BerandaTafsir TematikTafsir AhkamTafsir Ahkam: Benarkah Bersentuhan dengan Lawan Jenis itu Membatalkan Wudhu?

Tafsir Ahkam: Benarkah Bersentuhan dengan Lawan Jenis itu Membatalkan Wudhu?

Mayoritas umat muslim di Indonesia menganut Mazhab Syafi’i yang meyakini bahwa menyentuh lawan jenis termasuk membatalkan wudhu. Hal ini berdampak saat diri mereka hendak menjaga wudhu, mereka menghindari bersentuhan dengan lawan jenis meski itu istri sendiri. Selain itu, pada waktu menunaikan haji dan hendak melakukan tawaf, beberapa diantara mereka merasa perlu beralih mazhab sebab cukup sulit menghindari bersentuhan kulit dengan lawan jenis saat tawaf.

Lalu, benarkah sebenarnya masih ada perbedaan pendapat diantara ulama mengenai batalnya wudhu sebab bersentuhan dengan lawan jenis? Bagaimana ayat Al-Quran menyinggung hal ini? dan apa yang menjadi penyebab perbedaan pendapat diantara para ulama? Berikut penjelasannya

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6: Hukum Wudhu Perempuan yang Memakai Kuteks

Bersentuhan dengan lawan jenis dalam Al-Quran

Ada dua ayat di dalam Al-Quran yang menyinggung perihal bersentuhan dengan lawan jenis menjadikan seseorang mengalami hadas kecil atau batalnya wudhu. Ayat pertama adalah firman Allah dalam Surat An-Nisa’ ayat 43:

اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ

Atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci) (An-Nisa’ [4]: 43).

Ayat kedua adalah firman Allah dalam Surat Al-Ma’idah ayat 6:

اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ مِّنْهُ ۗ

Atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu (Al-Ma’idah [5]: 6).

Mazhab Syafi’i meyakini bahwa menyentuh lawan jenis hukumnya membatalkan wudhu. Dasar yang dipakai salah satunya adalah ayat di atas. Ayat di atas menyatakan bahwa laki-laki menyentuh perempuan dan tidak menemukan air maka diwajibkan bertayamum. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan bersentuhan tersebut menyebabkan perlunya berwudhu atau bertayamum. Namun apa yang diyakini Mazhab Syafii ini bukanlah kesepakatan para ulama’ (Al-Majmu’/2/23)

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Berwudhu dengan Air Laut?

Imam Ar-Razi di dalam tafsirnya menyatakan, para ahli tafsir berbeda pendapat tentang makna “bersentuhan” di dalam ayat di atas. Setidaknya ada dua pendapat tentang hal itu. Pendapat pertama meyakini bahwa makna bersentuhan tersebut adalah berhubungan intim (Jima’). Pendapat ini diyakini oleh Ibn ‘Abbas, Al-Hasan, Mujahid, Qatadah, dan merupakan pendapat Mazhab Hanafi. Konsekuensi dari penafsiran menurut pendapat ini adalah, bersentuhan dengan lawan jenis selain lewat hubungan intim tidaklah membatalkan wudhu.

Pendapat kedua menyatakan bahwa makna bersentuhan tersebut adalah bertemunya dua kulit, entah itu dengan berhubungan intim atau selainnya. Pendapat ini diyakini oleh Ibn Mas’ud, Ibn ‘Amr, As-Sya’bi, An-Nakha’i, dan merupakan pendapat Mazhab Syafi’i. Imam Ar-Razi selanjutnya menyatakan bahwa pendapat kedua inilah pendapat yang paling unggul. Hal ini berdasar pada perlu memahami kata “bersentuhan” dengan makna hakikatnya terlebih dahulu, sebelum beralih ke makna kiasannya, yaitu berhubungan intim (Mafatihul Ghaib/5/2016).

Berbeda dengan Imam Ar-Razi yang mengunggulkan pendapat bahwa makna bersentuhan adalah pertemuan dua kulit, sehingga menyentuh lawan jenis membatalkan wudhu, Imam Ibn Jarir At-Thabari meyakini bahwa makna yang tepat adalah berhubungan intim. Ibn Jarir mendasarkan pendapatnya pada hadis sahih yang menyatakan, bahwa Nabi mencium sebagian istrinya kemudian menjalankan salat tanpa berwudhu terlebih dahulu (Tafsir Ath-Thabari/8/396).

Ulama yang meyakini bahwa makna bersentuhan adalah berhubungan intim, mendasarkan pendapatnya pada ayat lain yang juga memakai kata bersentuhan sebagai kiasan dari berhubungan intim. Ayat tersebut adalah surah Al-Baqarah ayat 237 tentang pembagian warisan, dan surah Al-Ahzab ayat 49 tentang masa iddah yang wajib dijalankan perempuan (Tafsir Ibn Katsir/2/314).

Meski hanya ada dua pendapat mengenai makna dari “bersentuhan” di dalam Surat An-Nisa’ dan Al-Maidah di atas, tapi kenyataannya di dalam fikih terjadi banyak silang pendapat mengenai kriteria bersentuhan yang membatalkan wudhu. Diantaranya usia perempuan yang disentuh, apakah bersentuhan tersebut dengan syahwat atau tidak, serta bagian tubuh mana yang bersentuhan, dan selainnya. Sehingga penting untuk tidak hanya mempelajari hukum bersentuhan dengan lawan jenis hanya cukup lewat kitab tafsir saja. Namun juga pada syarh hadis serta kitab fikih dalam berbagai mazhab. Wallahu a’lam bishshowab.

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...