BerandaTafsir TematikSurat Ibrahim Ayat 34: Menghitung Nikmat Allah dan Rasa Iri Melihat Orang...

Surat Ibrahim Ayat 34: Menghitung Nikmat Allah dan Rasa Iri Melihat Orang Lain

Artikel ini akan mengulas penggalan ayat yang cukup populer di kalangan masyarakat. Tentu kita pernah dengan adagium “jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak mampu menghitungnya. Ya, potongan ayat ini terdapat dalam Surat Ibrahim [14] Ayat 34. Allah Swt berfirman:

وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ

“…Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan ‎mampu menghitungnya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan ‎sangat mengingkari (nikmat Allah).” (Q.S. Ibrahim: 34)‎

Disadari atau tidak, manusia sering merasa iri melihat kehidupan orang ‎lain yang lebih baik darinya. Ketika melihat orang yang lebih kaya, lebih pintar, ‎lebih dihormati, lebih sukses darinya, tidak jarang muncul keinginan dalam diri ‎seseorang untuk bisa seperti mereka, atau bahkan bisa melebihi mereka.‎

Baca Juga: Kisah Qarun Dalam Al-Quran: Orang Paling Kaya Pada Zaman Nabi Musa

Sebetulnya, keinginan tersebut sangat wajar dan manusiawi. Karena ‎pada hakekatnya, setiap orang tentu mendamba kehidupan yang lebih baik ‎dari waktu ke waktu. Jika rasa iri tersebut dalam arti positif, yaitu bertujuan ‎memotivasi diri untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya, dengan ‎meningkatkan etos kerja, mengembangkan diri dengan bekal pengetahuan ‎dan keterampilan, maka hal itu sah-sah saja.‎

Persoalannya adalah, jika rasa iri itu dalam arti negatif, yaitu ‎memunculkan rasa tidak suka kepada orang lain. Sehingga apa pun yang ‎berkaitan dengan orang lain, berupa harta, ilmu, jabatan serta kehormatan ‎yang dia miliki menjadi alasan seseorang untuk membencinya.

Lebih buruk ‎lagi, karena rasa benci kepada seseorang, maka dengan berbagai cara orang ‎yang iri itu berusaha untuk dapat menjatuhkannya. Membuat usahanya ‎bangkrut, misalnya, memfitnahnya, atau bahkan yang paling sadis ‎membunuhnya. Semua dilakukan karena kebenciannya kepada seseorang, ‎yang notabene, dalam pandangannya lebih segala-galanya dari dirinya.‎

Inilah kondisi umum yang terjadi pada diri seseorang yang tidak ‎pandai bersyukur. Dia selalu melihat orang lain lebih baik serta lebih sukses ‎darinya. Dia selalu melihat rumput tetangga lebih hijau.‎

Padahal, kalau dia sadari, dalam dirinya sungguh banyak nikmat, ‎anugerah serta potensi yang Allah berikan dan harus disyukuri. Nikmat hidup, ‎nikmat sehat, nikmat kesempatan serta nikmat-nikmat lainnya adalah ‎anugerah serta modal luar biasa yang Allah berikan. Tinggal bagaimana ‎seseorang menggunakannya.‎

Dalam masyarakat Jawa ada istilah sawang-sinawang, yaitu ‎kecenderungan seseorang yang melihat kehidupan orang lain lebih baik, lebih ‎menyenangkan darinya. Padahal, belum tentu orang yang dia anggap ‎menyenangkan kehidupannya, dalam kenyataannya juga seperti itu.

Bisa jadi ‎kehidupan orang yang memandang orang lain lebih baik, jutru lebih baik dan ‎lebih menyenangkan daripada kehidupan orang yang dilihatnya. Begitulah ‎kehidupan manusia. Selalu saja ada perasaan kurang dalam dirinya. ‎

Maka, untuk bisa menikmati dan mensyukuri kehidupan ini, tidak lain ‎adalah dengan cara melihat ke dalam diri kita sendiri, bukan melihat ke luar ‎‎(baca: orang lain). Kita lihat apa yang kita miliki, bukan apa yang kita ‎inginkan. Bukan pula melihat apa yang orang lain miliki.‎

Lihat ke dalam, bukan ke luar. Lihat apa yang ada dalam diri kita. ‎Bukan apa yang ada di luar kita. Karena yang kita miliki adalah sebuah ‎anugerah yang luar biasa dari Allah Swt. Sementara yang di luar sana belum ‎tentu baik bagi kita.‎

Baca Juga: Amalan Untuk Mengatasi Krisis Kepercayaan Diri dalam Al-Quran

Allah sangat tahu betul kapasitas serta kemampuan kita. Allah tidak ‎akan memberikan ‘sesuatu’ kepada seseorang yang menurut padangan-Nya, ‎orang tersebut belum siap untuk mendapatkannya. ‘Sesuatu’ itu akan Allah ‎berikan kepada orang yang tepat, di saat yang tepat dan dengan cara yang ‎tepat.

Inilah konsep kelayakan menurut Allah. Jika seseorang dianggap layak ‎oleh Allah untuk mendapatkan ‘sesuatu’, maka Allah pun akan memberikan ‎kepadanya. Tetapi jika orang tersebut tidak atau belum layak untuk ‎mendapatkannya, maka Allah pun tidak akan memberikan kepadanya.‎

Dengan memahami konsep kelayakan ini, maka tidak akan ada ‎perasaan kecewa dalam diri kita, ketika apa yang kita harapkan belum menjadi ‎kenyataan. ‎

Alih-alih mengeluh dan menyesali keadaan, karena keinginan memiliki ‎‎‘sesuatu’ di luar yang kita miliki belum terwujud, menikmati dan ‎memaksimalkan sesuatu yang kita miliki jauh lebih baik dan lebih bermakna ‎bagi kehidupan kita.

Dengan cara ini, kita sudah menunjukkan rasa syukur ‎kita kepada Allah Swt. Maka, kita tinggal berharap, sesuai janji Allah di atas, ‎bahwa siapa yang bersyukur atas nikmat-Nya, pasti Allah akan menambah ‎nikmat kepadanya.‎ Wallahu A’lam.

Didi Junaedi
Didi Junaedi
Dosen Ilmu Al-Quran dan Tafsir IAIN Syekh Nurjati Cirebon
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Penggunaan tinta merah pada frasa walyatalaththaf dalam mushaf kuno Kusamba, Bali (Sumber: Balai Litbang Agama Semarang)

Tinta Warna pada Mushaf Alquran (Bagian II)

0
Merujuk keterangan yang diberikan oleh Abu ‘Amr al-Dani (w. 444 H.), penggunaan tinta warna dalam penulisan mushaf Alquran awalnya merupakan buntut dari diterapkannya diakritik...