Seseorang yang melaksanakan ibadah puasa sunnah kemudian membatalkannya karena suatu sebab sebelum waktu berbuka, maka hukum mengqadha puasa sunnah tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, menurut golongan Hanafiyah, wajib mengqadha puasa sunnah tersebut karena terdapat perintah untuk menyempurnakannya. (as-Shawkani, Fath al-Qadir, II: 85) Dalilnya adalah sebagai berikut:
- Firman Allah surah Al-Baqarah ayat 187: ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ, “sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”. Ulama Hanafiyah berkata bahwa ayat ini bersifat umum tentang puasa apa saja, maka setiap puasa diperintahkan harus disempurnakan. (Muhammad ‘Ali as-Shabuni, Rawai’ al-Bayan, I: 165)
- Firman Allah surah Muhammad ayat 33: وَلَا تُبْطِلُوا أَعْمَالَكُمْ, “dan janganlah engkau membatalkan amal-amalmu.” Puasa sunnah merupakan amal, jika dibatalkan berarti meninggalkan kewajiban dan tanggungan tersebut tidak dapat bebas kecuali dengan mengulanginya kembali (mengqadha’). (Muhammad ‘Ali as-Shabuni, Rawai’ al-Bayan, I: 165)
- Hadis yang diriwayatkan Sayyidah ‘Aisyah R.A, beliau berkata:
أَصْبَحَتُ اَنا وَحَفْصَةَ صَائِمَتَيْنِ مُتَطَوِّعَتَيْنِ فَأُهْدِيَ اِلَيْناَ فَاَعْجَبَناَ فَأَفْطَرْنَا فَلَمَّا جَاءَ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَدَرَتْنِي، حَفْصَةُ فَسَئَلَتْهُ وَهِيَ اِبْنَةُ اَبِيْهاَ فَقَالَ عليه السلام: صَوْماً يَوْمًا مَكَانَهُ
“Aku dan Hafshah pernah berpuasa sunnah, tiba-tiba dikirimkan kepada kami hadiah makanan, kamipun menginginkannya, dan kamipun berbuka. Setelah Nabi SAW datang, Hafshah cepat-cepat (menemui) aku, lalu ia bertanya kepada Nabi, Nabipun menjawab: “Berpuasalah di hari lain sebagai gantinya.” (al-Jashash: Ahkam al-Qur’an, I: 278).
Baca Juga: Hikmah Puasa Dalam Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 183
Kedua, golongan Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat tidak wajib mengqadha puasa sunnah yang batal, karena orang yang mengerjakan ibadah sunnah itu menjadi penguasa atas dirinya.
Menurut kelompok ini, siapapun yang memulai ibadah sunnah selain haji dan umrah, maka dia tidak harus menyelesaikannya. Dia boleh menghentikannya di tengah jalan, tanpa disertai kewajiban untuk mengqadha’nya. Namun tetap dianjurkan untuk mengerjakan ibadah meskipun sunnah sampai selesai, sebab itu terhitung penyempurnaan ibadah yang diperintahkan syariat.
Bila memutuskan puasa itu karena adanya udzur, maka ini tidak makruh bahkan dianjurkan dalam beberapa kondisi, semisal menemani makan tamu yang berkunjung. Sedangkan bila tanpa udzur hukumnya makruh. (as-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, I: 437). Dalil dari golongan ini adalah sebagai berikut:
- Firman Allah QS. At-Taubah ayat 91: مَا عَلَى الۡمُحۡسِنِيۡنَ مِنۡ سَبِيۡلٍ,”Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik.” Orang yang mengerjakan puasa adalah orang yang berbuat baik, maka tidak ada dosa baginya jika ia membatalkan puasanya tersebut.
- Hadis Nabi yang berbunyi:
اَلصَّائِمُ المُتَطَوِّعُ أَمِيرُ نَفْسِهِ، إِنْ شَاءَ صَامَ، وَإِنْ شَاءَ أَفْطَرَ
”Orang yang berpuasa sunnah itu merupakan penguasa bagi dirinya, jika ia mau (meneruskan) berpuasa, jika ia tidak mau maka boleh berbuka.” Karena puasa sunnah sendiri hukumnya adalah sunnah (tidak wajib), tentu mengqadha’nya juga tidak wajib, sehingga perintah di situ bersifat anjuran.
3. Dari Ummu Hani A, pada saat terbukanya kota Makkah Rasulullah menawari minuman kepada Ummu Hani’. Kemudian Ummu Hani berkata “saya sedang berpuasa sunnah, Rasulullah bersabda, “Ibadah sunnah adalah anjuran yang datang dari diri sendiri, jika niat untuk melakukannya, maka berpuasalah. Akan tetapi jika ingin berbuka, maka berbukalah.” (HR. Ahmad dan Daruquthni)
Baca Juga: Puasa Asyura: Bentuk Rasa Syukur atas Nikmat Allah
Ketiga, golongan Malikiyah berpendapat jika ia sengaja membatalkannya, maka wajib mengqadha puasa sunnah tersebut, dan jika karena ada sebab yang membatalkan puasa, maka tidak wajib mengqadha’nya.
Imam Malik berkata, “Tidak selayaknya orang yang berpuasa sunnah membatalkan puasanya kecuali dalam kondisi darurat. Aku pernah mendengar berita bahwa Ibn Umar pernah berkata: Barangsiapa yang membatalkan puasa meskipun sunnah di luar kondisi darurat, maka itulah orang yang termasuk kelompok manusia yang mempermainkan agamanya.” (Wahbah az-Zuhayli, Fiqh al-Islam wa Adillatuh, III: 31).