BerandaTafsir TematikSurah Albalad Ayat 4: Enam Kesusahan yang Dirasakan Manusia

Surah Albalad Ayat 4: Enam Kesusahan yang Dirasakan Manusia

Kita semua menyadari bahwa kehidupan di dunia tidak terlepas dari dua kondisi, yaitu kesusahan dan kesenangan. Sebuah suasana yang kontradiktif, tidak bisa bersatu atau hilang keduanya dari dalam diri manusia. Kesulitan yang dirasakan oleh manusia tidak timbul dari ruang kosong, di dalamnya terdapat hikmah yang luas. Allah Swt. menegaskan bahwa semua hal yang diciptakan-Nya mengandung nilai dan pelajaran; tidak sia-sia.

…رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا…

“Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia” (Q.S. Ali Imran [3]: 191)

Secara umum, ayat di atas mendorong diri untuk terus memaksimalkan potensi akal (bertafakur) untuk memikirkan semua ciptaan Allah Swt., termasuk diri sendiri. Bahkan, objek tersebut (diri sendiri) sering luput dari aktitivitas tafakur manusia. Ada hal yang harus direnungkan dalam penciptaan manusia, yaitu manusia diciptakan dalam keadaan susah.

Kondisi tersebut diinformasikan oleh Allah Swt. dalam surah Albalad ayat 4.

لَقَدۡ خَلَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ فِي كَبَدٍ

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah.”

Ayat ini memberikan peringatan kepada manusia bahwa kehadirannya di muka bumi tidak akan terlepas dari kondisi susah. Ayat tersebut juga merupakan jawab qasam (sumpah) dari ayat sebelumnya yang berbentuk sumpah. Sehingga ayat keempat ini juga sering disebut dengan muqsam ‘alaih.

Baca Juga: Beberapa Sikap Manusia terhadap Nikmat yang Digambarkan Al-Quran

Hubungan Qasam dengan Muqsam ‘Alaih dalam Surah Albalad Ayat 1-4

Qasam dalam Alquran berfungsi sebagai pengukuhan berita atau informasi (Shihab, 2013, 274). Pada ayat pertama, Allah Swt. bersumpah dengan balad (kota). Kota yang dimaksud adalah Makkah (Tafsir al-Jalalain, 808). Allah Swt. bersumpah dengan kota Makkah karena kota tersebut memiliki keunggulan dibandingkan dengan kota lain.

Di antara keunggulan dan kemuliaan kota tersebut adalah terdapat pusat peribadatan umat muslim yang merupakan peninggalan sejarah Nabi Ibrahim a.s. (Q.S. Albaqarah [2]: 125); tempat ritual haji (Q.S. Ali Imran [3]: 97); terdapat Ka’bah sebagai pusat perkumpulan yang menimbulkan rasa aman (Q.S. Albaqarah [2]: 125); penentuan tempat (Baitullah) sebagai sarana untuk meng-Esa-kan Allah (Q.S. Alhajj [22]: 26); tujuan sentral kedatangan manusia dari penjuru dunia (Q.S. Alhajj [22]: 27).

Selain kota yang dijadikan objek sumpah, pada ayat ketiga Allah bersumpah “Dan demi bapak (wālid) dan anaknya (wa mā walad)” (Q.S. Albalad [90]: 2). Ada keanekaragaman penafsiran mengenai “bapak dan anaknya”, al-Mawardi (w. 450 H) dalam al-Nukat wa al-‘Uyūn, 6, 275 menghimpun ada lima interpretasi: Pertama, kata wālid wa mā walad  “Nabi Adam a.s. dan keturunannya”; kedua, Nabi Ibrahim a.s. dan keturunannya.

Ketiga, wālid adalah orang yang beranak (yang bisa malahirkan keturunan) dan wa mā walad berarti orang yang tidak bisa malahirkan (mandul); keempat, wālid “orang yang tidak memiliki keturunan”, wa mā walad “orang yang memiliki keturunan”; kelima, wālid “Nabi Muhammad saw.” dan wa mā walad “umatnya”. Penafsiran yang kelima ini berdasarkan penyebutan -konteks- sebelumnya, yang berbicara terkait kebolehan (dihalalkan) Makkah untuk Nabi Muhammad saw.

Belum adanya perintah penaklukan kota Makkah (fath al-Makkah) serta terusirnya Nabi dari tanah kelahirannya menimbulkan kesusahan dan kesulitan. Sebab, pada waktu itu Nabi dan pengikutnya harus berhijrah meninggalkan kota Makkah. Adanya sumpah tersebut dan dipertegas dengan ayat kedua sebagai tanda bahwa Allah telah memberikan lampu hijau kepada Nabi untuk memasuki kota tersebut, termasuk pula menaklukan orang-orang musyrik (penaklukan kota tersebut) telah melegakan hati Nabi Muhammad saw. dan umat Islam.

Kesusahan yang dirasakan Nabi Muhammad dan diikuti dengan keterangan sumpah kedua berupa kemuliaan keturunan mengindikasikan bahwa setiap manusia tidak akan terlepas dari kesusahan. Kendati demikian, kepastian manusia menjadi makhluk mulia tidak bisa menghindarkan dari kondisi dan situasi kesusahan tersebut; termasuk Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu, Q.S. Albalad [90]: 1-4 bergerak dari yang bersifat khusus menuju yang umum, semua manusia.

Baca Juga: Surat Ali Imran Ayat 186: Keniscayaan Ujian Hidup

Enam Macam Kesusahan Manusia

Setelah Allah Swt. menyampaikan sumpahnya, pesan penting yang hendak diberikan kepada umat manusia adalah bahwa kehidupan mereka di dunia hingga akhirat memerlukan perjuangan dan harus menempuh kesusahan terlebih dahulu.

Ada enam kesusahan yang dirasakan oleh manusia, mulai dari rahim hingga di akhirat. Pertama, awal mula penciptaan. Kesusahan manusia sudah terlihat ketika masih menjadi sperma dan bertemu di ovum untuk pembuahan. Sperma yang berhasil menjadi pemenang dan ditakdirkan membuahi sel telur adalah yang paling kuat.

Kedua, ketika proses penciptaan. Ada beberapa fase yang harus ditempuh oleh manusia sebelum menjadi manusia sempurna. Fase tersebut meliputi segumpal darah; segumpal daging; tulang atau kerangka; pembungkusan tulang; dan mewujud makhluk lain (ruh). Pada fase-fase tersebut akan ada kemungkinan terjadi hal yang tidak diinginkan, misalnya keguguran; hal ini lah dalam prosesnya manusia merasakan kesusahan.

Ketiga, ketika saat mengandung. Keempat, ketika dalam fase menyusui. Kelima, susah payah dalam menghadapi pelbagai musibah di dunia dan akhirat. Keenam, kesusahan bersyukur ketika mendapatkan kesenangan dan berat untuk bersabar ketika berduka.

Ayat tersebut memberikan pelajaran kepada kita, bahwa manusia tidak akan keluar dari kesusahannya jika tidak ada keinginan dan kemauan. Selain itu, kondisi tersebut juga seharusnya menyadarkan kita bahwa hanya kekuatan dan pertolongan dari Allah Swt. dapat memberikan perubahan terhadap kondisi manusia.  Wallahu a’lam

Sihabussalam
Sihabussalam
Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...