Akhir-akhir ini masyarakat sosial media dihebohkan dengan kegiatan pelatihan poligami. Hal itu dilakukan oleh “kiai” dengan peserta seminar mayoritas perempuan. Pada sebuah wawancara di kanal Narasi TV, ia mengaku telah menikah enam kali. Dua istrinya telah diceraikan dengan dalih menopause, sedangkan ia masih menginginkan untuk memiliki keturunan.
Yang menjadi argumentasinya adalah Q.S al-Nisa’/4:3 yang kerap juga digunakan oleh orang-orang yang melakukan poligami. Bagaimana sebenarnya ayat tersebut dimaknai oleh ulama-ulama tafsir? Artikel ini akan mengulas pemahaman dan penafsiran ayat tersebut dari perspektif mufasir terkemuka yakni M. Quraish Shihab.
Firman Allah Q.S al-Nisa’/4:3.
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَا فَانْكِحُوا مَا طَابلَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَا وَثُلَاثوَرُبَاعفَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةأَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمذَلِكَ أَدْنَا أَلَّا تَعُولُوا
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”
M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah mengatakan bahwa setelah terbit larangan untuk mengambil dan memanfaatkan harta anak yatim untuk konsumsi pribadi, kini yang dilarang adalah berlaku aniaya terhadap pribadi anak yatim itu. Karenanya, ditegaskan bahwa dan jika kamu tidak akan bisa berlaku adil terhadap perempuan yatim, dan kamu percaya diri akan berlaku adil terhadap wanita-wanita selain yatim itu, maka nikahilah apa yang kamu senangi.
Baca Juga: Surah An-Nisa Ayat 86: Prinsip Saling Menghormati dalam al-Qur’an
Dalam hal ini, Islam menempuh cara yang bertahap dalam menyelesaikan problem perbudakan yang terjadi pada zaman tersebut, dimana zaman ersebut terdapat banyak budak yang menggantungkan hidupnya pada tuannya untuk memenuhi kebutuhan sandang, papan dan pangannya. Apabila Islam langsung menghapuskan konsep perbudakan maka dipastikan problema sosial yang jauh lebh parah dari PHK (Pemutsan Hubungan Kerja) secara masal. Pada saat itu, jika para budak dibebaskan, maka budak tersebut harus menyiapkan sandang, papan dan pangannya secara mandiri sedangkan kondisi ekonomi pada saat itu sanga tidak memungkinkan.
Oleh karenanya, bisa dipahami mengapa al-Qur’an dan sunnah menempuh jalur yang bertahap dalam pembebasan budak. Adapun salah satu konsep yang digagas oleh al-Qur’an yakni dengan melakukan pernikahan antara laki-laki yang merdeka dengan budak perempuan, sebab jika pernikahan berlangsung antara budak laki-laki dan budak perempuan, maka anaknya akan tetap menjadi budak, siklus ini tidak akan menyebabkan terjadinya suatu perubahan karena muaranya kan tetap pada perbudakan.
Akan tetapi, dewasa ini sudah tidak ada lagi perbudakan. Pembantu rumah tangga sdah tidak lagi dikatakan sebagai budak, ini karena Islam hanya mlegalisasikan perbudakan karena adanya perang, yakni para tawanan perang. Sedangkan pembantu rumah tangga atau tenaga kerja wanita tidak diperoleh melaui peperangan dan mereka adalah orang-orang yang merdeka, kendati mereka lemah dalam hal ekonomi.
Adapun argumentasi atau penyebutan dalam al-Qur’an tentang menikahi dua, tiga, atau empat pada hakikatnya adalah dalam rangka tuntunan untuk berlaku adil kepada anak yatim. Redaksi ayat ini dapat dianalogikan seperti ucapan seseorang yang melarang orang lain makan-makanan tertentu, dan untuk menguatka larangan tersebutt ia mengatakan “Jika kamu khawatir akan sakit karena makan-makanan ini, habiskan saja makanan selainnya yang ada dihapanmu” tentu saja kata habiskan saja makanan selainnya adalah indikasi untuk mengindahkan larangan memakan makanan tertentu.
Kita tidak dapat membenarkan segala argumentasi yang mengatakan bahwa poligami adalah sebuah anjuran dengan dalih bahwa perintah di atas dimulai dengan bilangan dua, tiga atau empat, baru kemudian jika dikhawatirkan tidak adil, maka “nikahilah seorang saja”. Tidak juga dapat dikatakan bahwa Rasulullah Saw, menikah lebih dari satu kali, dan perlakuan tersebut hendaknya diteladani.
Perlu dipahami bersama bahwa, tidak segala yang dilakukan oleh Rasulullah Saw harus diteladani, sebagaimana segala sesuatu yang wajib bagi Rasuullah, wajib juga bagi umatnya. Bukankah wajib bagi Rasulullah Saw melaksanakan shalat malam dan tidak boleh menerima zakat? Bukankah tidak batal wudhu Rasulullah ketika ia tertidur? Apakah mereka benar-benar ingin meniru Rasulullah dalam hal pernikahan?
Jika benar demikian, maka perlu diberitahukan secara gamblang bahwa semua wanita yang beliau nikahi kecuali Aisyah ra., adalah janda-janda dan kesemuanya dengan tujuan menyukseskan dakwah atau membantu dan menyelamatkan para wanita yang kehilangan suami di medan perang, serta pada umumnya, wanita-wanita tersebut dikenal tidak memiliki daya tarik.
Jika dalih mengikuti sunnah Rasulullah Saw, maka dalam mempraktekkan sunnah Rasul hendaknya dilakukan secara full tanpa mengindahkan hal-hal yang lain yang Rasulullah lakukan. Agar kesan dari wacana mengikuti sunnah Rasul benar-benar murni dari apa yang Rasulullah Saw perintahkan, bukan sebagai legalitas dari keinginan syahwat yang berasaskan sunnah. Sebab untuk melakukan poligami ada aturan-aturan tertentu yang mesti dipenuhi tidak serta merta berpoligami karena hasrat dari syahwat.
Kemudian, jika ditinjau historis, bangsa Arab pra Islam maka akan kita temukan sejarah dimana orang-orang Arab terdahulu menjadikan perempuan hanya sekadar pemuas hawa nafsu dan tidak ada batasan-batasan tertentu bagi laki-laki manapun yang mau menikahi wanita sebanyak apapun yang ia kehendaki. Kemudian, Islam datang dan menekan hal tersebut dengan memberikan batasan untuk menikahi dua, tiga atau empat wanita saja dengan syarat dapat menegakkan keadilan bagi istri yang dinikahinya.
Sedangkan Amina Wadud, salah seorang mufassir di kalangan perempuan, juga pemerhati isu-isu feminis dan gender. Ia menyayangkan ayat tersebut sering ditafsirkan secara tidak tepat oleh kebanyakan orang, bahkan disalahpahami, terutama oleh mereka yang mendukung poligami, sehingga seakan-akan seseorang dibolehkan begitu saja melakukan poligami, tanpa memperhatikan bagaimana konteks ketika turunnya ayat.
Menurut Ibn Katsir, asbab al-nuzul ayat tersebut adalah berkaitan dengan seseorang yang hendak menikahi perempuan yatim, tetapi ia khawatir tidak dapat berlaku adil. Ibn Katsir mengutip hadits yang diuraikan ‘Aisyah ketika ditanya tentang sebab turunnya Q.S. an-Nisa’/4:3 :
‘Aisyah menjawab : “perempuan yatim yang berada dalam pengampuan seorang wali, kemudian ia hendak menikahinya karena terpesona dengan harta dan kecantikannya dengan memberikan mahar tidak sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, mereka dilarang untuk menikahinya kecuali mampu berbuat adil dan menyempurnakan (melengkapi) maharnya.
Menurut Amina Wadud, Q.S al-Nisa’/4:3, berbicara tentang perlakuan terhadap anak yatim. Terkadang, wali yang diamanahkan untuk mengelola kekayaan anak-anak yatim perempuan, tidak mampu mencegah dirinya dari ketidakadilan dalam mengelola harta anak yatim. Dengan demikian, menurut Amina Wadud salah satu solusi untuk mengatasi salah-kelola (mismanagement) adalah dengan menikahi anak yatim tersebut. Pada satu sisi al-Qur’an membatasi jmlah istri yang dapat dinikahi. Di sisi lain, tanggung jawab ekonomi untuk menafkahi istri sejalan dengan akses ke harta perempua anak yatim melalu tanggung jawab manajemen. Namun, kebanyakan pendukung poligami jarang membicarakan poligami dalam konteks merawat anak anak yatim.
Baca Juga: Praktisi Poligami Ceraikan Istri yang Menopause, Ini Hakikat Poligami Sebenarnya
Amina Wadud juga menyoroti tentang keadilan yang dimaksud pada ayat tersebut. Menurut Amina Wadud keadilan harus didasarkan pada kualitas waktu dan kesamaan dalam hal kasih sayng, dukungan spiritual, moral dan intelektual. Menurut Amina Wadud, berbagai pengertian umum tentang keadilan sosial ini harus dipertimbangkan sebagai bagian dari perlakuan adil terhadap istri. Q.S al-Nisa’/4:3, berbicara tentang poligami dengan memberikan penekanan pada syarat keadilan, yaitu berlaku adil dalam mengelola dana, adil kepada anak-anak yatim, adil kepada istri-istri dan perilaku adil lainnya.
Terkait tentang keadilan, Amina Wadud mengutip Q,S al-Nisa’/4:129.
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Amina Wadud menganggap bahwa ayat tersebut menjadi landasan syarat keadilan untuk melakukan poligami sulit untuk tercapai, bahkan mungkin menjadi hal yang mustahil untuk bisa dilaksanakan. Karena ayat tersebut telah menegaskan dengan mengatakan bahwa manusia tidak akan mampu berbuat adil terhadap para istri, kendatipun ia memiliki keinginan yang begitu menggebu untuk berbuat adil.