Menjadi seorang muslim berarti menjadi orang yang beriman. Artinya, seseorang wajib meyakini adanya Allah swt, malaikat, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, qada dan qadar-nya. Tidak hanya itu, keimanan juga harus dimanifestasikan dengan syahadat, shalat, puasa, membayar zakat, dan melakukan ibadah haji. Dengan demikian, keabsahan iman seseorang juga dapat dilihat dari amal ibadahnya (iman dan amal), baik ibadah mahdah maupun ibadah sosial.
Menurut Imam Malik, asy-Syafi’i, al-Auza’i, dan Ishaq bin Rawahih, seorang yang beriman adalah orang yang memiliki kepercayaan dan membenarkan dengan hati, mengakui secara lisan akan adanya Allah swt dan syariat-Nya serta melaksanakan berbagai tuntunan-Nya. Dalam konteks ini, iman adan amal adalah satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Iman tanpa nilai aksiologis belum bisa dikatakan sebagai iman yang sesungguhnya.
Dalam beberapa kesempatan, nabi Muhammad saw juga senantiasa mengaitkan antara iman dan amal saleh. Beliau menegaskan bahwa seseorang yang beriman baru bisa dikatakan beriman secara sungguh-sungguh ketika ia mampu melaksanakan tuntunan agama, terutama berkenaan dengan kesalehan ritual dan sosial. Tanpa itu, keimanan seseorang tidak terbukti ibarat ungkapan kasih sayang seorang laki-laki kepada pujaan hati, namun di satu sisi ia menyakitinya.
Diriwayatkan dari Abu Syuraih ra, bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda, “Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman.” Seorang sahabat lalu bertanya, “Siapakah orang itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Orang itu adalah orang yang membuat tetangganya merasa tidak aman dari kejahatannya. “(HR. Bukhari).
Pada hadis di atas, ungkapan “Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman,” dilakukan secara berulang. Ini menunjukkan bahwa permasalahan yang akan dibahas perlu diperhatikan dengan saksama. Sebab, nabi Muhammad saw tidak pernah mengulang-ulang suatu pernyataan, kecuali pernyataan tersebut menyangkut sesuatu yang teramat penting. Dalam konteks ini adalah iman dan amal saleh.
Ciri-Ciri Orang Yang Beriman Menurut Al-Qur’an
Selain iman dan amal saleh, Al-Qur’an juga menyebutkan ciri-ciri lain dari orang yang beriman. Salah satu ayat yang menyebutkannya adalah surat al-Anfal [8] ayat 2 yang berbunyi:
اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ اِذَا ذُكِرَ اللّٰهُ وَجِلَتْ قُلُوْبُهُمْ وَاِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ اٰيٰتُهٗ زَادَتْهُمْ اِيْمَانًا وَّعَلٰى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُوْنَۙ ٢
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetar hatinya, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, bertambah (kuat) imannya dan hanya kepada Tuhan mereka bertawakal.” (QS. Al-Anfal [8] ayat 2).
Menurut Quraish Shihab, pada ayat ini Allah swt menjelaskan sebagian dari ciri-ciri orang yang beriman adalah mereka yang mantap imannya dan kukuh lagi sempurna keyakinannya serta membuktikan pengakuan tersebut degan perbuatan (iman dan amal). Misalnya, apabila disebutkan nama Allah, hati mereka gentar karena sadar akan kekuasaan, keindahan, dan keagungan-Nya.
Ciri-ciri orang yang beriman lain pada ayat ini adalah apabila mereka dibacakan oleh ayat-ayat Allah swt yakni Al-Qur’an, ayat-ayat itu menambahkan keimanan mereka lebih dalam dari keimanan sebelumnya. Cahaya iman masuk dan memancar ke hati mereka dan itu menghasilkan rasa tenang dalam menghadapi segala sesuatu sehingga hasilnya adalah mereka berserah diri kepada Allah swt secara yakin, tanpa keraguan sedikitpun. (Tafsir Al-Misbah [5]: 375).
Kata dzikr pada ayat ini mulanya bermakna mengungkapkan dengan lidah. Walaupun makna ini kemudian berkembang menjadi “mengingat”, namun mengingat sesuatu seringkali turut mengantarkan lidah untuk menyebutnya. Jika kata dzikir dikaitkan dengan sesuatu, maka yang dimaksud adalah mengingat nama atau sifat sesuatu tersebut. Oleh karena itu, makna dzukirallahu adalah mengingat nama Allah swt serta sifat-sifat-Nya mencakup keagungan, keindahan, dan kekuasaan. (Tafsir Al-Misbah [5]: 377).
Menurut Sayyid Quthub, kata wajilat qulubuhum menggambarkan getaran rasa yang menyentuh kalbu seorang mukmin ketika diingatkan tentang Allah swt, perintah atau larangan-Nya. Ketika itu jiwanya dipenuhi oleh keindahan dan ke-Maha Besaran Allah. Rasa inilah yang kemudian mendorongnya untuk menguatkan iman dan amalnya serta menjauhkannya dari segala perbuatan dosa.
Getaran yang dimaksud oleh Sayyid Quthub – jika dianalogikan maka itu gambaran kecilnya – mirip dengan getaran hati seseorang manakala merasakan kerinduan yang sangat mendalam terhadap kekasihnya. Jika nama kekasih tersebut atau sifatnya disebut, maka akan muncul getaran tak terlukiskan yang mendorongnya untuk mengingat sang kekasih dan hal tentangnya. Getaran ini hanya bisa dirasakan oleh orang benar-benar mengenal dan cinta terhadap-Nya.
Menurut Ibnu Asyur, alasan utama kenapa seseorang bertambah imannya ketika mendengar ayat-ayat Allah swt – selain karena kemantapan iman – adalah karena ayat-ayat Al-Qur’an mengandung mukjizat atau bukti kebenaran, sehingga setiap ayat yang turun atau berulang terdengar, maka ia menambah keyakinan pendengarnya tentang informasinya dan bahwa informasi tersebut pasti datang dari Sang Maha Benar, yakni Allah swt.
Hal ini telah dibuktikan oleh Kamil Abdus Samad dalam bukunya Al-I’jaz al-‘Ilmi Fi Al-Qur’an. Dalam penelitian tersebut, ia melakukan observasi dengan alat-alat canggih guna mengukur perubahan fisiologi terhadap sejumlah relawan sehat yang terdiri dari muslim dan non-muslim, yang mengerti bahasa Arab dan tidak. Hasil risetnya membuktikan bahwa adanya pengaruh yang menenangkan hingga mencapai 97% bagi relawan.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa orang yang beriman adalah mereka yang percaya kepada Allah swt dan melaksanakan tuntunan-Nya (iman dan amal). Ciri-ciri orang yang beriman itu diantaranya ialah bergetar hatinya ketika mengingat Allah swt, apabila mendengar ayat-ayat-Nya maka keimanannya bertambah, dan ia senantiasa bertawakal kepada-Nya. Semoga kita tergolong ke dalam firman Allah swt tersebut. Aamiin.