BerandaTafsir TematikTafsir Q.S. Ali Imran : 145: Menyoal Kematian dan Ragam Motif di...

Tafsir Q.S. Ali Imran [3]: 145: Menyoal Kematian dan Ragam Motif di Balik Amal

Q.S. Ali Imran [3]: 145 menjadi salah satu rekomendasi ayat yang patut dipelajari secara mendalam di bulan Ramadhan ini. Secara garis besar, Q.S. Ali Imran [3]: 145 ini berbicara soal kematian dan ragam motif di balik amal. Kedua diskursus yang dibawa oleh ayat ini begitu relate diaplikasikan sebagai renungan dalam meningkatkan kualitas keimanan selama bulan Ramadhan.

Sebelumnya mari dibaca dulu lafadz ayatnya supaya semakin menambah keberkahan selama mempelajarinya:

وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ اَنْ تَمُوْتَ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ كِتٰبًا مُّؤَجَّلًا ۗ وَمَنْ يُّرِدْ ثَوَابَ الدُّنْيَا نُؤْتِهٖ مِنْهَاۚ وَمَنْ يُّرِدْ ثَوَابَ الْاٰخِرَةِ نُؤْتِهٖ مِنْهَا ۗ وَسَنَجْزِى الشّٰكِرِيْنَ

Dan setiap yang bernyawa tidak akan mati kecuali dengan izin Allah, sebagai ketetapan yang telah ditentukan waktunya. Barangsiapa menghendaki pahala dunia, niscaya Kami berikan kepadanya pahala (dunia) itu, dan barangsiapa menghendaki pahala akhirat, Kami berikan (pula) kepadanya pahala (akhirat) itu, dan Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.

Baca Juga: Kematian dalam Al-Quran dan Penggunaannya Menurut Hamza Yusuf

Imam al-Thabari dalam Jami’ al-Bayan fi Tafsir Ay al-Qur’an memberikan penjelasan yang cukup mendalam terkait dua pelajaran penting yang dikandung dalam ayat ini. Pada penggalan pertama ayat yang berbicara soal kematian, ia menguraikannya sebagaimana berikut ini:

وما يموت محمد ولا غيره من خلق الله إلا بعد بلوغ أجله الذي جعله الله غاية لحياته وبقائه، فإذا بلغ ذلك من الأجل الذي كتبه الله له، وأذن له بالموت، فحينئذ يموت. فأما قبل ذلك، فلن يموت بكيد كائد ولا بحيلة محتال

“Dan tidaklah Nabi Muhammad wafat dan tidak pula makhluk Allah lainnya kecuali setelah sampai ajalnya—yang Allah jadikan sebagai tujuan (atau akhir) kehidupannya dan (awal) keabadiannya. Maka jika telah sampai ajalnya—yang telah ditetapkan oleh Allah serta izin-Nya, seketika itu baik Nabi maupun makhluk Allah lainnya akan langsung mati. Namun kalau belum sampai, mustahil ia akan mati walau dengan tipu daya apapun”.

Selanjutnya pada penggalan kedua dari ayat yang berbicara soal ragam motif di balik amal, Imam al-Thabari menguraikan sebagai berikut:

من يرد منكم، أيها المؤمنون، بعمله جزاءً منه بعضَ أعراض الدنيا، دون ما عند الله من الكرامة لمن ابتغى بعمله ما عنده =”نؤته منها”، يقول: نعطه منها، يعني من الدنيا، يعني أنه يعطيه منها ما قُسم له فيها من رزق أيام حياته، ثم لا نصيب له في كرامة الله التي أعدها لمن أطاعه وطلب ما عنده في الآخرة =”ومن يرد ثوابَ الآخرة”، يقول: ومن يرد منكم بعمله جزاءً منه ثواب الآخرة، يعني: ما عند الله من كرامته التي أعدها للعاملين له في الآخرة =”نؤته منها”، يقول: نعطه منها، يعني من الآخرة. والمعنى: من كرامة ألله التي خصَّ بها أهلَ طاعته في الآخرة.

“Siapapun dari kalian wahai orang-orang mukmin yang menginginkan balasan atas amalnya berupa sebagian kehormatan duniawi, bukannya karomah Allah. Maka orang mukmin jenis ini akan Allah berikan imbalan duniawi berupa rizki yang dibagikan sepanjang usianya. Lalu baginya tidak ada bagian (imbalan) karomah Allah—yang telah Dia peruntukkan kepada hamba-Nya yang taat dan mencari kemuliaan di sisi-Nya bagi kehidupannya di akhirat”.

Dari penafsiran Imam al-Thabari, setidaknya ada tiga hal yang dapat direfleksikan secara lebih mendalam. Pertama, dalam menyoal kematian, manusia tidak punya kuasa dalam menentukan hal-hal yang berkaitan dengannya. Mulai dari kapan, di mana dan bagaimana kematian itu akan menjumpainya, manusia sama sekali tidak memiliki pengetahuan atasnya.

Segala hal perihal kematian hanya Allah saja yang mengetahuinya dan hanya dengan izin Allah saja hal itu bisa terjadi. Sebab itulah dalam al-Qur’an Allah dalam beberapa ayat disebut sebagai Dzat yang ‘alim al-ghaibi wa al-syahadah, artinya hanya Allah-lah yang memiliki pengetahuan mengenai perkara yang ghaib maupun yang nampak.

Poin pertama ini apabila direnungi secara mendalam, akan membawa pada manusia pada kokohnya keimanan serta menjauhkannya dari keangkuhan. Manusia akan sepenuhnya menyadari bahwa segala skenario kehidupan makhluk itu ada di tangan Allah dan tiada satupun yang bisa mengintervensi ketetapan-Nya.

Pemahaman di atas juga sekaligus menjauhkan diri manusia dari sifat angkuh serta berusaha menjaga perilakunya. Sebab manusia akan menyadari bahwa dirinya tidaklah memiliki daya apapun di dunia yang fana ini, bahkan dalam hal mengetahui masa depannya sekalipun. Manusia juga akan senantiasa berhati-hati dalam menjalani kehidupannya, sebab bisa saja saat melakukan hal buruk kematian datang dan menjemputnya.

Kedua, perihal ragam motif di balik amal, al-Qur’an telah memperlihatkan bahwa ada dua motif yang bisa saja ada di benak seorang mukmin saat mengerjakan suatu amal. Bisa saja ia berniat memperoleh kemegahan dunia dan bisa saja dalam hatinya tulus meraih karamah Allah serta kemuliaan akhirat. Niat yang ada di benak masing-masing itulah nantinya yang menentukan balasan yang akan Allah berikan.

Manusia yang masih memikirkan dunia sebagai satu-satunya hal yang harus dikejar, hanya akan mendapatkan dunia saja. Namun berbeda halnya dengan manusia yang menjadikan dunia sebagai batu loncatan dalam mengejar karomah Tuhan, maka ia tak hanya mendapatkan bagiannya di dunia saja melainkan juga mendapatkan bagiannya di kehidupan setelah kematian.

Sebab bagaimanapun memikirkan perkara duniawi juga merupakan sunnatul hayah bagi manusia. Namun jangan sampai hajat duniawi itu menjadi satu-satunya tujuan, akan tetapi harus diseimbangkan dan dilengkapi dengan hajat akhirat. Hal ini sebagaimana dalam Q.S. al-Qashash: 77:

وَابْتَغِ فِيْمَآ اٰتٰىكَ اللّٰهُ الدَّارَ الْاٰخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيْبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَاَحْسِنْ كَمَآ اَحْسَنَ اللّٰهُ اِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِى الْاَرْضِ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِيْنَ

Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.

Baca Juga: Maut Tidak Selalu Kematian, Kenali Lima Makna Maut dalam Al-Quran

Ketiga, ada hubungan yang bisa diambil dari dua penggalan ayat tersebut. Di mana salah satu hakikat dari adanya kehidupan dan kematian itu ialah sebagai ujian bagi manusia terhadap amal yang ia telah kerjakan. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Q.S. al-Mulk: 1-2:

الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيٰوةَ لِيَبْلُوَكُمْ اَيُّكُمْ اَحْسَنُ عَمَلًاۗ وَهُوَ الْعَزِيْزُ الْغَفُوْرُۙ

Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun.

Maka penggalan ayat yang kedua menjadi pengingat bahwa amal akan dibalas sesuai yang ada di balik motifnya. Dengan demikian jangan sampai saat ajal menjemput justru tak ada satupun dari balasan dari amal yang menanti di akhirat, sebab telah selesai dibalaskan oleh Allah di dunia.

Jangan sampai juga kita sebagai manusia mengingkari skenario kematian dan bahkan enggan untuk menerimanya. Seyogyanya manusia mengingat pesan Imam al-Ghazali dalam Mizanul Amal, bahwa kematian harus menjadi sesuatu yang diingat betul oleh manusia sebab dengan mengingatnya manusia dapat melepaskan belenggu kemegahan duniawi yang mungkin selama ini menjadi tujuan yang selalu ia kejar. Wallahu a’lam.

Alif Jabal Kurdi
Alif Jabal Kurdi
Alumni Prodi Ilmu al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Alumni PP LSQ Ar-Rohmah Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU