Saat suami istri bercerai, kemungkinan akan ada pertimbangan-pertimbangan untuk bersatu kembali. Sebab terkadang, perceraian terjadi karena keduanya sedang marah, emosi, bertindak terburu-buru, dan mengambil keputusan tanpa memikirkan konsekuensinya. Oleh sebab ini, agama mengatur niat baik mereka untuk bisa bersatu kembali yang dalam istilah Islam disebut rujuk. Bagaimana aturan rujuk ini, apa dasar hukum rujuk serta syarat-syaratnya?
Syariat rujuk ini merupakan nikmat yang Allah berikan kepada pasangan suami istri dalam menjalani kehidupan rumah tangga. Namun, tidak semua perpisahan suami-istri itu tersebut bisa rujuk begitu saja, ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan. Allah berfirman:
اَلطَّلَاقُ مَرَّتٰنِ ۖ فَاِمْسَاكٌۢ بِمَعْرُوْفٍ اَوْ تَسْرِيْحٌۢ بِاِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ اَنْ تَأْخُذُوْا مِمَّآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ شَيْـًٔا اِلَّآ اَنْ يَّخَافَآ اَلَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِ ۗ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا يُقِيْمَا حُدُوْدَ اللّٰهِ ۙ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيْمَا افْتَدَتْ بِهٖ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَعْتَدُوْهَا ۚوَمَنْ يَّتَعَدَّ حُدُوْدَ اللّٰهِ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
Arrtinya: “Talak (yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. Al-Baqarah [2]: 229)
Ayat di atas menjadi dasar hukum rujuk serta syarat-syaratnya. Rujuk berasal dari raja’a yang berarti kembali. Secara terminologis, rujuk adalah bersatunya kembali sepasang suami-istri dalam ikatan pernikahan setelah terjadinya talak raj’i. Dikatakan raj’i karena setelah talak tersebut masih diperbolehkan rujuk, yatitu talak satu dan talak dua.
Baca Juga: Pernikahan; Tujuan dan Hukumnya, Tafsir Surat An-Nahl Ayat 72
Dalam tafsir Rawai’ul Bayan dijelaskan bahwa rujuk yang diperbolehkan yaitu apabila terjadi setelah talak satu atau dua. Rujuk merupakan hak suami tanpa harus ada akad yang baru, mahar baru, serta ijin dari istrinya. Saat suami rujuk, sang istri harus dalam masa ‘iddah dari talak raj’i-nya (talak satu atau dua).
Iddah sendiri adalah masa menunggu bagi istri yang ditalak (cerai hidup atau suaminya meninggal) untuk bisa menikah lagi. Namun jika masa ‘iddah seorang perempuan telah selesai, akan tetapi laki-laki tersebut ingin kembali pada istrinya, maka ia harus melakukan akad yang baru sebagaimana pernikahan pada umumnya.
Hak rujuk yang dimiliki oleh seorang suami tidak hanya meniadakan ijin atau pengetahuan sang istri, tetapi juga tidak membutuhkan seorang wali serta persaksian. Walau demikian, kesediaan dan konfirmasi dari sang istri tetap harus diperhatikan, bahkan ada yang bilang disunahkan, karena kawatir istrinya akan mengingkari dan tidak mau mengakui bahwa ia telah kembali dengan suaminya. Kerelaan istri juga bisa menjadi pertimbangan, sebab sebuah pernikahan untuk ketenangan bersama. Jika hal ini diabaikan, sangat mungkin ketenangan yang diharapkan tidak tercapai.
Rujuk yang dikehendaki laki-laki dikatakan sah jika disertai dengan ungkapan secara sharih atau jelas. Misalnya ia berkata, “Aku rujuk (kembali) kepadamu” atau “Engkau sudah dirujuk” atau “aku mengembalikanmu pada pernikahanku.” Kemudian, boleh juga ungkapannya secara kinayah atau sindiran yang disertai dengan niat, contohnya seperti, “Aku menikahimu lagi.”
Baca Juga: Tafsir Ahkam: Macam-Macam Hukum Talak
Menurut mazhab Hanafi dan Maliki, rujuk juga dikatakan sah tidak hanya melalui qaul (ungkapan) tetapi juga melalui fi’il atau perbuatan seperti kontak fisik yang disertai syahwat dan jima’ (berhubungan badan). Namun, as-Syafi’i membantah pendapat madzhab kedua gurunya itu. Menurut as-Syafii rujuk hanya bisa dilakukan dengan ungkapan, bukan dengan perbuatan. Terlebih jima’ atau perbuatan-perbuatan yang mengarah pada hal tersebut. Sebab, talak itu meniadakan pernikahan, sehingga hak-hak seperti jima’ tidak lagi berlaku. As-Syaukani menuturkan bahwa yang dikehendaki oleh ayat di atas adalah rujuk itu sah melalui ucapan maupun perbuatan, tidak ada pengkhususan rujuk harus dengan ucapan.
Syaikh Ibrahim al-Bajuri dalam Hasyiyah al-Bajuri juga menjelaskan tentang hukum rujuk serta aturan-aturannya. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa rujuk yang dilakukan melalui ucapan tidak boleh diikuti dengan ta’liq atau batasan tertentu. Seperti, laki-laki merujuk istrinya dengan tenggang waktu tertentu, atau merujuknya dengan tambahan, “jika kamu mau.” Demikian juga tidak cukup hanya dengan niat tanpa ada ucapan.
Dengan demikian, hukum rujuk ini boleh dengan aturan dan syarat-syarat seperti yang telah dijelaskan di atas. Kebolehan rujuk bagi pasangan suami-istri ini, tidak hanya untuk memperbaiki hubungan keduanya dan mengembalikan keutuhan rumah tangga, namun juga terdapat hikmah di balik itu, seperti mempererat hubungan keluarga dari kedua belah pihak serta menyelamatkan keturunan yang menjadi ladang amal salihnya.
Wallahu A’lam.