Al-Quran, surah At-Taubah ayat 60 telah menjelaskan bahwa hanya delapan golongan saja yang berhak mendapatkan zakat. Namun, ayat ini hanya menyebutkan sifat orang-orangnya saja, tidak menunjuk jenis orangnya, maka kemudian muncul pertanyan, bolehkah memberikan zakat kepada orang tua atau kerabat dekat? dan lebih utama mana memberi zakat kepada kerabat dekat atau ke orang lain yang tidak dikenal? Berikut penjelasan tafsir Al-Quran surah At-Taubah ayat 60.
اِنَّمَا الصَّدَقٰتُ لِلْفُقَرَاۤءِ وَالْمَسٰكِيْنِ وَالْعٰمِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوْبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغٰرِمِيْنَ وَفِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَابْنِ السَّبِيْلِۗ فَرِيْضَةً مِّنَ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
Artinya: “Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, para amil zakat, orang-orang yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) para hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan (yang memerlukan pertolongan), sebagai kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana”.
Baca Juga: Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 43: Dalil Kewajiban Zakat
Hukum zakat kepada orang tua atau kerabat
Imam Syamsuddin Al-Qurtubi (w. 671 H) menjelaskan dalam tafsirnya juz 7 halaman 191. “ketahuilah sesungguhnya firman Allah (لِلْفُقَراءِ) kalimatnya berbentuk mutlak tidak ada persyaratan, tidak pula membatasi. Ini menjadi dalil kebolehan memberikan zakat kepada orang fakir dari Bani Hasyim atau selainnya. Namun, Hadis Nabi memberikan pertimbangan beberapa syarat diantaranya: mereka bukan dari Bani Hasyim, bukan orang yang wajib dinafkahi oleh yang berzakat dan yang terakhir mereka bukan orang kuat yang mampu bekerja”.
Masih menurut al-Qurtubi beliau berkata dengan lebih jelas,
وَلَا يَجُوزُ أَنْ يُعْطِيَ مِنَ الزَّكَاةِ مِنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ وَهُمُ الْوَالِدَانِ وَالْوَلَدُ وَالزَّوْجَةُ
Artinya: “Tidak diperbolehkan memberikan zakat kepada orang yang wajib diberi nafkah. Mereka adalah kedua orang tua, anak dan istri”.
Keterangan di atas memberikan jawaban bahwa memberikan zakat kepada orang tua, anak dan istri itu tidak diperbolehkan. Alasan ketidak bolehannya karena melihat tujuan diberikanya zakat adalah sebagai bentuk pemenuhan kebutuhan mereka, sementara kebutuhan mereka telah terpenuhi oleh yang berzakat (muzaki).
Hal ini sama saja dengan ia (muzaki) mengambil manfaat untuk dirinya sendiri. Sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsirnya
رَأَى الْفُقهاءُ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ دَفْعَ الزَّكاةِ إلىَ مَنْ تَلْزَمُ الْمُزَكِّي نَفَقَتَهُ مِنَ الْأقَارِبِ (وَهُمْ الأُصولُ والْفُرُوع) وَالزَّوْجَاتِ لِأنَّ الزَّكَاةَ لِدَفْعِ الْحَاجَةِ، وَلَا حَاجَةَ بِهِمْ مَعَ وُجُودِ النَّفَقَةِ لَهُمْ وَلِأنه بِالدَّفْعِ إِلَيْهِمْ يَجْلِبُ لِنَفْسِه نَفْعًا
Artinya: ”fuqoha’ berpendapat, sesungguhnya tidak diperbolehkan menyerahkan zakat kepada orang yang wajib diberi nafakah oleh pemberi zakat. Mereka adalah kerabat; orang tua, anak dan istri, karena zakat untuk memenuhi kebutuhan, sementara kebutuhan mereka telah terpenuhi oleh yang berzakat. Dengan memberikan kepada merak(kerabat) sama saja dengan ia (muzaki) mengambil manfaat untuk dirinya sendiri”. (Syekh Wahbah Az-Zuhaili, Tafsir Munir, juz 10, halaman 264.)
Baca Juga: Tafsir Surah Ali Imran Ayat 92: Anjuran untuk Wakaf
Dalam literatur fikih semisal Hasyiyah Bujairimi Ala Al-Khotib juz 2 halaman 367, Syekh Bujairimi menjelaskan, muzaki tidak diperbolehkan memberikan zakat kepada mereka orang-orang yang wajib ia (muzaki) nafkahi atas nama bagian orang fakir atau miskin, sebab mereka sudah tercukupi oleh muzaki. Muzaki diperbolehkan memberikan zakat kepada mereka (kerabat) dengan atas nama lain selain atas nama fakir dan miskin, jika memang mereka termasuk dari golongan itu. Namun, di sini tetap wanita tidak diperbolehkan sebagai amil zakat, tidak pula ikut berperang (ghoziah).
Fakir yang dimaksud di sini yaitu orang yang tidak mempunyai harta atau mata pencaharian yang layak yang bisa mencukupi kebutuhan-kebutuhannya baik sandang, papan dan pangan. Sedang miskin adalah orang yang mempunyaai harta atau mata pencaharian tetapi tetap tidak dapat mencukupi kebutuhannya. Di sini ada catatan bahwa pengangguran yang mampu bekerja dan ada lowongan pekerjaan halal yang dan layak tetapi tidak mau bekerja karena malas, bukan termasuk fakir/miskin
Dari penjelasan di atas menjadi jelas dan dapat disimpulkan bahwa tidak diperbolehkan memberikan zakat kepada orang tua dan siapapun yang menjadi tanggung jawab muzaki untuk diberi nafkah (anak dan istri).
Siapa yang lebih diutamakan, kerabat dekat atau orang lain?
Kerabat dekat di sini yaitu selain orang-orang yang wajib dinafkahi (orang tua, anak dan istri), misal saudara kandung, seayah, seibu dan seterusnya. Memberi zakat terhadap mereka dibolehkan, bahkan lebih diutamakan, asal mereka termasuk dalam kategori mustahiq (orang yang berhak menerima) zakat. Kerabat yang paling diutamakan ialah yang masih mahrom (haram dinikahi) sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam Majmu’ Syarh Muhadzab juz 6 halaman 220,
قَالَ أَصْحَابُنَا يُسْتَحَبُّ فِي صَدَقَةِ التَّطَوُّعِ وَفِي الزَّكَاةِ وَالْكَفَّارَةِ صَرْفُهَا إلَى الْأَقَارِبِ إذا كانو بِصِفَةِ الِاسْتِحْقَاقِ وَهُمْ أَفْضَلُ مِنْ الْأَجَانِبِ قَالَ أَصْحَابُنَا وَالْأَفْضَلُ أَنْ يَبْدَأَ بِذِي الرَّحِمِ الْمَحْرَمِ كَالْإِخْوَةِ وَالْأَخَوَاتِ وَالْأَعْمَامِ وَالْعَمَّاتِ وَالْأَخْوَالِ وَالْخَالَاتِ وَيُقَدِّمُ الْأَقْرَبَ فَالْأَقْرَبَ
Artinya: “Ashabu Syafi’i (Ulama-ulama Madzhab Syafi’i) berkata: disunahkan dalam sedekah sunah, zakat, dan kifarat untuk diserahkan kepada kerabat, jika mereka termasuk yang berhak menerima. Mereka lebih diutamakan dibandingkan orang lain. Yang paling utama ialah saudara kandung dan mahromnya seperti saudara laki-laki kandung, saudara perempuan kandung, saudara laki-laki ayah, saudara perempuan ayah, saudara laki-laki ibu dan saudara perempuan ibu. Didahulukan saudara yang paling dekat dan seterusnya”. (An-Nawawi, Majmu’ Syarh Muhadzab, juz 6, halaman 220.)
Demikian penjelasan terkait zakat. Sejatinya zakat ataupun sadaqah sunnah lainnya bertujuan untuk berbagi dengan orang lain yang bukan tanggungan wajib seorang tersebut. Islam sudah mengaturnya dengan sangat rapi. Wallahu A’lam