Surah Ibrahim Ayat 28: Larangan Memanipulasi Nikmat Allah Swt dalam Konteks Berbangsa

Surah Ibrahim
Surah Ibrahim Ayat 28: Larangan Memanipulasi Nikmat Allah Swt

Di dalam Al-Qur’an, surah Ibrahim menempati urutan surah ke-14 yang terdiri dari 52 ayat. Surah ini, menurut Quraish Shihab, dari segi urutan turunnya menempati urutan yang ke-70 sesudah surah asy-Syu’ara dan sebelum surah al-Anbiya’.

Tema uraian utama dalam surah Ibrahim adalah berbicara tentang tauhid serta uraian tentang kesempurnaan kitab suci al-Qu’an yang mampu mengantarkan ke hadirat Ilahi melalui penjelasan-Nya tentang ash-Shirath, yakni jalan luas dan lebar yang mengantar ke sana. Sayyid Quthub, sebagaimana dikutip Shihab, mengatakan bahwa keterkaitan tema surah ini dengan Nabi Ibrahim terlihat dari suasana uraian surah ini berkaitan dengan namanya “Ibrahim” sebagai “Bapak para Nabi” seorang yang diberkahi, yang pandai bersyukur, belas kasih dan selalu kembali pada Allah. (Al-Mishbah, vol. 6, hlm.303-304)

Ada ayat yang menarik dalam surah Ibrahim untuk kita fikirkan ulang. Tepatnya pada ayat yang ke-28:

 اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ بَدَّلُوْا نِعْمَتَ اللّٰهِ كُفْرًا وَّاَحَلُّوْا قَوْمَهُمْ دَارَ الْبَوَارِۙ

“Tidakkah engkau memperhatikan orang-orang yang telah menukar nikmat Allah dengan kekufuran dan menjatuhkan kaumnya kelembah kebinasaan” (Terjemahan kemenag edisi 2019)

Dalam Tafsir Ibn Katsir disebutkan bahwa pendapat yang paling masyhur dan shohih adalah perkataan dari Ibnu ‘Abbas yang menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan orang-orang yang menukar nikmat Allah dengan kekufuran adalah orang-orang kafir ahlul Mekkah.

Baca Juga: Belajar Mensyukuri Nikmat Kemerdekaan dari Kisah Negeri Saba’

Sebab, lanjut Ibn Katsir, Allah telah mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai rahmat dan nikmat untuk manusia maka barang siapa yang bersyukur dengan di utusnya Nabi maka bagi mereka (orang kafir Makkah) adalah surga. Sebaliknya, barang siapa yang mengingkari Nabinya maka bagi mereka adalah neraka. (Tafsir al-Qur’an al-‘Adzim, juz 8, hlm. 219)

Menurut Ibn ‘Asyur, apabila ayat ini dipahami sebagai berbicara tentang tokoh-tokoh kaum musyrik Makkah, penukaran nikmat Allah yang dimaksud antara lain adalah keberadaan mereka di wilayah masjid al-Haram, yang dijadikan Allah tempat yang aman, tetapi anugerah itu mereka tidak syukuri.

Sejalan dengan Ibn ‘Asyur, Sayyid Quthub juga memhami ayat ini ditujukan kepada tokoh-tokoh kaum musyrikin pada masa Nabi Muhammad SAW. Sedang makna ni’matallah, menurut Sayyid Quthub adalah kehadiran Nabi Muhammad, ajaran kepada iman, tuntunan kepada pengamun dan surga. (Al-Mishbah, vol. 6, hlm. 373)

Alhasil, menurut Quraish Shihab, yang pasti adalah tokoh-tokoh yang berpengaruh di dalam satu masyarakat yang tidak mensyukuri nikmat Ilahi, antara lain dalam kedudukan mereka sebagai tokoh panutan, pastilah mengantar masyarakatnya kepada kebinasaan. (Al-Mishbah, vol. 6, hlm. 374)

Pemaknaan Kontekstual Surah Ibrahim Ayat 28

Supaya kontekstual, ayat ini akan sedikit diterjemahkan secara luas. Allah menyuruh kita untuk alam-tara. Alam-tara bisa kita artikan apakah kita tidak melihat, mengobservasi, meneliti dan meriset. Baddalu dapat kita artikan sebagai mengganti, menukar, memanipulasi, dan mengeskploitasi.

Nikmat Allah, dalam konteks Indonesia, setidaknya ada 3 yakni; pertama, sumber daya manusia. Kedua, sumber daya alam, dan, ketiga, sumber daya ideologi (pancasila). Kemudian Allah memperingatkan kita di ujung ayat ini dengan qoumahum dara al-Bawar, kaum yang celaka.

Sampai disini, ayat ini mengandung pesan yang begitu dalam. Agar Indonesia tetap dalam yang telah dijanjikan Allah pada surah Saba’ [34]: 15 yakni, baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur. Sebuah negeri yang aman, tentram, nyaman, dan jauh dari mala petaka serta musibah.

Tugas besar untuk menjaga tiga nikmat di atas bukanlah perkara mudah. Apalagi masalah ideologi bangsa yang kerap kali dibenturkan dengan ideologi khilafah. Sebuah sistem yang, katanya, mampu membuat dan menumpas segala kemaksiatan, menegakkan amar ma’ruf, serta mensejahterakan manusia yang hidup di dalamnya. Pertanyaannya? Apakah pancasila sebagai ideologi bertentangan dengan Islam? Jawabannya: TIDAK.

Baca Juga: Napak Tilas Kemerdekaan Islam Pada Peristiwa Fathu Makkah

Sejak berdirinya bangsa Indonesia, itu artinya 17 Agustus 2021 besok hari jadi yang ke-76, tidak pernah ada yang berani mengganti pancasila. Sebab, para founders — dengan berbagai latar belakang agama, ras, suku, bangsa yang berbeda – telah sepakat bahwa pancasila sudah final.

Begitu juga dengan sumber daya alam, kita dilarang untuk mengeksploitasi, membakar dan menebang hutan sembarangan, supaya hutan kita tetap lestari. Bukankah orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat dan batu jadi tanaman, begitu sebait sya’ir memotret alam Indonesia. Pun dengan sumber daya manusia, kita diperintahkan untuk selalu meningkatkan kualitas diri sebagai khalifah di muka bumi (khalifah fi al-Ardh), surah Al-Baqarah [2]: 30. Alhasil, mari kita jaga dan rawat bangsa Indonesia.

Gus Mus pernah berkata, Indonesia adalah rumah kita. Tempat kita lahir. Tempat kita mencari nafkah. Tempat kita bersujud. Bahkan kita mati pun akan dikubur di bumi Indonesia. Kitalah yang harus menjaga bersama-sama Indonesia. Jangan biarkan orang lain merusaknya. Wallahu A’lam bish-Showab.