BerandaTafsir TematikTafsir AhkamTafsir Ahkam: Dalil Buang Air Membatalkan Wudhu dan Perdebatan Ulama Seputarnya

Tafsir Ahkam: Dalil Buang Air Membatalkan Wudhu dan Perdebatan Ulama Seputarnya

Di antara hal yang dapat membatalkan wudhu adalah keluarnya sesuatu dari kemaluan atau dubur. Hal ini disinggung Al-Qur’an dengan redaksi “kembali dari tempat buang air”. Ulama’ kemudian mengambil kesimpulan bahwa apa yang keluar dari kemaluan dan dubur, sebagaimana buang air kecil dan besar, serta buang angin dapat membatalkan wudhu.

Lalu bagaimana bila benda yang keluar dari kemaluan atau dubur adalah benda yang lazimnya tidak keluar atau jarang keluar dari dua tempat tersebut? Misalnya keluar krikil atau darah dari dubur, apakah hal itu lantas membatalkan wudhu? Permasalahan ini memancing perdebatan di kalangan ulama dan ini berkaitan dengan redaksi Al-Qur’an tentang hal yang membatalkan wudhu. Berikut penjelasan ulama’ pakar tafsir dan hukum fikih.

Buang Hajat Membatalkan Wudhu

Ulama’ mengulas hukum batalnya wudhu orang yang buang air besar maupun kecil, merujuk pada firman Allah yang berbuyi:

وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا

Jika kamu sakit, dalam perjalanan, kembali dari tempat buang air (kakus), atau menyentuh perempuan, lalu tidak memperoleh air, bertayamumlah dengan debu yang baik (suci) (QS. Al-Ma’idah [5] :6).

Baca juga: Hikmah Bersuci Dalam Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6

Ibn Katsir tatkala mengulas ayat “kembali dari tempat buang air”, menjelaskan bahwa redaksi Al-Ghaaith atau bila dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi kakus, pada asalnya bermakna tempat yang tenang. Kata ini kemudian dipakai untuk menunjukkan aktivitas yang mengakibatkan hadas kecil (Tafsir Ibn Katsir/2/314).

Sedang Imam Al-Qurthubi menjelaskan, Al-Ghaaith makna aslinya adalah tempat atau bagian yang tersembunyi dari bumi. Dimana tempat ini merupakan tempat yang menjadi tujuan orang Arab tatkala membuang hajat. Tujuannya agar dapat melindungi diri dari pandangan manusia. Pada perkembangan selanjutnya, Al-Ghaaith justru dimakai sebagai lafaz yang bermakna kotoran yang keluar tatkala membuang hajat (Tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an/5/220).

Imam Al-Qurthubi juga menyatakan bahwa ia meyakini bila hal yang keluar dari kemaluan serta dubur, yang dapat membatalkan wudhu, adalah hal-hal yang memang biasanya keluar dari dua jalan tersebut. Kalau bukan hal yang biasanya keluar dari dua jalan tersebut, seperti halnya darah istihadhah, kerikil, atau lain sebagainya, maka tidak membatalkan wudhu. Imam Al-Qurthubi mendasarkan pandangannya pada hadis yang diriwayatkan dari ‘Aisyah yang berbunyi:

قَالَتِ اعْتَكَفَتْ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – امْرَأَةٌ مِنْ أَزْوَاجِهِ ، فَكَانَتْ تَرَى الدَّمَ وَالصُّفْرَةَ ، وَالطَّسْتُ تَحْتَهَا وَهْىَ تُصَلِّى

‘Aisyah berkata: salah seorang istri Rasulullah salallahualaihi wasallam melakukan I’tikaf bersama beliau. Ia sedang istihadhah dan ada sebuah wadah di bawahnya. Bersamaan dengan itu, si perempuan sedang salat (HR. Imam Bukhari).

Imam Ar-Razi menyatakan pendapat yang berbeda. Ia menyamakan segala hal yang keluar dari kemaluan dan dubur, dengan aktivitas membuang hajat yang dimaksud dalam ayat di atas. Entah apakah hal yang keluar tersebut termasuk yang biasanya keluar dari kemaluan dan dubur, atau yang jarang. Oleh karena itu, keluarnya darah istihadhah termasuk membatalkan wudhu. Pendapat ini berdasarkan pada keumuman ayat di atas. Hal yang sama disampaikan oleh Al-Jashshash dalam Ahkamul Qur’an (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/482 dan Ahkamul Qur’an lil Jashshash/5/447).

Baca juga: Tafsir Ahkam: Benarkah Bersentuhan dengan Lawan Jenis itu Membatalkan Wudhu?

Penutup

Imam Al-Mawardi menjelaskan, perkara yang keluar dari kemaluan dan dubur terbagi menjadi dua jenis. Yakni yang memang biasanya keluar dari dua jalan tersebut (mu’tad), serta yang jarang (naadir). Contoh perkara yang biasa keluar adalah kotoran manusia, kencing, kentut, dan darah haid. Sedang contoh yang jarang adalah cairan madzi, wadi, cacing kremi, kerikil, kecing sebab beser, serta darah istihadhah.

Mengenai perkara yang jarang keluar dari kemaluan dan dubur, terkait apakah ia membatalkan wudhu atau tidak, ulama’ berbeda pendapat. Imam Syafi’i dan Abu Hanifah menyatakan membatalkan wudhu. Sedang Imam Malik menyatakan tidak (Al-Hawi Al-Kabir/1/307). Wallahu a’lam bish shawab.

Baca juga: Tafsir Surat Al-Maidah Ayat 6: Hukum Wudhu Perempuan yang Memakai Kuteks

Muhammad Nasif
Muhammad Nasif
Alumnus Pon. Pes. Lirboyo dan Jurusan Tafsir Hadis UIN Sunan Kalijaga tahun 2016. Menulis buku-buku keislaman, terjemah, artikel tentang pesantren dan Islam, serta Cerpen.
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

Literasi sebagai Fondasi Kemajuan Bangsa Perspektif Alquran

0
Dapat kita saksikan di berbagai negara, khususnya Indonesia, pembangunan infrastruktur seringkali diposisikan sebagai prioritas utama. Sementara pembangunan kualitas Sumber Daya Manusia seringkali acuh tak...