BerandaTafsir TematikTafsir Ahkam: Syarat Wajib Haji dan Beberapa Ketentuannya

Tafsir Ahkam: Syarat Wajib Haji dan Beberapa Ketentuannya

Haji memang bagian dari rukun Islam yang lima, ini tidak bisa kita ingkari. Seperti rukun Islam yang lainnya, hukum wajib bagi ibadah ini juga melihat kondisi orangnya, sang pelaksana ibadah. Ada beberapa ketentuan atau syarat yang harus terpenuhi bagi mereka, sehingga mereka ditaklif (diberi kewajiban untuk melaksanakannya). Apa saja syarat dan ketentuan itu? Berikut syarat wajib haji.

Rukun Islam yang terakhir adalah haji ke Baitullah. Haji merupakan perjalanan menuju Baitullah untuk melakukan serangkaian ibadah yang telah ditentukan yang pelaksanaannya terjadi hanya pada musim haji yakni bulan Dzulhijjah. Haji berbeda dengan umrah dalam waktu pelaksanaannya, sebab umrah boleh dilakukan di luar bulan tersebut. Juga, dalam umrah tidak ada wukuf di Arafah.

Ketetapan haji sebagai rukun Islam tertuang dalam Al-Quran yang berbunyi:

اِنَّ اَوَّلَ بَيْتٍ وُّضِعَ لِلنَّاسِ لَلَّذِيْ بِبَكَّةَ مُبٰرَكًا وَّهُدًى لِّلْعٰلَمِيْنَۚ

Artinya: “Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadah) manusia ialah baitullah yang di Bakkah (Makkah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (diantaranya) maqam Ibrahim; narangsiapa memasukinya (baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.” (QS. Ali Imran: 96)

Makkah dalam ayat di atas disebut dengan Bakkah, dengan mengganti huruf mim menjadi ba’ seperti halnya lazim menjadi lazib. Dalam kamus Lisanul ‘Arab milik Ibnu Manzhur dijelaskan bahwa Makkah dan Bakkah memiliki perbedaan. Makkah adalah nama untuk keseluruhan kota, sedangkan Bakkah adalah nama tempat dimana Ka’bah didirikan. Sehingga Bakkah lebih berkonotasi spiritual ketimbang nama Makkah, namun keduanya disatukan oleh Ka’bah.

Ibnu ‘Asyur dalam tafsirnya at-Tahrir wat Tanwir mengatakan bahwa Bakkah diambil oleh Nabi Ibrahim dari bahasa kaumnya Kaldan di Ur Kaldan (Orkelda), negeri Babilonia (sekarang Iraq). Bakkah dijadikan nama untuk lokasi tempat tinggal anaknya yang ditujukan agar kelak menjadi suatu negeri.

Baca Juga: Tafsir Surat al-Ma’un ayat 4-7 : Celakalah Mereka yang Lalai dari Sholat

Tempat yang diberkahi

Bakkah atau Makkah disifati oleh Allah sebagai tempat yang diberkahi (mubarakan). Hal ini tentunya bukan tanpa alasan. Tanah haram seperti yang kita lihat sampai saat ini terus menjadi tempat impian umat Islam untuk menyempurnakan rukun agamanya. Beribadah di sana menghasilkan pahala berkali lipat, sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw:

صَلَاةٌ فِي مَسْجِدِيْ هَذَا اَفْضَلُ مِنْ اَلْفِ صَلَاةٍ فِيْمَا سِوَاهُ مِنَ الْمَسَاجِدِ اِلَّا الْمَسْجِدَ الْحَرَامَ (رواه البخاري ومسلم

Artinya: “Shalat di masjidku ini (masjid Nabawi) lebih utama daripada seribu shalat di masjid-masjid yang lain, kecuali masjidil haram.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Tidak hanya itu, Makkah menjadi tempat yang Allah limpahi kekayaan hasil bumi yang dapat dirasakan manfaat dan keberkahannya oleh penduduk sekitar. Menjadikannya tempat yang makmur dan sejahtera dalam segi perekonomian.

Baca Juga: Tafsir Ahkam: Bolehkah Non-Muslim Masuk ke Masjidil Haram?

Syarat wajib haji

Sebelum menunaikan ibadah haji, setidaknya ada lima hal yang harus dipenuhi umat Islam terlebih dahulu. Sebab haji memiliki ketentuan khusus sebagaimana yang tertera pada ayat di atas. Apa saja syaratnya?

Pertama, Islam. Seseorang harus beragama Islam terlebih dahulu untuk bisa menunaikan haji. Pasalnya ibadah haji merupakan ibadah yang hanya disyariatkan kepada umat Islam, serta yang diperbolehkan menginjakkan kaki di tanah haram tersebut hanya seorang muslim.

Kedua, berakal sehat. Dalam banyak literatur fiqih dijelaskan bahwa yang dikecualikan dari orang yang berakal sehat adalah orang gila dan hilang ingatan. Orang-orang seperti ini tercegah untuk melaksanakan syariat sebab tidak memiliki kesadaran terhadap perbuatannya.

Ketiga, baligh. Tanda baligh bagi laki-laki adalah ihtilam atau mimpi basah, sedangkan bagi perempuan adalah dengan menstruasi.

Keempat, mampu. Pada ayat di atas bahwasanya haji dikhusukan bagi man istatha’a ilaihi sabila yakni orang-orang yang mampu untuk menunaikannya. Istitha’ah (kemampuan) di sini oleh jumhur ulama diartikan dengan mampu dalam hal bekal dan kendaraan.

Baca Juga: Baca Ayat Ini Untuk Mencegah dan Menyembuhkan Penyakit Stroke

Namun, Ibnu Jarir at-Thabari mencantumkan pemdapat Ibnu ‘Abbas perihal makna mampu dengan tidak hanya berarti mampu dalam segi finansial berupa bekal dan kendaraan, tetapi juga memiliki kemampuan dalam segi fisik yang ditandai dengan tubuh sehat. Maka, orang tua yang kesulitan berjalan atau orang-orang yang memiliki penyakit mengkhawatirkan tidak diwajibkan untuk berhaji, juga tidak dilarang.

Adapun kemampuan dalam segi finansial diukur dengan kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan dasarnya dan orang lain yang menjadi tanggung jawabnya. Orang yang masih terlilit hutang tidak diwajibkan untuk berhaji sebab pada dasarnya ia belum mampu mencukupi kebutuhannya.

Kelima, keberadaan mahram khusus bagi perempuan. Syarat wajib haji khusus ini termasuk yang dikemukakan oleh mazhab Hanafiyah dengan menganalogikannya pada larangan perempuan yang bepergian selama lebih dari tiga hari tanpa disertai mahram. Sedangkan mazhab Syafi’i dan Hanbali tidak mewajibkannya selama perempuan tersebut dijamin keamanannya, seperti berangkat haji bersama banyak perempuan lain atau ada yang mengetuai dan bertanggung jawab atas rombongan haji.

Syarat-syarat yang telah ditetapkan syariat di atas merupakan hal-hal yang harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Ibadah haji dilaksanakan untuk menyempurnakan rukun agama, yang ditekankan bagi orang-orang dengan kriteria di atas. Bukan dalam ajang berlomba-lomba mendapat gelar Haji sementara ada orang atau hal lain yang lebih wajib diutamakan justru diabaikannya.

Wallahu A’lam.

Lutfiyah
Lutfiyah
Mahasiswa Ilmu al-Qur'an dan Tafsir Institut Pesantren KH. Abdul Chalim (IKHAC) Mojokerto
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Belajar parenting dari dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

Belajar ‘Parenting’ dari Dialog Nabi Yakub dan Nabi Yusuf

0
Dalam hal parenting, Islam mengajarkan bahwa perhatian orang tua kepada anak bukan hanya tentang memberi materi, akan tetapi, juga pendidikan mental dan spiritual yang...