BerandaTafsir TematikTafsir Ahkam: Hukum, Macam, dan Ketentuan Wasiat

Tafsir Ahkam: Hukum, Macam, dan Ketentuan Wasiat

Harta yang merupakan titipan memiliki batas waktu sebagaimana manusia selaku penerimanya memiliki batasan usia. di dalamnya terdapat hak milik ahli waris yang disebut warisan. Selain itu, ada juga istilah wasiat yang secara khusus memiliki pengertian berupa pesan yang dari seseorang yang merasa ajalnya telah dekat. Berikut ini penjelasan ketentuan wasiat.

Dalam Al-Quran, wasiat dijelaskan melalui firman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 180:

كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ ٱلْمَوْتُ إِن تَرَكَ خَيْرًا ٱلْوَصِيَّةُ لِلْوَٰلِدَيْنِ وَٱلْأَقْرَبِينَ بِٱلْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى ٱلْمُتَّقِينَ

 “Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.”

Baca juga: Tafsir Ahkam: Macam-Macam Pembunuhan dan Pidananya

Bagaimana hukum wasiat menurut Islam?

Ayat tentang kewajiban wasiat di atas telah disepakati penghapusan hukumnya oleh jumhur ulama. Ayat ini dihapus oleh ayat-ayat waris yang dijelaskan dalam surat An-Nisa’ ayat 11-12. Hal ini diperkuat dengan sabda Rasulullah saw yang berbunyi:

اِنَّ اللهَ قَدْ اَعْطَى كُلَّ ذِيْ حَقٍّ حَقَّهُ فَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ. رواه اصحاب السنن وغيرهم عن عمرو بن خارجة

 “Sesungguhnya Allah swt telah memberikan kepada setiap orang haknya masing-masing. Maka, tidak ada wasiat bagi ahli waris.” (HR. Para Imam Sunan dan lainnya dari ‘Amr bin Kharijah)

Kendati demikian, terdapat dua pendapat dari para ulama terkait pemahaman hadis di atas. Pertama, tidak adanya wasiat wajib sebab telah di-nasakh, baik untuk kerabat yang ahli waris atau bukan. Kedua, wasiat dinasakh hanya untuk kerabat ahli waris saja sesuai dengan ayat waris dalam surat an-Nisa’: 11-12. Sedangkan untuk kerabat selain ahli waris, maka hukumnya tetap wajib berlaku sesuai bunyi ayat wasiat di atas.

Bahkan, Ibnu Jarir at-Thabari dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat wasiat tidak di-nasakh dengan ayat waris. Menurutnya, wasiat adalah pemberian dari Allah di luar warisan dan tidak ada pertentangan dengan ayat waris. Sehingga, ahli waris pun bisa mendapatkan bagian dari wasiat orang yang meninggal.

Baca juga: Tafsir Ahkam; Apa Itu Nusyuz Suami? Berikut Penjelasannya

Bisa pula menggunakan kaidah umum-khusus, sehingga ayat wasiat yang bersifat umum ini hukumnya tetap wajib diberikan entah itu kepada ahli waris atau bukan. Sedangkan ayat-ayat waris dikhususkan kepada ahli waris saja. Maka, dengan demikian bisa menguntungkan orang tua yang berstatus kafir. Sebab, ia tidak memiliki hak untuk mendapat warisan dikarenakan keyakinan yang dianutnya. Maka, dengan kaidah ini ia bisa mendapatkan wasiat dengan tujuan yuallifu qulubihima atau meluluhkan hatinya.

Macam wasiat

Terdapat dua Macam wasiat sebagaimana yang dijelaskan az-Zuhaili dalam at-Tafsirul Munir.

  1. Wasiat yang berupa ‘amal yakni melakukan suatu hal. Orang yang berwasiat meminta kerabat tertentu, seperti merawat anak, membayarkan utang, atau memulangkan barang-barang yang dipinjam orang lain.
  2. Wasiat berupa ‘ain yakni barang atau harta benda. Orang yang akan meninggal bisa berwasiat kepada seseorang untuk memiliki harta benda tertentu miliknya setelah ia meninggal nanti.

Baca juga: Tafsir Ahkam: Konsekuensi dan Kafarat Zhihar

Syarat ketentuan wasiat

Melihat pada kategori wasiat yang telah disebutkan sebelumnya, maka ada beberapa hal yang menjadi syarat terlaksananya wasiat.

Pertama, orang yang berwasiat haruslah balig dan berakal sehat. Ia harus memberikan wasiat tanpa adanya paksaan dari orang lain. Jika wasiat berupa ‘ain, maka ia harus menjadi pemilik harta yang akan diwasiatkan. Sedangkan, jika wasiatnya berupa ‘amal, ada ulama yang mensyaratkan agar penerimanya harus Islam dan berakal. hal ini agar penerima dapat melaksanakan amanah wasiat dengan baik.

Kedua, tidak berwasiat dalam hal yang maksiat. Misalnya, berwasiat dengan khamr atau melakukan perbuatan haram dan maksiat. Wasiat semacam ini tidak diperbolehkan, bahkan ulama sepakat agar dibatalkan.

Ketiga, khusus untuk wasiat yang berupa ‘ain, maka kuantitasnya tidak boleh lebih dari sepertiga harta. Ini berdasarkan hadis Nabi saw:

اِنَّ اللهَ اَعْطَاكُمْ ثُلُثَ اَمْوَالِكُمْ عِنْدَ وَفَاتِكُمْ زِيَادَةً لَكُمْ فِي اَعْمَالِكُمْ .رواه الدار قطني عن معاذ بن جبل

“Sesungguhnya Allah telah membolehkan kamu memberikan sepertiga dari hartamu sewaktu dekat dengan kematian untuk menambah kebaikanmu.” (Riwayat ad-Daraqutni dari Mu’azh bin Jabal)

Baca juga: Tafsir Ahkam: Apa yang Harus Dijauhi dari Wanita saat Haid?

Kembali pada ayat di atas, tepatnya pada redaksi khairan yang menjelaskan harta yang ditinggalkan seseorang, terdapat penafsiran berbeda di kalangan ulama. Ibnu ‘Abbas menafsirkannya dengan harta secara mutlak, baik sedikit atau banyak. Namun, ulama lebih sepakat dengan penafsiran dari Sayidah ‘Aisyah bahwa kata khairan berarti harta yang banyak. Sehingga, jika seseorang memiliki harta yang sedikit, maka hendaknya cukup untuk ahli warisnya saja sebab hal itu lebih utama. Hal yang perlu diperhatikan juga, orang yang diberi wasiat bersedia menerimanya. Sebab jika menolak, maka wasiat tersebut batal.

Bagaimanapun jika dilogika, tentunya harta yang ditinggal tidaklah sedikit, sebab wasiat tidak boleh melebihi sepertiga dari keseluruhan harta. Hal demikian juga setelah terlebih dahulu dikurangi keperluan yang sifatnya wajib. Jika harta tersebut banyak, boleh mewasiatkan lebih dari sepertiga dengan syarat mendapatkan kerelaan ahli warisnya.

Allah juga memperingatkan dengan tegas agar wasiat yang telah dibuat tidak mengalami perubahan, kecuali ada kekhawatiran bahwa pemberi wasiat tidak berlaku adil sebagaimana lanjutan ayat 181-182. Wallahu a’lam[]

Lutfiyah
Lutfiyah
Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir Institut Pesantren KH. Abdul Chalim (IKHAC) Mojokerto
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Aksi Demo dalam Tinjauan Alquran

Aksi Demo dalam Tinjauan Alquran

0
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seorang pemimpin tentu memiliki wewenang untuk menentukan kebijakan-kebijakan dalam mengatur rakyatnya. Di samping itu pemimpin juga dituntut untuk memiliki...