BerandaTafsir TematikTafsir AhkamTafsir Ahkam: Bagaimana Merespon Bantuan Non-Muslim dalam Proses Pembangunan Masjid?

Tafsir Ahkam: Bagaimana Merespon Bantuan Non-Muslim dalam Proses Pembangunan Masjid?

Dalam konteks Indonesia yang sangat plural, relasi antarumat beragama di Indonesia telah menjadi sebuah ikatan relasi yang saling menghargai dan toleran antarmereka. Konstruksi relasi yang baik tersebut, dalam beberapa tempat menyebabkan masyarakat non-muslim saling bantu-membantu dengan masyarakat muslim, salah satunya dalam hal pembangunan tempat ibadah. Terdapat beberapa saudara non-muslim yang ikut serta berpartisipasi, baik dalam segi materi maupun yang lainnya dalam proses pembangunan masjid.

Masjid merupakan tempat ibadah umat Islam yang telah menjadi simbol bangunan yang disucikan. Berdasarkan fakta tersebut, terdapat beberapa pandangan ulama yang membatasi interaksi non-muslim terhadap masjid. Salah satu argumentasi dalil yang digunakan dalam membatasi interaksi non-muslim tersebut adalah QS. al-Taubah [9]: 17. Jika demikian, lantas bagaimana penafsiran para ulama terhadap ayat tersebut?

Baca Juga: Pembangunan Masjid dan Keberagaman Umat: Refleksi Surat Al-Hujurat Ayat 13

Penafsiran Ulama Terhadap QS. al-Taubah [9]: 17

Sebelum menuju penafsiran ayat, terlebih dahulu penulis menyampaikan teks QS. al-Taubah [9] ayat 17, sebagai berikut:

مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِيْنَ اَنْ يَّعْمُرُوْا مَسٰجِدَ اللّٰهِ شٰهِدِيْنَ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِۗ اُولٰۤىِٕكَ حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْۚ وَ فِى النَّارِ هُمْ خٰلِدُوْنَ – ١٧

“Tidaklah pantas orang-orang musyrik memakmurkan masjid Allah, padahal mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Mereka itu sia-sia amalnya, dan mereka kekal di dalam neraka”

Terkait sebab turunya ayat tersebut, ِAbu Al-Hasan Ali Ibn Ahmad Al-Wahidi dalam karyanya, Asbab Nuzul al-Qur’an memaparkan sebuah riwayat yang menceritakan bahwa pada saat al-Abbas ibn Abd al-Muthalib menjadi tawanan perang Badar, para kaum muslim mencelanya akibat kekufuranya dan karena ia memutus silaturrahim. Hal yang demikian juga dilakukan oleh Ali ibn Abi Thalib. Mendapat tekanan dari para kaum muslim tersebut, al-Abbas kemudian berkata: “mengapa kalian hanya menyebut keburukan kami dan tidak menyebut kebaikan kami?”

Mendapat pertanyaan tersebut, Ali kemudian berbalik bertanya, “apakah dirimu memiliki kebaikan?”. al-Abbas lalu menjawab “ya, sesungguhnya kami telah memakmurkan Masjidil Haram, menutup Ka’bah, memberi minum orang-orang yang haji, dan membebaskan tawanan”. Maka Allah kemudian menurunkan ayat tersebut guna menolak jawaban dari al-Abbas tersebut.

Muhammad Ali al-Shabuni dalam karya monumentalnya yaitu Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, ketika menafsirkan term “an ya’muru masajid”, ia membagi bentuk pemakmuran masjid menjadi dua, yaitu: pertama, pemakmuran masjid yang bersifat dzahir atau bisa ditangkap oleh panca indera, seperti mendirikan bangunan, merenovasi, dan perbaikan-perbaikan terhadap bentuk fisik masjid (al-’imarah al-hissiyah). Kedua, bentuk pemakmuran masjid yang bersifat bathin, seperti pelaksanaan shalat, dzikir, do’a, dan ibadah-ibadah lain yang dilakukan di Masjid (al-imarah al-ma’nawiyah).

Dalam konteks ayat ini, Muhammad al-Husain ibn Mas’ud al-Baghawi dalam Ma’alim al-Tanzil berpendapat bahwa larangan pemakmuran (al-’imarah) yang dimaksud dalam ayat tersebut lebih dalam bentuk larangan pemakmuran masjid secara dzahir, seperti membangun, menjaga, dan merenovasi bangunan fisik masjid.

Kemudian, dalam aspek qira’at, Ibnu Abbas, Sa’id ibn Jubair, Atha’ ibn Abi Rabah, Mujahid, Ibnu Katsir, Abu Umar, Ibnu Muhaishin, dan Ya’qub berpendapat bahwa yang dimaksud dalam term “masajid Allah” hanya terbatas untuk Masjidil Haram. Hal ini dikarenakan mereka membaca teks tersebut dengan bentuk tunggal (مسجد الله).

 Lain halnya dengan Abu Ubaidah, ia membaca teks tersebut dengan bentuk plural (مساجد الله), sehingga larangan pemakmuran non-muslim tersebut mencakup seluruh masjid dan tidak terbatas hanya Masjidil Haram. Ali al-Shabuni menilai bahwa qira’at yang kedua lebih banyak digunakan oleh jumhur ulama.

Baca Juga: Tafsir Surat at-Taubah Ayat 107: Mengenal Masjid Dhirar dan Sikap Nabi Terhadapnya

Bolehkah kita Menerima Sumbangan Dana Pembangunan Masjid dari Non-Muslim?

Menjawab pertanyaan tersebut, Muhammad Ali al-Shabuni dalam karya monumentalnya yaitu Rawai’ al-Bayan Tafsir Ayat al-Ahkam min al-Qur’an, menjelaskan dua pendapat yang berbeda.

Pertama, pendapat sebagian ulama tidak membolehkan umat non-muslim ikut serta dalam memakmurkan masjid, baik dalam bentuk bantuan sumbangan materi ataupun non-materi, karena hal tersebut masuk dari kategori pemakmuran masjid secara hissiyah. Sedangkan hal tersebut dilarang oleh Allah berdasarkan dalil QS. al-Taubah [9]: 17.

Kedua, berbeda dengan pendapat pertama, mayoritas ulama justru membolehkan partisipasi pihak non-muslim dalam proses pembangunan masjid, selama partisipasi tersebut tidak menjadikan pihak non-muslim sebagai penguasa dari masjid tersebut, sebagaimana dalam kutipan berikut:

وَأَمَّا اِسْتِخْدَامُ الْكَافِرِ فِيْ عَمَلٍ لَا وِلَايَةَ فِيْهِ، كَنَحْتِ الحِجَارَةِ وَالبِنَاءِ وَالنِّجَارَةِ، فَلَا يَظْهَرُ دُخُوْلُهُ فِيْ الْمَنْعِ، وَهَذَا قَوْلُ جُمْهُوْرِ العُلَمَاءِ

“Adapun terkait bantuan orang kafir dalam perbuatan (pembangunan masjid) yang dimana mereka tidak memiliki kekuasaan terhadap masjid tersebut, seperti memahat batu, membangun, dan menukangi. Maka perbuatan yang demikian tidak masuk dalam kategori pelarangan (sebagaimana yang disampaikan ayat di atas). Pandapat yang demikian merupakan pendapat dari mayoritas ulama”

Baca Juga: Inilah Tiga Sikap Kerukunan Umat Beragama Menurut Quraish Shihab

Pendapat yang disampaikan Ali al-Shabuni tersebut juga diamini oleh Wahbah az-Zuhaili, sebagaimana ia sampaikan dalam karyanya al-Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj. Menurut az-Zuhaili, letak pelarangan partisipasi non-muslim dalam pemakmuran masjid adalah apabila partisipasi tersebut menjadikan non-muslim sebagai pemilik otoritas kekuasaan penuh yang dapat menentukan maslahat tidaknya masjid. Seperti otoritas dalam menunjuk pengawas masjid dan pengawas wakaf masjid.

Namun, apabila hanya sebatas membantu dan tidak ada kepentingan untuk membuat kemudharatan terhadap masjid tersebut, maka partisipasi yang dalam bentuk demikian dibolehkan, sebagaimana disampaikan az-Zuhaili dalam kutipan berikut:

وَلَا مَانِعَ أَيْضًا مِنْ قِيَامِ الْكَافِرِ بِبِنَاءِ الْمَسْجِدِ أَوْ الْمُسَاهَمَةِ فِيْ نَفَقَاتِهِ، بِشَرْطٍ أَلَّا يُتَّخَذَ أَدَاةٌ لِلضَّرَرِ، وَإِلَّا كَانَ حِيْنَئِذٍ كَمَسْجِدِ الضِّرَارِ

“Dan tidak ada larangan bagi orang kafir untuk membangun masjid ataupun ikut berpartisipasi dalam pendanaan pembangunan masjid. Dengan syarat hal tersebut tidak dijadikan sebagai sarana untuk menimbulkan kemudharatan. Apabila syarat tersebut tidak terpenuhi, maka masjid tersebut sama halnya dengan masjid dhirar

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pihak non-muslim diperbolehkan menyumbangkan sebagian harta mereka dalam proses pembangunan atau pemakmuran masjid, dengan syarat sumbangan tersebut bersifat sukarela dan tidak ada kepentingan untuk menguasai masjid. Dimana dengan penguasaan tersebut dapat mendatangkan kemudharatan yang dapat mengganggu kemaslahatan masjid. Jika syarat-syarat tersebut telah terpenuhi maka pihak muslim boleh menerima sumbangan tersebut. Wallahu A’lam

Moch Rafly Try Ramadhani
Moch Rafly Try Ramadhani
Mahasiswa Prodi Ilmu Al-Quran dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU