Maarif di atas.

Afirmasi QS. Al-Hujurat (49) Ayat 13

Kemuliaan manusia di sisi Allah tidak ditentutakan oleh faktor keturunan ataupun faktor kekayaan, tetapi ditentukan oleh nilai ketakwaan. Sebagaimana di dalam Al-Qur’an ditegaskan:

اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ ١٣

“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” (QS. Al-Hujurat [49]: 13)

Menurut Ibnu Katsir, ayat di atas menunjukkan bahwa kedudukan manusia di sisi Allah tidak bergantung kepada faktor keturunan, melainkan ketakwaan. Hal ini senada dengan sabda Rasulullah saw:

“Sesungguhnya Allah tidak melihat rupa dan harta benda kalian, tetapi Dia melihat hati dan amal perbuatan kalian.” (HR. Muslim dan Ibnu Majah)

Dalam hadis lain juga Rasulullah saw. mengatakan:

“Lihatlah, sesungguhnya engkau tidaklah lebih baik dari (orang kulit) merah dan hitam, kecuali jika engkau melebihkan diri dengan ketakwaan kepada Allah.” (HR. Ahmad)

Diriwayatkan juga dari Abu Malik Al-Asy’ari, bahwa Rasulullah saw bersabda:

“Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada kemegahan orang tuamu, keturunanmu, fisikmu, dan hartamu. Akan tetapi, Ia melihat hatimu (jiwamu). Barang siapa yang mempunyai hati yang saleh, pastilah Allah mengasihinya. Kamu semua hanyalah anak Adam dan yang paling dikasihi oleh Allah di antara kamu adalah yang paling bertakwa kepada-Nya.” (HR. Ath-Thabrani)

Baca juga: Misi Alquran dalam Pembebasan Perbudakan

Di dalam Tafsir Al-Azhar, Hamka menegaskan bahwa tidak ada kemuliaan sejati yang dianggap bernilai di sisi Allah melainkan kemuliaan hati, budi, perangai, dan ketaatan kepada-Nya. Mendewa-dewakan keturunan, harta, jabatan, dan sejenisnya hanya akan menjadikan manusia lupa kepada nilai-nilai ketakwaan.

Ahmad Syafii Maarif mengungkapkan bahwa potensi untuk merebut kedudukan takwa sangat terbuka lebar bagi seluruh orang beriman tanpa terkait dengan latar belakang keturunan, kultur, sejarah, ekonomi, dan lain-lain. Kedudukan seseorang itu ditentukan oleh kualitas hidupnya, iman, dan amalnya, bukan yang lain.

Dengan demikian, ide moral QS. Al-Hujurat [49] ayat 13 tersebut membuka peluang bagi siapa pun untuk beramal saleh di muka bumi ini. Ayat tersebut juga menegaskan bahwa semua manusia memiliki status yang sama, tanpa diskriminasi sedikit pun kepada siapa saja untuk meraih martabat dan keagungan nilai rohani sejauh mungkin yang dicapai dalam batas kemampuan manusia.

Menghapus Praktik Perbudakan Spiritual

Salah satu di antara risalah Islam adalah menghapus segala macam bentuk perbudakan. Nabi Muhammad saw. diutus oleh Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Nabi Muhammad saw. datang membawa pencerahan dan kabar gembira. Mencerahkan manusia dari segala macam bentuk kejahiliyahan. Membebaskan manusia dari segala macam bentuk perbudakan. Mengangkat harkat martabat manusia dan mengembalikan manusia kepada fitrah penciptaannya, atau dalam istilah lain memanusiakan manusia.

Praktik-praktik semacam perbudakan, penindasan, kezaliman, dan sejenisnya itu sesungguhnya tidak berkesesuaian dan bertolak belakang dengan nilai-nilai kemanusiaan universal dan spirit ajaran Islam yang mengusung semangat egaliter, pencerahan, dan berkemajuan. Oleh sebab itu, akal pikiran jangan dibiarkan tunduk oleh dogma menyesatkan yang tidak sejalan dengan petunjuk Al-Qur’an. Al-Qur’an harus menjadi rujukan terakhir dan tertinggi dalam merumuskan sikap hidup beragama.

Baca juga: Jangan Terkecoh oleh Label Figur!

Lalu bagaimana timbangan Al-Qur’an terkait dengan fenomena perbudakan spiritual ini? Pengkultusan terhadap sosok tertentu, yang dianggap keramat dan suci, dalam Islam tidak dibenarkan. Barangkali inilah yang dimaksud Ahmad Syafii Maarif sebagai bentuk perbudakan spiritual sebagaimana telah digambarkan di awal tadi. Sebab, praktik perbuadakan spiritual ini dikhawatirkan akan menjerumuskan kepada jurang kemusyrikan. Kita tahu bahwa perilaku syirik, oleh Al-Qur’an, dikategorikan ke dalam bentuk kezaliman yang besar (baca: QS. Luqman [31]: 13).

Penghormatan yang dilakukan secara berlebihan terhadap sosok tertentu karena dianggap berasal dari keturunan orang suci, sebaiknya dihindari. Bukankah semua manusia memang sepantasnya dihormati dan dikasihi tanpa melihat faktor-faktor tertentu? Siapa pun ia, tidak dibenarkan berlaku zalim atas siapa pun jua. Siapa pun ia, tidak dibenarkan merendahkan siapa pun jua. Siapa pun ia, tidak dibenarkan menganggap hina kedudukan orang lain.

Dengan demikian, jika ditimbang dengan paradigma QS. Al-Hujurat [49] ayat 13, maka praktik perbudakan spiritual ini sesungguhnya tidak sejalan dengan nilai-nilai Al-Qur’an yang mengusung semangat egaliter, kritis, progresif, dan mencerahkan, namun tetap dalam bingkai keteladan akhlak mulia. Perilaku mendewa-dewakan kalangan tertentu yang dianggap keramat dan suci ini tidak perlu dikembangkan dalam konteks beragama. Dalam konteks berbangsa dan bernegara pun demikian, sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, maka ide moral QS. Al-Hujurat [49] ayat 13 sangat relevan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Abdur Rauf
Abdur Rauf
Dosen Tetap Prodi Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir STIQ Kepulauan Riau
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Mindful Parenting ala Luqman al-Hakim: Panduan Qur’ani di Era Digital

0
Dalam Alquran, figur Luqman Al-Hakim dihadirkan bukan sebagai nabi, namun hikmah pendidikannya begitu mulia hingga pesannya diabadikan. Kurikulum pendidikannya adalah manifestasi dari mindful parenting,...