BerandaTafsir TematikTafsir AhkamTafsir Ahkam: Air yang Berubah Sifatnya, Tapi Tetap Suci, Air Apakah Itu?

Tafsir Ahkam: Air yang Berubah Sifatnya, Tapi Tetap Suci, Air Apakah Itu?

Lagi-lagi air menjadi bahasan yang penting dalam urusan bersuci. Sebagaimana diketahui, bahwa air merupakan alat untuk bersuci yang utama, setelah itu baru ada debu dan batu sebagai alternative berikutnya. Oleh karena demikian keadaannya, maka mufasir memberikan perhatian khusus dan menjelaskan secara detail mengenai ayat yang berhubungan dengan air. Kriteria air suci dan tidak, faktor-faktor yang menyebabkan keduanya dan lainnya, ada air yang berubah sifatnya dan menyebabkan hukumnya tidak suci, namun ada pula yang meskipun air berubah sifatnya tapi tetap suci.

Para ulama’ menetapkan bahwa air hujan maupun air yang bersumber dari mata air, akan tetap bersifat suci dan menyucikan selama tidak mengalami perubahan sifat-sifatnya, yakni mencakup warna, bau dan rasa. Hal ini kadang menimbulkan problematika tersendiri di tengah masyarakat, sebab air di sekitar mereka kadang mengalami perubahan-perubahan sebab sesuatu yang tidak bisa mereka hindari.

Misalnya air menjadi berbau busuk sebab terlalu lama diam di tandon atau kolam air di kamar mandi yang jarang dikuras. Air berubah warna dan bau sebab banyaknya dedaunan dan ranting yang jatuh pada air tersebut, atau air berubah sebab unsur-unsur tanah yang ditempati air tersebut. Lalu apakah perubahan-perubahan sebab sesuatu yang sulit dihindari ini dapat merubah sifat suci dan menyucikannya air? Simak penjelasan para pakar tafsir dan fikih berikut ini,

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Hukum Air Hujan itu Suci Menyucikan, Kecuali Jika…

Perubahan yang Dapat Dihindari dan Tidak Dapat Dihindari

Salah satu dasar teologis yang digunakan untuk memutuskan bahwa perubahan pada air dapat mempengaruhi sifat suci dan menyucikannya, adalah firman Allah:

وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا

Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu (QS. An-Nisa’ [4] :43).

Imam Al-‘Umrani menyatakan bahwa ayat di atas menggantungkan tayamum pada ketiadaan air mutlak atau air biasa tanpa dilabeli jenis tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa tidak setiap benda cair dapat digunakan untuk bersuci. Selain itu, air yang tidak mutlak tidak dapat dibuat untuk bersuci dan keberadaannya tidak menghalangi bolehnya bertayamum. Maka air yang sebelumnya suci dan menyucikan dapat tidak lagi dibuat bersuci apabila mengalami perubahan sehingga kemutlakkannya hilang seperti air kopi dan selainnya (Al-Bayan/1/16).

Namun Imam Al-Qurthubi menegaskan bahwa perubahan pada air yang disebabkan sesuatu yang berada di tempat menetapnya air dan sulit untuk dipisahkan dari keberadaan air, ulama’ sepakat bahwa perubahan tersebut tidak merubah sifat suci dan menyucikannya air. Ia mencontohkan perubahan tersebut seperti halnya perubahan sebab arsenik atau kapur yang air mengalir ke tempat keduanya, atau perubahan sebab lumut atau juga dedaunan pohon yang tumbuh di tempat air tersebut (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/13/44).

Imam Ar-Razi juga menyatakan bahwa air yang berubah dan berbau busuk sebab terlalu lama berdiam pada suatu tempat, dalam artian mengalami perubahan dengan sendirinya dan tidak sebab benda lain, maka air tersebut tetap suci dan menyucikan. Imam Ar-Razi beralasan bahwa bagaimanapun air tersebut adalah air yang tidak berubah dari kemutlakkannya (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/495).

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Dalil Diperbolehkannya Berwudhu dengan Air Hujan

Kitab Mausu’atul Ijma’ menyatakan bahwa ulama’ sepakat soal apa yang diungkapkan Imam Ar-Razi di atas. Dasar yang diapakai adalah ayat tentang tayamum yang menyatakan air yang dapat digunakan bersuci adalah air mutlak. Selain itu, tidak ada alasan yang dapat digunakan untuk menyatakan bahwa air yang mengalami perubahan sebab lamanya berdiam, bukanlah air mutlak (Mausu’atul Ijma’ fi fiqhil Islami/1/85).

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili menambahkan tentang perubahan yang tidak merusak sifat menyucikannya air. Di antaranya perubahan sebab benda yang ada di tempat berdiam dan mengalirnya air, perubahan sebab ranting meski ranting tersebut memiliki bau wangi, perubahan sebab bangkai yang diletakkan di dekat tempat air dan akhirnya air berubah sebab bau busuk bangkai tersebut, serta perubahan sebab keberadaan rumput kering serta dedaunan yang tidak bisa dihindarkan dari air. Meski begitu, Syaikh Wahbah menjelaskan bahwa masing-masing mazhab memiliki perincian-perincian tersendiri terkait perubahan yang tidak mempengaruhi sifat menyucikannya air (Al-Fiqhul Islami/1/265).

Berbagai keterangan di atas menunjukkan tidak setiap perubahan pada air dapat merusak sifat menyucikannya air tersebut. Di antaranya perubahan-perubahan yang muncul dari air itu sendiri atau dari benda yang keberadaannya sulit dipisahkan dari air. Wallahu a’lam bish showab

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Fenomena Media Sosial dan FOMO dalam Kacamata Qur'ani

Fenomena Media Sosial dan FOMO dalam Kacamata Qur’ani

0
Berdasarkan laporan "Digital 2023" oleh We Are Social, jumlah pengguna media sosial di Indonesia mencapai 167 juta pada Januari 2023, yang setara dengan 60,4%...