Terlambat saya membaca buku ini: “Qawa’id al-Tadabbur al-Amtsal li Kitab Allah ‘Azza wa Jalla.” Padahal ia terbit tahun 1980. Seperti terbaca, ternyata bukan hanya menafsir Alquran yang ada kaidah-kaidahnya, menadaburinya pun demikian. Coba kita baca secara umum buku yang ditulis Abdurrahman Hasan al-Midani ini.
Di Mukadimah, al-Midani antara lain menegaskan bahwa tadabur ayat-ayat Allah dalam Kitab-Nya merupakan kerja ilmiah (a’mal ‘ilmiyah) yang teramat mulia dan utama. Juga merupakan jalan paling terang untuk mengenal dasar-dasar agama-Nya guna meraih berbagai rida-Nya. Allah menurunkan Alquran, tegas al-Midani, untuk ditadaburi ayat-ayatnya, bukan untuk dipunggungi atau dijadikan sekadar senandung, atau cuma jimat penolak bala`. QS Shad: 29, al-Mu`minun: 68-70, al-Nisa`: 82, dan Muhammad: 24 memastikan kewajiban tadabur atas ayat-ayat-Nya.
Mengapa tadabur Alquran perlu kaidah? Karena ayat-ayatnya mengandung aneka makna sarat berkah dan untuk menyingkapnya diperlukan penglihatan hati yang jernih dan pemahaman nalar yang terang. Banyak yang menyelam di lautan Kitab-Nya. Masing-masing menyelam sesuai kadar nalar dan kapasitas wawasannya. Ada yang kembali dari penyelaman dengan pemahaman yang tepat, ada yang pulang dengan pemahaman yang keliru, dan ada pula yang pulang dengan tangan hampa.
Kaidah-kaidah tadabur Alquran yang ditawarkan al-Midani dalam buku ini merupakan hasil pengalaman panjang al-Midani sendiri dalam menadaburi Alquran secara langsung. Pengalaman itu dipadukan dengan penelaahan atas sejumlah karya tafsir dengan berbagai metodenya. Pengalaman plus penelaahan itu melahirkan tidak kurang dari 27 kaidah tadabur. Setiap kaidah yang diajukan disertai penjelasan lewat contoh (penerapan) langsung. Al-Midani menandai bahwa para mufasir tidak benar-benar konsisten memegang kaidah-kaidah itu. Ia tidak melihat ada mufasir yang benar-benar mengindahkan seluruh kaidah itu dalam semua tadabur-nya. Al-Midani juga mengklaim bahwa sebagian dari kaidah-kaidah itu bahkan tidak mendapat perhatian dari seorang pun mufasir.
Yang jelas, papar al-Midani, di hadapan para mufasir terbentang jalan panjang. Kadang mereka tidak sampai tujuan meski telah mengerahkan tenaga dan segenap kemampuan. Hanya saja, tak ada keraguan, dengan terus mencari dan menggali, mereka akan menemukan banyak perbendaharaan agung dari Kitab Suci yang mulia ini.
Baca Juga: Kaidah Tafsir: Pengertian dan Hakikatnya dalam Memahami Al-Quran
—-
Kemudian satu persatu saya baca 27 kaidah tadabur rancangan al-Midani. Saya mencatat beberapa poin:
Satu: Dari 27 kaidah itu, terlihat beberapa di antaranya sama dengan apa yang selama ini disebut sebagai qawa’id tafsir (kaidah-kaidah tafsir). Secara umum, qawa’id tafsir ada dua: Pertama, qawa’id yang terkait dengan sumber tafsir, seperti tafsir ayat dengan ayat, tafsir ayat dengan hadis, tafsir ayat dengan pendapat sahabat dan tabiin, tafsir ayat dengan penalaran akal, dan tafsir ‘ilmi. Kedua, qawa’id yang terkait dengan kebahasaan, seperti umum-khusus, global-terinci, absolut-terbatasi, dan semacamnya. Kaidah ke-12 dan 16 rancangan al-Midani, misalnya, merupakan kaidah tafsir yang berkaitan dengan sumber, yaitu tentang keharusan mendahulukan ma`tsur (sumber-sumber riwayat) dalam menggali makna teks. Sementara itu, kaidah ke-18 sampai ke-23 berisikan kaidah tafsir yang berkaitan dengan kebahasaan.
Dua: Beberapa kaidah lainnya dalam rumusan al-Midani mengacu pada beberapa topik yang biasa dikaji dalam ‘Ulum al-Qur`an. Kaidah ke-4 dan 9 misalnya, mengacu pada fase-fase turunnya wahyu yang dalam ‘Ulum al-Qur`an biasa disebut ilmu Makiyah-Madaniyah. Begitu pula dengan kaidah ke-14 yang mengacu pada Asbab al-Nuzul dan kaidah ke-17 yang merujuk pada Ilmu Munasabah.
Tiga: Kaidah ke-8 dan empat kaidah terakhir (ke-24 sampai 27) rumusan al-Midani mengacu pada bidang Ushul Fiqh. Nasakh, muhkam-mutasyabih, ‘illah, amar, nafy dan nahy, ada di kelompok ini.
Empat: Kaidah-kaidah yang nomor-nomor urutnya telah disebutkan di atas, yang oleh al-Midani disebut sebagai “Kaidah-kaidah Tadabur” sesungguhnya adalah apa yang selama ini kita kenal sebagai “Kaidah Tafsir”. Jadi, dalam hal ini, menafsir Alquran menurut al-Midani sama dengan menadaburinya. Dengan begitu, yang dapat kita tunjuk sebagai kaidah tadabur yang murni buah pikiran al-Midani adalah kaidah-kaidah di luar yang telah saya sebutkan nomor-nomor urutnya. Di sini dapat saya sebutkan, sekadar contoh, kaidah ke-1 sampai ke-7. Semuanya, dalam amatan saya, mengharuskan adanya kesadaran bahwa ada jalinan tematik antara seluruh ayat dalam sebuah surah dengan tema utama surah tersebut. Ini, pada gilirannya, memunculkan pemahaman bahwa sebuah surah, dengan keragaman ayat-ayat yang ada di dalamnya, sesungguhnya mengacu pada satu tema utama.
Baca Juga: Kaidah Taqdim dan Ta’khir pun Terkena Pengaruh Tradisi Patriarki
Sebenarnya, apa yang disebut al-Midani sebagai satu-kesatuan tema dalam sebuah surah, sudah pun disinggung jauh sebelumnya–seingat saya–antara lain oleh Muhammad Abduh dan muridnya Rasyid Ridha. Jadi, al-Midani tampil untuk mengingatkan dan menegaskan pentingnya kesadaran adanya satu tema utama untuk setiap surah di mana seluruh ayat yang ada di dalamnya dengan segala keragamannya mengacu ke tema utama itu.
Jika demikian, mengapa al-Midani menyebut kaidah-kaidah rumusannya itu Qawa’id Tadabbur, bukan Qawa’id Tafsir seperti tokoh dan mufasir lainnya? Dugaan kuat saya yang belum selesai membaca bukunya, “Qawa’id al-Tadabbur al-Amtsal li Kitab Allah ‘Azza wa Jalla” itu, ia hendak menegaskan bahwa kerja tafsir bukan sekadar kerja-ilmiah yang hanya memedulikan perangkat-akademik. Lebih dari itu, kerja tafsir juga harus melibatkan rasa, hati, kesadaran dan penghayatan seolah sang mufasir sedang berdialog langsung dengan Yang Maha Berbicara (Mutakallim). Makna-makna tentang pelibatan, kesadaran, dan penghayatan itu hanya dapat ditampung oleh term tadabbur, bukan tafsir. Demikian kiranya.