BerandaTafsir TematikTafsir Ahkam: Fase-Fase Diharamkannya Khamar, Larangan Salat Ketika Mabuk

Tafsir Ahkam: Fase-Fase Diharamkannya Khamar, Larangan Salat Ketika Mabuk

Setelah menyinggung tentang manfaat dan mudarat khamar secara umum, ayat keharaman khamar berikutnya berbicara tentang mudarat khamar terkait ibadah, khususnya salat. Di surah An-Nisa’ ayat 43 disampaikan tentang larangan salat ketika mabuk. Namun demikian, seperti halnya fase larangan khamar pada surah Al-Baqarah ayat 219, pada fase ini khamar belum langsung diharamkan.

Allah berfirman dalam  al-Qur’an surah An-Nisa’ ayat 43.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَقْرَبُوا الصَّلٰوةَ وَاَنْتُمْ سُكٰرٰى حَتّٰى تَعْلَمُوْا مَا تَقُوْلُوْنَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mendekati salat, sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkan”.

Ayat ini merupakan dalil larangan salat ketika mabuk. Orang Islam tidak dibolehkan salat sehingga mereka menyadari apa yang dibaca dan apa yang dilakukan dalam salat, karena pada waktu keadaan mabuk tidak memungkinkan seseorang untuk beribadah, tidak sadar dengan yang dibaca dan dilakukannya, telebih lagi ia tidak akan khusyuk. Ayat ini belum mengharamkan khamar secara tegas, namun telah memperingatkan orang muslim akan bahaya minum khamar, khususnya tentang salat.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Fase-Fase Diharamkannya Khamar, Manfaat dan Mudarat Khamar

Di balik larangan salat ketika mabuk

Ahmad bin Mustafa Al-Maraghi (w. 1371 H) mengatakan dalam tafsirnya: “yang menjadi khitabnya (sasaran pembicara) adalah orang muslim sebelum mereka mabuk, untuk menjauhinya saat mereka hendak melaksanakan salat supaya mereka berhati-hati dan menghindari mabuk di banyak waktu. Ini merupakan muqodimah diharamkanya mabuk, karena orang yang takut saat datang waktu salat sedangkan ia sedang dalam keadaan mabuk, ia tidak akan mabuk di sepanjang siang hari dan di awal malam untuk memisahkan antara mabuk dan salat lima waktu.

Tidak tersisa waktu mabuk kecuali waktu untuk tidur yakni dari waktu isya sampai waktu sahur akhirnya semakin sedikit waktu mabuk, karena kesempatan hanya di waktu yang pada umumnya digunakan untuk tidur. Sedangkan dari pagi sampai waktu dhuhur adalah waktu kerja bagi umumnya manusia, sehingga mabuk akan terminimalisir kecuali bagi pengangguran dan orang malas. Disebutkan dalam sebuah riwayat bahwa setelah diturunkanya ayat ini orang-orang marak minum khamar setelah isya, sehingga di waktu subuh pengaruh mabuk telah hilang dan mengatahui apa yang diucapkan dan dikerjakan.”

Mengenai sebab turun ayat larangan salat ketika mabuk di atas, Ibnu Katsir dalam tafsirnya menyebutkan,

عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ: صَنَعَ لَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ طَعَامًا، فَدَعَانَا وَسَقَانَا مِنَ الْخَمْرِ، فَأَخَذَتِ الْخَمْرُ مِنَّا، وحضرتِ الصلاةُ فقدَّموا فُلَانًا -قَالَ: فَقَرَأَ: قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، مَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ، وَنَحْنُ نَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ. [قَالَ] فَأَنْزَلَ اللَّهُ تَعَالَى {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ} هَكَذَا رَوَاهُ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَكَذَا رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ عَنْ عَبْدِ  بْنِ حُمَيْدٍ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدَّشْتَكي، بِهِ، وَقَالَ: حَسَنٌ صَحِيحٌ.

“Dari Ali Bin Abi Tholib berkata: Abdurahman Bin Auf membuatkan makanan untuk kami kemudian kami diundang dan kami diberi minuman khamar. Khamar mempengaruhi kesadaran kami, kemudian datanglah waktu mengerjakan salat, mereka mengajukan seseorang (fulan) untuk menjadi Imam. Dan saat membaca surah Al-Kafirun ia membaca

 قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، مَا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ، وَنَحْنُ نَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ

kemudian Allah menurunkan ayat

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ

Riwayat ini diriwayatkan oleh Ibnu abi hatim juga oleh al-Tirmidzi dari Abd Bin Humaid dari Abdurohman ad-Dastaki. At-Tirmidzi menilai hadis ini hasan sahih”

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Selain Haram, Apakah Khamr Itu Najis?

Wahbah Zuhaili menyebutkan dalam tafsirnya sama persis dengan riwayat di atas hanya di sana dijelaskan yang menjadi imam saat itu adalah Abdurrahman din Auf, dan salat yang dikerjakan adalah salat magrib. Kejadian ini terjadi sebelum diharamkannya khamar mengacu pada riwayat Ibnu Jarir dari sahabat Ali ra.

Masih menurut Wahbah Zuhaili, beliau menjelaskan sebab diharamkannya keadaan mabuk dalam salat ialah seseorang tidak akan bisa menghadirkan makna dari bacaan, doa dan dzikir yang ada dalam salat. Ini maksud dari frasa حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ sampai kamu sadar apa yang kamu ucapkanmaksudnya sampai kamu sadar dengan yakin apa yang kamu ucapkan itu tidak salah. Sedangkan orang yang mabuk tidak mengetahui bahkan tidak menyadari apa yang ia katakan.

Imam Al-Qurtubi turut berkomentar dalam tafsirnya,

فَكَانَ مُنَادِي رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أُقِيمَتِ الصَّلَاةُ يُنَادِي: أَلَا لَا يَقْرَبَنَّ الصَّلَاةَ سَكْرَانُ

“pemanggil salat Rasulullah setiap hendak melaksanakan salat hendaknya juga mengumumkan “ingat jangan mendekati salat orang yang masih dalam keadaan mabuk”.

Walhasil, dalam fase ini sekalipun khamar belum dilarang, namun terlihat semangat Al-Quran untuk meminimalisir kesempatan orang-orang minum khamar. Adanya larangan salat ketika mabuk tentunya mempersempit kesempatan mabuk yang awalnya dapat dilakukan kapanpun, setelah itu hanya tersisa waktu antara isya sampai subuh, yang merupakan waktu istirahat, sedang waktu pagi sampai dzuhur merupakan waktu bekerja, ashar hingga isya pun orang-orang masih banyak berkegiatan dan tentunya masih ada waktu salat. Wallahu a’lam bissowab.

Muhamad Hanif Rahman
Muhamad Hanif Rahman
Pengajar di Ponpes Al-Iman Bulus Gebang Purworejo
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU