Tafsir Ahkam: Hukum dan Ketentuan Jumlah Mahar dalam Pernikahan

Tafsir Ahkam: Hukum dan Ketentuan Jumlah Mahar dalam Pernikahan
Hukum dan Ketentuan Jumlah Mahar dalam Pernikahan

Salah satu bahasan yang terkait dengan pernikahan dan tak jarang menjadi ‘momok’ menakutkan bagi anak muda zaman now adalah soal mahar, tak sedikit dari mereka yang berpikir ulang untuk menikah karena terhalang tingginya angka mahar. Nah bagaimanakah ayat Al-Qur’an berbicara terkait hal ini? Apakah ada batasan minimal atau maksimalnya? Mari kita cermati penjelasan dari para ulama berikut.

Definisi dan Terminologi Mahar dalam Al-Qur’an

Sebagaimana disebutkan dalam al-Mu’jam al-Wasith (hlm. 889), secara bahasa kata mahar memiliki beberapa makna, salah satunya berarti sesuatu yang diberikan oleh seorang suami kepada istrinya dalam suatu akad pernikahan.

Kata mahar sendiri dalam Al-Qur’an setidaknya diungkapkan menggunakan dua diksi kata, yakni al-ajr dan al-shadaq sebagaimana terdapat pada ayat-ayat berikut:

Pertama, mahar diungkapkan dengan kata al-ajr seperti terdapat dalam Q.S. Al-Nisa [4]: 25 yang berbunyi,

فَانْكِحُوهُنَّ بِإِذْنِ أَهْلِهِنَّ وَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

Terjemahnya, “...Maka nikahilah mereka dengan seizin keluarganya dan berilah maskawin mereka dengan cara yang baik...”.

Kata al-ujur pada ayat di atas merupakan bentuk jamak dari kata al-ajr, yang dalam ayat ini bermakna mahar.

Kedua, sedangkan mahar yang disebutkan dengan kata shaduqaat yang merupakan bentuk jamak dari shadaaq, disebutkan misalnya pada Q.S. Al-Nisa [4]: 4 yang berbunyi,

وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً…

Terjemahnya:

Dan tunaikanlah kepada wanita-wanita itu maharnya, sebagai pemberian yang penuh kerelaan…”.

Sebagian ulama menyamakan makna tiga kata tersebut. Namun al-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasysyaf menjelaskan bahwa penggunaan kata al-ajr sebagai ganti dari kata mahar adalah karena mahar itu berposisi sebagai penghargaan dan penghormatan kepada pihak perempuan yang sudah berkenan untuk dinikahi.

Selain itu, pengarang kitab al-Fiqh al-Manhajiy ‘ala Mazhab al-Imam al-Syafi’i (4/75) menjelaskan bahwa di antara faedah mengapa mahar disebutkan dengan istilah shadaaq -yang satu akar kata dengan kata shadaqa yang berarti kejujuran- adalah untuk menekankan sejatinya mahar itu adalah tanda keseriusan dan benarnya komitmen pihak laki-laki untuk menikahi perempuan yang dipinangnya itu.

Baca juga: Tafsir Surah An-Nisa Ayat 3: Pesan Utama Al-Qur’an yang Sering Dilupakan

Apakah Wajib Membayar Mahar?

Lalu muncul pertanyaan, apa hukum mahar itu sendiri dan kapan dibayarkan? Apakah saat akad nikah atau sebelumnya? Atau ketika sudah melakukan hubungan suami-istri? Dalam kitab Ahkam al-Qur’an li al-Imam al-Syafi’i yang disusun oleh al-Baihaqi disebutkan bahwa dari semua ayat yang berbicara tentang mahar, ada tiga kemungkinan hukum yang bisa diambil, yaitu:

Pertama, Mahar menjadi wajib hanya jika ditetapkan sendiri oleh pihak laki-laki, baik sudah berhubungan badan ataupun belum. Jika ia tidak menetapkan jumlah maharnya, maka tidak wajib baginya untuk membayar mahar.

Kedua, Mahar itu menjadi wajib bersamaan dengan adanya akad nikah, meskipun jumlah maharnya tidak disebutkan saat akad serta meskipun belum berhubungan badan sama sekali.

Ketiga, Mahar itu pada dasarnya tidak wajib. Ia menjadi wajib dibayarkan jika terjadi pada dua keadaan berikut 1). Mahar telah ditetapkan dan disebutkan ketika akad nikah dan 2). Ketika sudah melakukan hubungan badan -sekalipun belum disebutkan jumlah maharnya saat akad nikah.

Al-Baihaqi kemudian menyebutkan dalam Ahkam al-Qur’an li al-Imam al-Syafi’i (1/196-199) bahwa kemungkinan ketiga inilah yang dipilih oleh al-Syafi’i dan yang didukung oleh dalil-dalil yang ada. Misalnya firman Allah pada Q.S. Al-Baqarah [2]: 236 yang berbunyi,

لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً…

Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kalian, jika kalian menceraikan istri-istri kalian sebelum kalian bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya…”.

Ayat di atas menunjukkan bahwa akad nikah itu tetap sah dilaksanakan meskipun pihak laki-laki belum menetapkan jumlah mahar yang akan diberikan kepada pihak wanita. Serta tidak ada kewajiban untuk membayarkan mahar jika terjadi perceraian sebelum adanya hubungan badan.

Namun jika sebelumnya mahar sudah ditentukan dan terjadi perceraian sebelum hubungan badan, maka diwajibkan untuk membayar setengah dari jumlah mahar tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam Q.S. Al-Baqarah [2]: 237.

وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ…

dan jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum berhubungan dengan mereka, padahal sebelumnya sudah ditentukan maharnya, maka bayarlah setengah dari yang telah kamu tentukan itu…”

Juga didukung oleh ayat lain misalnya dalam Q.S. Al-Nisa [4]: 24 yang bunyinya,

…فَمَا اسْتَمْتَعْتُمْ بِهِ مِنْهُنَّ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً…

…Maka istri-istri yang telah kalian campuri, maka berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban…”. Ayat ini menjelaskan bahwa jika sudah terjadi hubungan badan, maka wajib membayarkan maharnya. Jika mahar belum ditetapkan sebelumnya saat akad nikah, maka jatuhnya adalah membayar mahar mitsil.

Baca juga: Surah An-Nisa Ayat 3, Praktik Poligami Menurut Mufasir Indonesia

Jumlah Mahar yang Wajib Dibayarkan

Para ulama berbeda pendapat mengenai berapa jumlah mahar, sebagaimana direkam oleh al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an (6/211-213). Beberapa pendapat tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama, pendapat yang dipegangi oleh Imam al-Syafi’i dan mayoritas ulama baik salaf maupun khalaf. Mereka berpegang pada keumuman ayat yang berbunyi {أن تبتغوا بأموالكم}, pada ayat tersebut kata amwal yakni harta, disebutkan tanpa ada batasan apapun.

Maka mahar itu sah diberikan berapapun jumlahnya tanpa ada batasan minimal maupun maksimal, selama mahar itu memiliki nilai materi, baik berupa emas, barang, uang ataupun jasa yang umumnya dibayar menggunakan uang seperti mengajarkan Al-Qur’an dan lain-lain. Ini dengan catatan telah tercapai kesepakatan antara kedua belah pihak.

Pendapat ini juga dikuatkan oleh hadis Rasulullah riwayat Muslim dari Sahl bin Sa’d al-Sa’idi yang berbunyi (al-Nawawi, al-Minhaj fi Syarh Shahih Muslim, 885-886),

…انظُر وَلَو خَاتَمًا مِن حَدِيدٍ…

Terjemahnya, “…carikanlah (maharnya) walaupun hanya sebuah cincin dari besi…”.

Dari hadis ini dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada batasan minimal ataupun maksimal terkait mahar, karena cincin dari besi merupakan sesuatu yang hampir tidak ada harganya sama sekali.

Kedua, adalah pendapat yang dipegangi oleh Abu Hanifah dan beberapa pengikutnya. Pendapat ini mengatakan bahwa jumlah minimal mahar itu senilai satu dinar emas atau sepuluh dirham. Hal ini di-qiyas-kan kepada pendapat Abu Hanifah bahwa pencuri itu baru bisa dihukum potong tangan jika harta yang dicurinya lebih dari satu dinar atau sepuluh dirham.

Ketiga, Imam Malik yang pernah menyatakan mahar itu minimal seperempat dinar. Keempat, al-Nakha’i yang menyebutkan bahwa jumlah minimalnya adalah empat puluh dirham. Lalu kelima, dari Sa’id bin Jubair yang mengatakan bahwa minimalnya adalah 50 dirham.

Musthafa al-Bugha dkk dalam kitab al-Fiqh al-Manhajiy (4/78) mencoba memberikan pendapat yang menengahi pendapat-pendapat yang ada. Yakni dianjurkan membayar mahar itu tidak kurang dari sepuluh dirham -supaya keluar dari khilaf, karena Imam Abu Hanifah mewajibkan demikian- dan tidak lebih dari lima ratus dirham karena mahar anak dan istri-istri Rasulullah tidak pernah melebihi angka tersebut. Wallahu A’lam.

Baca juga: Pernikahan; Tujuan dan Hukumnya, Tafsir Surat An-Nahl Ayat 72