BerandaTafsir TematikSurah Alma’un dan Ibadah Dimensi Sosial

Surah Alma’un dan Ibadah Dimensi Sosial

Surah Alma’un mengandung nilai-nilai sosial ajaran Islam. Ia mengingatkan kita bahwa ibadah dalam Islam tidak hanya bersifat vertikal, akan tetapi ada pula ibadah yang bersifat horizontal. Ibadah macam kedua yang berdimensi sosial ini tidak kalah penting dengan ibadah yang pertama.

Surah Alma’un secara umum menjelaskan lima kelompok orang yang mendustakan agama. Lima kelompok tersebut yakni orang yang zalim terhadap anak yatim, enggan memberi makan orang miskin, orang yang lalai terhadap salatnya, orang yang berbuat ria, dan orang yang pelit.

Para ulama berlainan pendapat terkait kapan  dan untuk siapa surah ini diturunkan. Mayoritas ulama sepakat surah Alma’un diturunkan di Makkah. Ulama lainnya berpendapat surah ini tergolong Madaniyyah atau turun di periode Madinah (Tafsir Al-Misbah, jilid 15, hlm. 543).

Al-Qurtubi dalam tafsirnya mengemukakan beberapa pendapat ulama tentang sosok yang ditujukan oleh surah ini. Ibnu Juraij berpendapat surah ini diturunkan untuk Abu Sufyan. Pendapat ini didasarkan pada kebiasan Abu Sufyan yang selalu berkurban unta di setiap minggunya. Ketika datang seorang yatim dan meminta daging tersebut, dia melemparkannya dengan menggunakan tongkat. Maka Allah menurunkan surah ini.

Abu Soleh dari Ibnu Abbas mengatakan surah ini diturunkan kepada ‘As bin Wail as-Sahmi. ad-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan surah ini ditujukan kepada orang-orang munafik. Dia mengatakan ayat ini juga diturunkan kepada Amr bin ‘Aid.

Sementara itu as-Suddi berpendapat, surah ini ditujukan kepada Walid bin Mughirah; riwayat lain mengatakan Abu Jahal (Al-Jami’u al-Ahkami al-Quran, jilid 22, hlm. 510). Dari seluruh perdebatan tentang siapa yang dituju dari surah ini, dapat diambil benang merah adalah mereka yang berbuat zalim terhadap orang lain.

Penafsiran Surah Alma’un

Permulaan surah ini diawali dengan pertanyaan “اَرَءَيْتَ”, akan tetapi ia bukan bertujuan meminta jawaban pembaca. Sebab, pada ayat-ayat berikutnya diterangkan jawaban dari pertanyaan dari ayat pertama tersebut. Tujuan dari pertanyaan ini adalah sebagai seruan pada para pembaca untuk bersungguh-sungguh dalam meresapi surah Alma’un (Tafsir Al-Azhar, jilid 10, hlm. 8124).

Ayat kedua dan ketiga berisi larangan menghardik anak yatim dan mendorong orang lain untuk memberi makan orang miskin. Dalam Tafsir At-Thabari dijelaskan maksud dari ayat kedua adalah mencegah anak yatim dari haknya dan menzaliminya (Tafsir Al-Thabari, jilid 26, hlm. 985).

Maksud dari hak di sini memiliki banyak arti; hak untuk dihidupi, hak untuk mendapatkan harta waris, dan hak untuk mendapatkan makanan. Berbeda dengan orang miskin, anak yatim tidak selalu dalam keadaan miskin. Boleh jadi dia merupakan anak yang memiliki banyak harta waris, tetapi tidak berkemampuan untuk mengelola hartanya.

Oleh sebab kekurangannya, pengasuh anak yatim memiliki kewajiban untuk mengelola harta mereka dengan amanah. Pendapat ini didasarkan pada Q.S. AlKahfi [18]: 82 yang merupakan jawaban Khidir kepada Musa atas tindakannya memperbaiki bangunan yang hampir roboh pada ayat ke-77.

Maksud dari ayat ketiga adalah tidak menghimbau keluarganya untuk memberi makan orang miskin. Tanda seseorang beriman pada hari pembalasan dan takut kepada Allah adalah tidak lupa dengan hak-hak orang yang lemah, termasuk salah satunya orang miskin (Al-Kasyaf, jilid 6, hlm. 440).

Baca juga: Hubungan Unik Surah Al-Ma’un dan Al-Kautsar

Terkait ayat keempat dan kelima, al-Thabari dan Ibn Katsir memiliki kesepahaman terkait makna lalai dari salat (سَاهُوْنَۙ), yakni orang yang menunda-nunda waktu salat. Riwayat lain mengatakan mereka adalah orang yang tidak sungguh-sungguh dalam melaksanakan salat. Ibn Katsir mengatakan, salat mereka diistilahkan seperti burung gagak karena dilakukan dengan sebatas gerakan fisik tanpa ada perenungan dalam hati (Tafsir Ibn Katsir, jilid 8, hlm. 553-55).

Kebanyakan ulama mengaitkan ria pada ayat kelima dengan salat, di antaranya Ibn Katsir, At-Thabari, Al-Qurtibu, dan Zamakhsari. Orang yang ria dalam salat adalah yang ketika di hadapan banyak orang, dia salat dengan khusyuk, sedangkan ketika tidak ada orang dia salat sekehendaknya.

Hamka dalam tafsirnya memaknai ria juga pada aspek amaliyah. Dia menjelaskan, orang yang ria berderma bukan didasarkan pada mengharap rida Allah, melainkan ingin dilihat oleh manusia. Dengan kata lain, perbuatannya dilandaskan pada kebohongan dan kepalsuan (Tafsir Al-Azhar, jilid 10, hlm. 8126).

Terakhir, ayat ketujuh menyebutkan termasuk pendusta agama adalah orang yang enggan memberi bantuan. Imam Syafi’i menyebutkan yang dimaksud ayat ini adalah enggan berzakat (Tafsiru al-Imami as-Syaafi’i, hlm. 1464).

Esensi Ajaran Islam

Melalui penjelasan surah Alma’un di atas, dapat diambil sebuah pemahaman bahwa Islam bukan semata mengajarkan praktik Ibadah vertikal. Dalam artian ibadah wajib seperti salat yang secara langsung berkaitan kepada Allah.

Islam juga mengajarkan peribadatan yang bersifat sosial. Dalam ibadah sosial seperti pemenuhan hak-hak anak yatim dan orang miskin harus dilandaskan pada ketulusan hati dan mencari rida Allah. Islam mengajarkan keduanya, baik ibadah sosial maupun ibadah yang berkaitan langsung kepada Allah.

Kedua bentuk ibadah tersebut tidak semata-mata disebut ibadah yang mulia bila tidak dilandaskan pada niat yang tulus. Pada penafsiran surah Alma’un ayat 6 di atas, dijelaskan ragam perbedaan pendapat tentang konteks ria yang memiliki kesamaan bahwa ibadah yang bersifat horizontal maupun vertikal bila tidak dilandasi dengan niat tulus karena Allah, justru mengharapkan pujuan dari orang lain adalah perbuatan yang dikecam oleh Alquran.

Baca juga: Tafsir Surah al-Ma’un ayat 4-7: Celakalah Mereka yang Lalai dari Sholat

Muhammad Wildan Syaiful Amri Wibowo
Muhammad Wildan Syaiful Amri Wibowo
Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...