BerandaTafsir TematikTafsir Al-Mukminun Ayat 12-14: Menjadi Insan Kamil Perspektif Murtadha Muthahhari

Tafsir Al-Mukminun Ayat 12-14: Menjadi Insan Kamil Perspektif Murtadha Muthahhari

Insan kamil adalah julukan yang diberikan kepada manusia yang telah mencapai taraf kesempurnaan. Tentu, kesempurnaan yang dicapai manusia hanya terbatas pada derajat seorang makhluk dan ‘abid. Seorang yang telah berada pada tingkat insan kamil, ia masih memiliki sifat-sifat basyariyah. Namun secara akhlak, ia tersirami oleh cahaya Ilahi, dan secara penciptaan ia mendapat cipratan dari tajalli Tuhan.

Dalam perhelatan intelektual muslim, istilah insan kamil pertama kali dipopulerkan oleh Ibn Arabi dalam karyanya Fushushul Hikam pada abad ke 7 Hijriyah. Di era modern, term insan kamil Ibnu Arabi ini turut disemarakkan oleh ulama sekaligus cendekiawan muslim kontemporer asal Iran, Murtadha Muthahhari. Buku yang berjudul Manusia Sempurna terjemahan dari karya Muthahhari yang berbahasa Persia “Insone Komil” membahas diskursus ini secara spesifik dan eksplisit. Landasan atas konsepnya tersebut ia letakkan pada surah Al-Mukminun ayat 12-14. Rangkaian surah tersebut kemudian ia tafsirkan sebagai suatu penjelasan utuh tentang konsep insan kamil dan bagaimana manusia dapat mencapai kesempurnaanya tersebut.

Baca juga: Anjuran Menolak Kejahatan dengan Cara Terbaik dalam Surah Fussilat Ayat 34

Tafsir Al-Mukminun ayat 12-14 menurut Murtadha Muthahhari

Secara general, konteks surah Al-Mukminun ayat 12-14 membahas penciptaan manusia. Rangkaian ayat tersebut kemudian dijadikan Murtadha Muthahhari sebagai landasan dari konsep “insane kamil” perspektifnya. Adapun bunyi ayat tersebut adalah sebagai berikut:

وَلَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ مِن سُلَٰلَةٍ مِّن طِينٍ . ثُمَّ جَعَلْنَٰهُ نُطْفَةً فِى قَرَارٍ مَّكِينٍ . ثُمَّ خَلَقْنَا ٱلنُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا ٱلْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا ٱلْمُضْغَةَ عِظَٰمًا فَكَسَوْنَا ٱلْعِظَٰمَ لَحْمًا ثُمَّ أَنشَأْنَٰهُ خَلْقًا ءَاخَرَ ۚ فَتَبَارَكَ ٱللَّهُ أَحْسَنُ ٱلْخَٰلِقِينَ

Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. (QS. al-Mukminun ayat 12-14)

Ayat ini dipahami Muthahhari sebagai keterangan bahwa manusia diciptakan dengan segala sesuatu yang bersifat material. Ini pula yang akhirnya menjadi pandangan Muthahhari bahwa setiap manusia yang lahir ke dunia masih dalam keadaan belum sempurna secara maknawi. Muthahhari juga mengutip pernyataan Shadr al-Din al-Muta’allihin al-Syirazi yang dasarnya juga dari ayat tersebut “jusmaniyyat al-hudust wa ruhaniyat” (jiwa dalam kefanaannya sebagai jasmani dan keabadiannya sebagai ruhani).

Baca juga: Perintah dan Keutamaan Membantu yang Lemah dalam Al-Quran dan Hadis

Pandangan Muthahhari tentang ketidaksempurnaan manusia ketika lahir ia jelaskan dengan pertama-tama menyoal perihal ruh. Masih dengan dasar ayat tersebut, ruh menurut Muthahhari, meskipun ia mujarrad (tidak bernama dan tidak bersifat) tapi pada hakikatnya ia tetap berasal dari materi. Muthahhari berpendapat bahwa ruh manusia belumlah bersifat sempurna dan ketika masuk ke alam lain seperti alam dunia, ia masih harus berinang pada sesuatu. Sesuatu tersebut adalah dunia dengan alam materinya.

Menjadi Insan Kamil Perspektif Murtadha Muthhhari

Sebagaimana melandaskan konsep awalnya pada surah Al-Mukminun ayat 12-14, Muthahhari mulai menjelaskan persolan materi, karakter ruh, dan sifat manusia yang tidak sempurna ketika dilahirkan. Dengan penjelasan yang beruntun, Muthahhari juga menyebutkan cara manusia agar bisa mencapai derajat kesempurnaannya atau insan kamil.

Dalam penjelasan Muthahhari yang lebih dahulu, manusia dengan ruhnya yang belum sempurna lahir ke dunia dengan berinang pada alam materi. Dalam artian pula, alam materi dunia ini adalah ibu dari manusia. Oleh karena itu manusia harus melalui tahap demi tahap untuk mencapai kedewasaan dan menuju kesempurnaan. Ia harus bisa keluar dari inangnya yang bersifat materi. Apabila ia tetap pada terlena pada lembutnya belaian sang ibu (alam dunia), maka selamanya akan binasa karena materi segala sesuatu yang bersifat materi semuanya pasti binasa.

Berbeda ketika manusia dapat merdeka dari induknya yang bersifat materi, ia terpenuhi pancaran sinar Ilahiyah. Sinar ilahiyah tersebut bersifat kekal. Karena dalam teori jusmaniyyat al-hudust wa ruhaniyat, manusia memiliki dua unsur yang berbeda secara karakteristik. Muthahhari menjelaskan bahwa unsur jiwa manusia bersifat kekal, ia senantiasa menuntun manusia untuk berbuat baik, menjaga kesucian dan martabat, dan ingin selalu dekat dengan Allah. Sementara unsur jasad manusia kebalikannya, ia mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan fisik materialnya yang cenderung keruh dan jauh dari Allah.

Baca juga: Ini Rahasia Angka Tujuh dalam Surah Al-Fatihah

Muthahhari mengungkapkan ada empat langkah yang harus ditempuh manusia untuk menuju insan kamil. Pertama, pergerakan manusia dari diri menuju Allah. Kedua, pergerakan manusia bersama Allah, untuk mengenal-Nya. Ketiga, pergerakan manusia bersama Allah menuju makhluk-Nya. Keempat, perjalanan manusia di antara makhluk-Nya untuk menyelamatkan mereka. Menjadi insan kamil memang tidak instan, butuh proses dan riyadhah (latihan) terus-menerus. Namun semua itu dapat ditempuh dengan suka rela jika dalam hatinya terpatri cinta kepada Ilahi.

Wallahu a’lam.

Miftahus Syifa Bahrul Ulumiyah
Miftahus Syifa Bahrul Ulumiyah
Peminat Literatur Islam Klasik dan Kontemporer
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU