Beberapa kata di dalam Alquran memiliki lebih dari satu pemaknaan atau penafsiran, salah satunya yaitu kata ulil amri dalam surah Alnisa’ ayat 59. Lumrahnya, kata ini kerap kali dimaknai sebagai pemimpin negara yang kemudian dijadikan argumen untuk patuh kepada seorang pemimpin. Hal ini tidak salah. Namun, jika dilacak dalam kitab-kitab tafsir yang ada, terdapat beberapa tawaran makna dari beberapa ulama yang menjelaskan siapa sebenarnya ulil amri dalam ayat tersebut.
Tafsir Surah Alnisa’ [4]: 59
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ulil amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat).
Ayat ini mengandung perintah untuk menaati Allah Swt., Rasul Saw., dan ulil amri. Namun, ketaatan kepada ulil amri bersifat kondisional. Artinya, kita wajib patuh kepada ulil amri selama ia patuh kepada Allah dan rasul-Nya. Karena itulah, dalam ayat tersebut, kata ulil amri tidak diawali dengan perintah tegas athi’u sebagaimana perintah taat kepada Allah dan Rasul. Karena kepatuhan kepada ulil amri disyaratkan patuh kepada Allah dan Rasul. (al-Alusi, Ruh al-Ma’ani, Jilid 3, 63)
Berbeda dengan penafsiran diatas, Imam al-Razi dan diikuti oleh Syaikh Nawawi al-Bantani justru menjadikan ayat ini sebagai dalil kehujahan ijmak. Beliau memaknai perintah untuk taat kpada uli al-amri sebagai kehujahan ijmak menjadi salah satu sumber syariat selain Alquran dan hadis. (Tafsir Marah Labid, jilid 1, 204 dan al-Razi, Tafsir al-Razi, Jilid 10, 112)
Baca Juga: Surah An-Nisa [4]: 59: Larangan Melakukan Kudeta terhadap Pemerintah yang Sah
Menurut Imam al-Razi, ketaatan kepada ulil amri yang diperintahkan dalam ayat tersebut haruslah totalitas. Sementara itu, Allah Swt. tidak mungkin memerintahkan hambanya untuk taat secara total kepada makluk kecuali makhluk tersebut maksum. [Tafsir al-Razi, Jilid 10, 113)
Jika demikian, maka ulil amri tidak mungkin dimaknai sebagai pemimpin atau ulama secara individual. Sebab, mereka tidak dijamin selalu berada dalam kebenaran. oleh karena itulah, Imam al-Razi memaknai ulil amri sebagai ijmak ulama, karena selain Alquran dan hadis, pendapat kolektif/ijmak ulama lah yang diastikan benar. Hal ini sebagaimana sabda Nabi Saw. yang berbunyi:
إِذَا رَأَيْتُمُ الِاخْتِلَافَ فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِ الْأَعْظَمِ فَإِنَّهُ لَا تَجْتَمِعُ أُمَّتِي عَلَى ضَلَالَةٍ
Apabila kalian menjumpai perselisihan, maka berpeganglah kalian kepada suara mayoritas. Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan. (H.R. Al-Daulabi)
Baca Juga: Inilah Cara Memberikan Nasihat Kepada Pemimpin Menurut Al-Quran
Beragam Penjelasan Ulama Tentang Makna Ulil Amri
Terkait makna ulil amri, ulama berbeda pendapat. Menurut Imam al-Thabari, setidaknya ada empat penafsiran yang ditawarkan oleh para ulama terkait makna kata uli al-amri. Empat makna tersebut adalah pemimpin negara, ulama, para sahabat Nabi dan sahabat Abu Bakar dan Umar secara khusus. (Tafsir al-Thabari, Jilid 8, 497-502)
Dalam Tafsir al-Manar, Syaikh Rasyid Ridha menjelaskan bahwa setidaknya ada empat pandangan yang populer dikalangan ulama tafsir terkait makna ulil amri, yaitu khulafa al-rasyidin, para komandan perang, ulama dan imam maksum (yang terakhir ini menurut kaum Syiah). (Tafsir al-Manar, Jilid 5, 149)
Ahmad bin Mustafa al-Maraghi menawarkan makna yang lebih umum untuk ulil amri. Menurutnya, ulil amri adalah para pemimpin negara beserta seluruh jajarannya, ulama, para komandan perang dan setiap pemimpin atau orang ahli yang menjadi rujukan manusia terkait permasalahan hidupnya. Ketika mereka sepakat dan memutuskan suatu perkara, maka manusia wajib mematuhinya selama keputusan tersebut tidak melanggar syariat. (Tafsir al-Maraghi, jilid 5, 72)
Menurut Imam Muqatil bin Sulaiman, yang dimaksud dengan ulil amri dalam ayat tersebut adalah komandan perang. Pandangan ini didasarkan pada sebab turunnya ayat tersebut yang mengisahkan perselisihan antara Khalid bin Walid sebagai komandan perang dengan Amar bin Yasar. Lantas ayat ini turun menjustifikasi Khalid bin Walid sebagai komandan perang yang harus dipatuhi. (Tafsir Muqatil bin Sulaiman, Jilid 1, 382)
Sedangkan menurut K.H. Afifuddin Muhajir, wakil ‘am Syuriah PBNU, ulil amri adalah mereka yang kompeten di bidangnya, semisal dalam urusan kenegaraan, presiden dengan segenap jajarannya adalah ulil amri. Dalam masalah ilmu agama, ulama dan cendikiawan muslim adalah ulil amri. Sedangkan dalam dunia kesehatan, dokter dan petugas kesehatanlah yang menjadi ulil amri.
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa ulama tidak satu suara dalam menafsirkan siapa sebenarnaya ulil amri tersebut. Akan tetapi, beberapa penafsiran tersebut sejatinya tidaklah bertentangan. Oleh karenanya, perintah untuk taat kepada ulil amri bisa dilaksanakan meskipun dengan menggabungkan seluruh penafsiran ulil amri yang ditawarkan oleh ulama.
Wallaahu a’lam.