Baru-baru ini muncul berita viral di jagat dunia maya lantaran pemerintah memundurkan Hari Libur Nasional karena ada Peringatan Hari Besar Islam 1 Muharram dari yang sejatinya hari Selasa tanggal 10 Agustus 2021 menjadi hari Rabu, 11 Agustus 2021. Tidak cukup di sini saja, orang-orang yang tidak bertanggungjawab tersebut menyitir surah at-Taubah ayat 37 sebagai dalil yang melegitimasi pemerintah sebagai aktor yang patut dicela karena dianggap telah melakukan perbuatan yang sama dengan yang dilakukan oleh orang-orang Kafir Arab Jahiliyah dalam pengunduran bulan Haram.
Benarkah pengunduran libur 1 Muharram adalah Perbuatan kufur? Bagaimana penafsiran surah at-Taubah ayat 37 ini?
اِنَّمَا النَّسِيْۤءُ زِيَادَةٌ فِى الْكُفْرِ يُضَلُّ بِهِ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا يُحِلُّوْنَهٗ عَامًا وَّيُحَرِّمُوْنَهٗ عَامًا لِّيُوَاطِـُٔوْا عِدَّةَ مَا حَرَّمَ اللّٰهُ فَيُحِلُّوْا مَا حَرَّمَ اللّٰهُ ۗزُيِّنَ لَهُمْ سُوْۤءُ اَعْمَالِهِمْۗ وَاللّٰهُ لَا يَهْدِى الْقَوْمَ الْكٰفِرِيْنَ ࣖ
“Sesungguhnya pengunduran (bulan haram) itu hanya menambah kekufuran. Orang-orang yang kufur disesatkan dengan (pengunduran) itu, mereka menghalalkannya suatu tahun dan mengharamkannya pada suatu tahun yang lain agar mereka dapat menyesuaikan dengan bilangan yang diharamkan Allah, sehingga mereka menghalalkan apa yang diharamkan Allah. (Oleh setan) telah dijadikan terasa indah bagi mereka perbuatan-perbuatan buruk mereka itu. Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang kafir.” (Terjemah Kemenag 2019)
Apabila kita melihat surah at-Taubah dari sisi terjemahan, maka mungkin kita akan terjebak dalam Logical Fallacy (kesesatan berpikir) yang menyimpulkan bahwa pengunduran bulan yang diharamkan (seperti Muharram) adalah perbuatan yang menambah kekufuran orang. Agar dapat terhindarkan dari Logical Fallacy, maka lebih baik kita menjelaskan hubungan surah at-Taubah ayat 37 dengan ayat sebelumnya (ayat 36) serta makna pengunduran tersebut dari perspektif ilmu tafsir.
Baca Juga: Apa Saja Amalan Sunnah 10 Muharram? Berikut Penjelasannya
Konteks awal turunnya ayat
Bulan haram (al-hurum) yang dimaksud di Surah at-Taubah ayat 37 adalah bulan-bulan sebagaimana telah disebutkan pada ayat sebelumnya (ayat 36) yaitu empat bulan yang dimulyakan; Rajab, Dzulqo’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Imam Zamakhsyari dalam kitab Tafsir al-Kasysyaf menjelaskan bahwa orang-orang Arab dahulu menjadikan agama Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail sebagai landasan sehingga mereka senantiasa mengagungkan empat bulan al-hurum tersebut sebagaimana warisan kedua Nabi dan mereka mengharamkan perang di dalamnya. Bahkan, saking mulianya empat bulan haram ini, jikalau ada seseorang bertemu dengan pembunuh ayah atau saudaranya maka dia tidak boleh terbakar emosinya.
Kata النَّسِيْۤءُ berarti التأخير yaitu mengakhirkan, mengundurkan, menunda bulan haram ke bulan yang lain. Dan orang-orang yang disesatkan karena pengunduran tersebut adalah orang-orang kafir yang sedang berperang. Oleh sebab itu, ayat tersebut menyebutkan mereka semakin bertambah kekufurannya yang disebabkan perbuatan mereka dalam hal mengundur bulan haram ke bulan yang lain. Merubah keadaan yang sebenarnya tidak boleh berperang ke keadaan yang boleh berperang. Kemudian, mereka menghalalkan (membolehkan) tindakan tersebut dan menolak bulan-bulan haram secara spesifik untuk diharamkan. Konsekuensinya adalah mereka mengharamkan bulan lainnya yang sebenarnya boleh berperang.
Dalam keterangan kalimat زِيَادَةٌ فِى الْكُفْرِ Imam Zamakhsyari menjelaskan bagaimana orang-orang kafir menambah kekufurannya akibat maksiat yang dilakukan dalam pengunduran bulan Haram tersebut demi tujuan nafsu kekuasaanya dalam berperang. Hal ini karena orang kafir semakin bermaksiat maka semakin bertambah kekufurannya. Sebaliknya, orang mukmin semakin taat maka semakin bertambah keimanannya. Keterangan ini lantas tidak dapat disimpulkan kalau orang kafir tidak bermaksiat terus dia hilang kekufurannya atau juga tidak bisa kalau orang mukmin yang tidak taat kemudian dia tidak menjadi orang beriman. Akan tetapi, yang benar adalah orang kafir jika tidak bermaksiat maka dia tidak bertambah kekufurannya dan jika orang mukmin tidak taat maka jelas, dia tidak bertambah keimanannya.
Dengan demikian, orang kafir Arab Jahiliyah melakukan manipulasi data pertanggalan (kalender) Islam di mana mereka diwajibkan untuk melakukan gencatan senjata dengan lawan perangnya, akan tetapi dengan alasan berat dan sangat “nanggung” untuk ditinggalkan karena ada faktor keuntungan ekonomi dan kekuasaan, akhirnya mereka memanipulasi bulan-bulan haram tersebut menjadi bulan yang halal atau boleh untuk berperang.
Pemalsuan atau manipulasi pertanggalan (kalender) Islam tersebut adalah dengan cara mengundurkan satu atau dua bulan yang diharamkan ke bulan-bulan yang lain, sehingga terjadi tumpang tindih dalam penanggalan Islam yang zaman itu masih belumlah terlalu canggih dan sistematis seperti sekarang ini dalam pencatatan kalender Islam. Dan konteks pengundurannya adalah pengunduran bulan bukan hari atau awal hari dalam bulan-bulan haram.
Pengunduran bulan ini sebagaimana diceritakan dalam beberapa kitab tafsir, seperti Jami’ al-Bayan, al-Kasysyaf, Bahrul Ulum bahwa ada seorang pemimpin dari bangsa Kinanah yang bernama Junadah bin Auf al-Kinani. Dia merupakan juru bicara dan paling banyak pengikutnya di Arab Jahiliyah. Dia berkata dengan lantang di atas kuda: sesungguhnya tuhan-tuhan kalian telah menghalalkan bulan Muharram, maka halalkanlah. Kemudian di tahun berikutnya, dia berkata; bahwa sesungguhnya tuhan-tuhan kalian telah mengharamkan bulan Muharram, maka haram bagi kalian.
Sedikit berbeda dengan ar-Razi dalam Mafatih Al-Ghaib, ia memberi banyak pilihan nama dalam kasus ini, selain Junadah bin Auf al-Kinani ada pula Amr bin Luhayy bin Qam’ah bin Khunduf, Nu’aim bin Tsa’labah, Hudaifah bin ‘Ubaid yang sering disebut dengan Al-Qalammas.
Baca Juga: Tafsir Surah At-Taubah Ayat 37-38
Logical fallacy dalam pengutipan ayat
Dari sini, dapat kita pahami bahwa konteks makna dalam kata النَّسِيْۤء adalah pengunduran bulan bukan pengunduran satu hari apalagi berkaitan dengan pengunduran hari libur. Apa yang dikutip oleh netizen yang tidak bertanggung jawab dalam pengambilan ayat untuk melegitimasi adanya kekufuran dalam kebijakan pemerintah terkait pengunduran hari libur 1 muharram dari tanggal 10 Agustus 2021 ke 11 Agustus 2021 tidak sama sekali berkaitan dengan objek material yang dibahas oleh surah at-Taubah ayat 37.
Legitimasi yang menyimpulkan pemerintah telah melanggar syariat dan ketentuan Allah dalam pengunduran hari libur 1 Muharam melalui kutipan surah at-Taubah ayat 37 adalah sesuatu yang kontradiktif. Secara fakta, pemerintah (dalam hal ini Kemenag) tetap meletakkan tanggal 1 Muharram pada tanggal 10 Agustus 2021 dan tidak merubah atau mengundurkan satu hari pun ke hari-hari berikutnya, apalagi sebulan. Hanya saja, terkait dengan adanya peringatan 1 Muharram sebagai libur nasional dimundurkan pada tanggal 11 Agustus 2021 di mana pengunduran tersebut tidak ada relevansinya dengan pengunduran 1 Muharram secara kalender Islam.
Berkaitan dengan pengunduran libur nasional 1 Muharram, pemerintah melihat adanya potensi libur long weekend dari hari sabtu sampai selasa sehingga bisa berdampak pada munculnya klaster baru dalam penyebaran Covid-19 baik dari sisi kegiatan maupun liburan masyarakat. Pencegahan penyebaran Covid-19 melalui pengunduran libur nasional 1 Muharram tidak berpengaruh sama sekali dengan kekhusyukan umat Islam dalam mengisi peringatan hari besar Islam baik melalui ibadah maupun kegiatan-kegiatan tradisi lokal karena tanggal 1 Muharram tetap sesuai dengan kalender Islam yang jatuh pada tanggal 10 Agustus 2021.
Baca Juga: Peristiwa Bersejarah Apa Saja di Bulan Muharram? Ini Dia Kisahnya
Dengan demikian, pengutipan surah at-Taubah ayat 37 untuk melegitimasi pemerintah yang kufur dalam pengambilan kebijakan pengunduran libur 1 Muharram adalah manipulasi yang sangat fatal. Selain itu, pengambilan kesimpulan adanya istilah pengunduran bulan haram di dalam surah itu sebagai dasar logika dalam pengkufuran pemerintah adalah benar-benar kesesatan berpikir (logical fallacy). Penggunaan logical fallacy ini disengaja oleh mereka dalam berargumentasi dengan tujuan untuk propaganda dan tipu muslihat dalam mempengaruhi umat Islam. Maka kita harus berhati-hati untuk melihat penafsiran-penafsiran virtual dari tokoh agama untuk hawa nafsu semata ataukah untuk kebenaran yang sesungguhnya. Wallahu a’lam