Dalam Al-Quran, redaksi yang digunakan untuk menginformasikan kondisi atau sebab diperbolehkan tayamum yaitu sakit, bepergian dan penyebab batal wudlu lainnya, seperti buang air besar atau menyentuh lawan jenis yang tidak menemukan air.
Para pakar tafsir meyakini bahwa keadaan sakit adalah penyebab tersendiri pada bolehnya tayamum. Dalam arti orang yang sakit meskipun menemukan air untuk berwudhu, ia tetap diperbolehkan tayamum. Lalu bagaimana sebenarnya para ahli tafsir memahami ayat penyebab bolehnya tayamum, sehingga dapat mengambil kesimpulan “ketiadaan air” bukan syarat mutlak bolehnya tayamum? Berikut penjelasan singkat para pakar tafsir dan fikih,
Baca Juga: Tafsir Ahkam: Kewajiban Berusaha Mencari Air Sebelum Tayamum
Sakit Adalah Sebab Diperbolehkan Tayamum
Allah berfirman:
وَاِنْ كُنْتُمْ مَّرْضٰٓى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَاۤءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَاۤىِٕطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَاۤءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَاۤءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَيْدِيْكُمْ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُوْرًا
Jika kamu sakit, sedang dalam perjalanan, salah seorang di antara kamu kembali dari tempat buang air, atau kamu telah menyentuh perempuan, sedangkan kamu tidak mendapati air, maka bertayamumlah kamu dengan debu yang baik (suci). Usaplah wajah dan tanganmu (dengan debu itu). Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (QS. An-Nisa’ [4] :43)
Imam Ibn Katsir tatkala menguraikan tafsir ayat di atas, tanpa menyinggung perihal sakit serta kaitannya dengan syarat tidak menemukan air, menjelaskan bahwa kriteria sakit yang membuat diperbolehkannya tayamum adalah sakit yang menyebabkan hilangnya anggota tubuh, memunculkan cacat atau membuat sembuhnya menjadi semakin lama. Bahkan ada yang menyatakan bahwa sekedar sakit saja tanpa kriteria tertentu sudah dapat dikatakan menjadi sebab tayamum.
Ibn Katsir kemudian mengutip riwayat dari Imam Mujahid bahwa ayat tentang tayamum turun berkaitan dengan salah sahabat anshar yang sakit, sahabat itu tidak bisa berdiri dan berwudhu dan ia juga tidak memiliki pembantu yang dapat mengambilkannya air. Sahabat tersebut melapor pada Nabi, lalu turunlah ayat tentang tayamum (Tafsir Ibn Katsir/2/313).
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa sudah menjadi pengetahuan umum di antara para ulama’, bahwa tidak menemukan air bukan syarat mutlak bolehnya tayamum. Meski begitu, banyak penjelasan dalam kitab tafsir, yang menepis anggapan bahwa tidak menemukan air tetap menjadi syarat mutlak bolehnya tayamum. Beberapa di antaranya diungkapkan oleh Imam Ar-Razi dan Al-Qurthubi.
Baca Juga: Tafsir Ahkam: Tata Cara Tayamum dan Syarat Sahnya
Imam Ar-Razi menjelaskan, 4 kriteria keadaan yang dijelaskan dalam ayat di atas, dapat dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama yaitu penyebab diperbolehkannya tayamum; yaitu sakit serta dalam perjalanan (musafir). Kelompok kedua yaitu yang mewajibkan bersuci tatkala ditemukan air; yaitu sehabis buang air besar serta menyentuh lawan jenis atau berhubungan seksual menurut sebagian pendapat. Dari penjelasan ini dapat diambil kesimpulan bahwa ke-4 kriteria keadaan di atas tidaklah senantiasa berkaitan pada “ketiadaan air”, dan bukan pula secara keseluruhan menjadi sebab-sebab diperbolehkan tayamum.
Imam Ar-Razi juga menyinggung pendapat Imam Hasan Al-Basri dan Ibn Abbas yang menyatakan bahwa ketiadaan air adalah syarat mutlak bertayamum. Namun mayoritas ahli fikih tidak sependapat, sebab hadis Nabi menyatakan sebaliknya. Sakit menjadi sebab tersendiri diperbolehkannya tayamum, sehingga tidak perlu menunggu ketiadaan air (Tafsir Mafatihul Ghaib/5/215).
Imam Al-Qurthubi memahami redaksi “tidak menemukan air” tidaklah terbatas pada tidak ada wujudnya air, tapi juga tidak menemukan kesempatan menggunakan air sebab sakit atau ada yang menghalanginya dalam menggunakan air, sehingga mencakup orang sakit yang tidak boleh terkena air, dan juga musafir yang apabila masih harus mencari air untuk wudhu ia akan ketinggalan rombongan atau ada perampok yang mengintai (Tafsir Al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an/5/228).
Sedang Imam Al-Jashshash menerangkan, ketiadaan air hanyalah syarat yang berlaku pada musafir saja. Sedang pada orang yang sakit, ia tidak berlaku. Sebab bila orang yang sakit juga disyaratkan tidak menemukan air, tidak ada gunanya menyebutkan kreteria sakit. Sebab pada hakikatnya semua bergantung pada ketiadaan air (Ahkamul Qur’an/5/389).
Dari berbagai penjelasan di atas kita dapat mengambil kesimpulan, perlulah kehati-hatian dalam memahami berbagai redaksi Al-Qur’an; diantaranya ayat tentang penyebab diperbolehkannya tayamum. Contoh di atas menunjukkan bahwa redaksi Al-Quran tidak dapat langsung dipahami begitu saja, tanpa bantuan tafsir. Selain itu, sakit juga menjadi penyebab tersendiri pada diperbolehkannya tayamum. Sehingga redaksi “lalu kamu tidak menemukan air” terkait bolehnya tayamum, tidaklah boleh dipahami secara kaku. Wallahu a’lam bish showab.