BerandaKisah Al QuranHikmah dalam Polemik Rumah Tangga Zayd bin Haritsah dan Zainab binti Jahsyi

Hikmah dalam Polemik Rumah Tangga Zayd bin Haritsah dan Zainab binti Jahsyi

Zayd bin Haritsah adalah salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw. yang istimewa, karena dia adalah satu-satunya sahabat Nabi yang namanya disebut secara eksplisit dalam Alquran. Zayd bin Haritsah awalnya adalah seorang budak, yang kemudian dimerdekakan dan dijadikan anak angkat oleh Nabi. Sedangkan Zainab binti Jahsyi merupakan sepupu Nabi, tepatnya putri dari Umaimah binti Abdul Muthallib, bibi dari Nabi Muhammad.

Singkat kata, dua orang yang sama-sama mulia ini dinikahkan oleh Nabi, meskipun latar belakang keluarga dan strata sosial di antara keduanya sangat berbeda. Namun, rumah tangga mereka hanya bertahan seumur jagung, tidak sampai setahun mereka pun bercerai. Polemik rumah tangga Zayd dan Zainab ini digambarkan dalam Alquran surah Alahzab.

Ayat ini, bila dibaca secara tekstual, memang terkesan memberikan persepsi ‘negatif’ terhadap Nabi Muhammad, karena di dalam ayat inilah Allah memerintahkan Nabi untuk menikahi Zainab binti Jahsyi, yang tidak lain adalah mantan istri dari anak angkatnya sendiri, Zayd bin Haritsah. Ayat inilah, yang kemudian, oleh sebagian mufasir dipahami secara tidak tepat. Ayat ini terdapat dalam surah Alahzab, tepatnya ayat 37:

 وَاِذْ تَقُوْلُ لِلَّذِيْٓ اَنْعَمَ اللّٰهُ عَلَيْهِ وَاَنْعَمْتَ عَلَيْهِ اَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللّٰهَ وَتُخْفِيْ فِيْ نَفْسِكَ مَا اللّٰهُ مُبْدِيْهِ وَتَخْشَى النَّاسَۚ وَاللّٰهُ اَحَقُّ اَنْ تَخْشٰىهُ ۗ فَلَمَّا قَضٰى زَيْدٌ مِّنْهَا وَطَرًاۗ زَوَّجْنٰكَهَا لِكَيْ لَا يَكُوْنَ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ حَرَجٌ فِيْٓ اَزْوَاجِ اَدْعِيَاۤىِٕهِمْ اِذَا قَضَوْا مِنْهُنَّ وَطَرًاۗ وَكَانَ اَمْرُ اللّٰهِ مَفْعُوْلًا

“(Ingatlah) ketika engkau (Nabi Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, “Pertahankan istrimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak untuk engkau takuti. Maka, ketika Zayd telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zaynab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak-anak angkat mereka, apabila mereka telah menyelesaikan keperluan terhadap istri-istrinya. Ketetapan Allah itu pasti terjadi.” (Terjemah Kemenag 2019)

Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam kitab al-Insan al-Kamil, mengatakan bahwa sebagian mufasir telah melakukan ‘kesalahan’ dalam memahami ayat ini, dengan mengatakan bahwa maksud dari ayat ini adalah, “Nabi tertarik dengan Zaynab, dan berharap bisa menikahinya, akan tetapi beliau menyimpan perasaan itu.”

Baca juga: Pernikahan Perspektif Alquran: Bersatu dari Perbedaan

Hal yang lebih disayangkan, ada mufasir yang sampai berkesimpulan bahwa perintah Nabi kepada Zayd untuk mempertahankan Zainab sebagai istrinya adalah hanya bentuk basa-basi (mujamalah) saja.

Jika pemaknaan seperti ini dipertahankan, maka sungguh kita telah terjebak dalam kesalahan yang amat besar, karena berarti kita telah menyematkan sifat-sifat yang tercela kepada Nabi Muhammad. Bagaimana mungkin, sebagai sosok Nabi yang mulia dan agung bisa melakukan hal yang sedemikian hina.

al-Imam al-Qusyairi juga memberikan kritikan terhadap mereka yang memberikan penafsiran secara ‘tidak pantas’ terkait ayat ini. Dia mengatakan bahwa, penafsiran seperti ini merupakan bentuk kesalahan yang fatal, dan muncul dari orang yang tidak memahami sosok Nabi Muhammad sepenuhnya. Bagaimana mungkin Nabi tertarik kepada Zainab tatkala melihatnya, sedangkan Zainab adalah anak perempuan dari bibi Nabi, yang sejak kecil sudah sering berinteraksi dengan Nabi, dan saat itu dia belum memakai hijab?!

Lebih dari itu, Nabi sendirilah yang menikahkan Zayd dengan Zainab. Jika memang benar Nabi menginginkan Zainab dari awal, tentu beliau akan menikahinya, dan Zainab pasti senang. Karena Zainab mau dinikahkan dengan Zayd tidak lain adalah karena mengikuti perintah dari Nabi Muhammad.

Pemahaman Alternatif menurut Sayyid Muhammad Al-Maliki

Pemahaman yang tepat menurut Sayyid Muhammad Al-Maliki adalah, bahwa Allah memang memberikan informasi kepada Nabi Muhammad terkait Zainab, bahwa kelak dia akan menjadi istri Nabi setelah bercerai dengan Zayd. Hal ini tidak lain adalah karena adanya hikmah syariat baru yang secara tersirat telah disebutkan di penghujung ayat.

Fakta sejarah menyatakan bahwa kehidupan rumah tangga antara Zayd dan Zaynab tidaklah harmonis. Zayd sering mencurahkan perasaannya kepada Nabi terkait kondisi rumah tangganya dengan Zaynab yang jauh dari ketenangan dan kebahagiaan.

Faktor yang menjadi penyebabnya adalah adanya beberapa perbedaan yang sulit untuk disatukan. Setiap kali Zayd mengadu kepada Nabi terkait kondisi rumah tangga, Nabi selalu berpesan agar Zayd bersabar dan bertakwa kepada Allah, dalam mempertahankan rumah tangganya. Padahal saat itu, Nabi sudah diberi informasi oleh Allah melalui wahyu, bahwa kelak mereka berdua akan bercerai dan Zaynab menjadi istri Nabi. Namun Nabi tidak memberitahukan hal itu kepada Zayd. Hal ini adalah bentuk kasih sayang dan kehalusan perasaan Nabi Muhammad. Dalam konteks ini, Nabi adalah orang yang paling sempurna dalam menjaga perasaan orang lain, dalam hal ini adalah Zayd.

Baca juga: Belajar dari Kisah Hannah dan Maryam: Dua Sosok Ibu Tunggal Inspiratif

Informasi tentang kepastian bahwa Zaynab akan menjadi istri Nabi setelah bercerai dengan Zayd, juga terdapat dalam riwayat yang bersumber dari al-Zuhri, yang mengatakan bahwa Jibril pernah datang kepada Nabi Muhammad dan memberikan informasi bahwa Allah akan menikahkan Zaynab dengan Nabi. Informasi inilah yang kemudian disembunyikan oleh Nabi dari Zayd (Al-Maliki, al-Insan al-Kamil/95).

Hikmah Pernikahan Nabi Muhammad saw. dengan Zaynab binti Jahsyi

Adapun terkait hikmah pernikahan Nabi dengan Zaynab adalah untuk menganulir tradisi keharaman menikahi mantan istri dari anak adopsi, sebagaimana terjadi pada masa itu, yang menganggap bahwa anak adopsi statusnya sama dengan anak kandung. Pada saat itu, Nabi telah mengadopsi Zayd sebagai anak, sehingga Zayd sampai mengaku sebagai Zayd bin Muhammad. Tradisi ini kemudian dianulir oleh Allah dengan turunnya ayat 40 surah Alahzab, yang berbunyi:

 مَا كَانَ مُحَمَّدٌ اَبَآ اَحَدٍ مِّنْ رِّجَالِكُمْ وَلٰكِنْ رَّسُوْلَ اللّٰهِ وَخَاتَمَ النَّبِيّٖنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا ࣖ ٤٠

“Muhammad itu bukanlah bapak dari seseorang di antara kamu, melainkan dia adalah utusan Allah dan penutup para nabi. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Terjemah Kemenag, 2019)

Pernikahan Nabi dengan Zaynab adalah sebagai bentuk penegasan bahwa status anak adopsi tidaklah sama dengan anak kandung, sehingga mantan istrinya boleh dinikahi. Ketentuan ini merupakan cara Allah untuk menganulir klaim bahwa anak adopsi sebagai anak kandung.

Baca juga: Surah Ar-Rum Ayat 21: Sebenarnya, Apa Makna Pasangan dalam Rumah Tangga?

Jika ada pertanyaan, apa faidah dari pesan Nabi kepada Zayd agar bersabar dan mempertahankan istrinya, walaupun kondisinya saat itu sudah tidak harmonis? Jawabannya adalah, bahwa meskipun Allah sudah memberikan informasi kepada Nabi bahwa kelak Zaynab akan menjadi istrinya, akan tetapi Allah tidak bermaksud agar Nabi menceraikan Zaynab saat itu juga. Hingga pada waktu yang tepat, secara alamiah, sesuai ketetapan Allah, Zayd menceraikan istrinya.

Hikmah lain dibalik kandasnya pernikahan Zayd bin Haritsah dengan Zaynab binti Jahsyi adalah, bahwa Allah memberikan ganti kepada Zayd dengan pasangan yang lebih baik. Zayd bin Haritsah kemudian menikah dengan mantan budak dan pengasuh Rasulullah, yang dikenal dengan sebutan Ummu Aiman. Pernikahan dua orang yang mulia ini kemudian dianugerahi anak yang luar biasa, dan juga salah satu sahabat kesayangan Rasulullah, yaitu Usamah bin Zayd.

Kusroni
Kusroni
Dosen STAI Al Fithrah Surabaya
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...