Tayamum adalah alternatif bersuci tatkala tidak mendapati, tidak bisa mendekati atau tidak dapat menggunakan air. Banyak umat muslim juga yang meyakini bahwa tayamum adalah praktik bersuci dari hadas dengan menggunakan debu. Pemahaman umum ini tidaklah salah, tapi juga tidaklah sepenuhnya benar. Sebab sebenarnya syarat tayamum ‘hendaknya menggunakan debu’ hanyalah syarat yang diyakini sebagian ulama saja. Ada beberapa ulama lain yang berpendapat bahwa media bertayamum itu tidak hanya debu. Dengan demikian berarti definisi di awal belum selesai, masih bisa dilanjutkan.
Memang benar masih ada perbedaan tentang status debu dalam ‘satu-satunya’ media bertayamum. Perbedaan pendapat tentang apakah hanya debu yang dapat digunakan bertayamum ataukah yang lain juga bisa, bisa ditelisik bermuara pada redaksi “Ash-Sha’id” dalam ayat-ayat tentang tayamum. Ulama’ tidaklah sepakat dalam menafsiri redaksi tersebut dengan hanya “debu”. Berikut penjelasan singkat para pakar tafsir dan fikih.
Baca Juga: Tafsir Ahkam: Tata Cara Tayamum dan Syarat Sahnya
Ash-Shaid: segala yang ada di atas bumi
Salah satu ayat al-Quran yang membahas tentang tayamum yaitu surah An-Nisa’ ayat 43,
وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا
Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci). Usaplah wajah dan tanganmu (dengan debu itu). Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa’ [4]: 43)
Imam Ibn Katsir tatkala mengulas redaksi “فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا” menjelaskan perbedaan pendapat dari empat madzhab fikih, Imam Malik, mazhab Abi Hanifah dan mazhab Syafii. Imam Malik meyakini bahwa Ash-Sha’id bermakna segala sesuatu yang ada di permukaan tanah, sehingga mencakup debu, pasir, kayu, batu dan tumbuh-tumbuhan. Mazhab Abi Hanifah meyakini bahwa Ash-Sha’id adalah benda sejenis debu, yang berarti hanya mencakup debu, pasir, arsenik dan kapur. Sedang Mazhab Syafi’i dan Ibn Hanbal meyakini bahwa Ash-Sha’id hanyalah mencakup debu saja (Tafsir Ibn Katsir/2/318).
Imam Al-Qurthubi menjelaskan, para pakar ahli bahasa diantaranya Imam Al-Khalil, Ibnul Arabi dan Az-Zujaj menyatakan bahwa makna Ash-Sha’id adalah permukaan tanah. Baik terdapat debu padanya, atau tidak. Bahkan Az-Zujaj menyatakan bahwa ia tidak mengetahui perihal perbedaan ahli bahasa tentang pemaknaan ini.
Imam Al-Qurthubi juga menguraikan secara panjang lebar, bahwa dengan mempertimbangkan adanya redaksi Ath-Thayyib setelah Ash-Shaid yang juga masih diperselisihkan maknanya, serta berbagai dasar lain dari Al-Qur’an dan hadis Nabi, para ulama’ kemudian berbeda pendapat mengenai apa yang dimaksud dengan redaksi Ash-Sha’id dalam ayat di atas (Tafsir Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an/5/236).
Baca Juga: Dalil dan Aturan Tayamum, Tafsir Surat An-Nisa Ayat 43
Imam Ar-Razi menjelaskan, Mazhab Syafi’i meyakini bahwa Ash-Sha’id hanyalah debu sebab melihat ayat tayamum dalam Surat Al-Maidah ayat 6 yang menunjukkan agar mengusap wajah dan tangan dengan bagian dari Ash-Sha’id. Hal ini menunjukkan bahwa Ash-Sha’id adalah sesuatu yang bisa dibagi, sehingga tidak mungkin batu yang tidak terdapat debu padanya, dapat dibuat tayamum. Selain itu, makna Ath-Thayyib adalah tanah yang dapat menumbuhkan sesuatu. Sehingga Ash-Sha’id disini tidak lain adalah debu, bukan batu semisal yang tidak dapat menumbuhkan tanaman (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/217).
Imam An-Nawawi; seorang pakar perbandingan mazhab yang juga menganut Mazhab Syafi’i, menyebutkan banyak hadis yang mendukung pendapat yang meyakini bahwa hanyalah debu yang dapat dibuat bertayamum. Beliau juga mengutip pernyataan Imam Al-Azhari dan Qadhi Abu Thayyib, bahwa mayoritas ulama’ meyakini hanya debu yang dapat dibuat bertayamum (Al-Majmu’/2/212).
Dari berbagai keterangan di atas kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa meski banyak Al-Qur’an terjemah menerjemahkan bahwa Ash-Sha’id adalah debu, tapi sebenarnya ulama belum sepakat soal pemaknaan ini, masih dimungkinkan ada makna yang lain. Pemaknaan ini kemudian berpengaruh pada kesimpulan tentang status debu sebagai media bertayamum. Ada beberapa ulama yang meyakini bolehnya bertayamum menggunakan selain debu. Meski begitu, ada pula keterangan bahwa pendapat yang menyatakan tayamum hanya bisa dengan debu adalah pendapat mayoritas ulama’. Wallahu a’lam bish showab.