Al-Qur’an adalah sumber utama ajaran Islam. Oleh sebab itu, di dalamnya memuat berbagai macam hal yang berkaitan dengan keberlangsungan umat manusia. Bahkan Al-Qur’an dikatakan “Salih li kulli zaman wa makan”, yakni senantiasa relevan seiring dengan berkembangnya zaman dan pada ruang-ruang waktu yang berbeda. Di dalam Al-Qur’am juga diceritakan umat-umat terdahulu, yang durhaka dan yang patuh kepada utusan Allah Swt. Begitu pula Allah Swt memerintahkan hambanya agar menapaktilasi atau berjalan di muka bumi untuk menelusuri jejak-jejak peninggalan umat-umat terdahulu tersebut. Sebagaimana disebutkan secara eksplisit dalam surah Ali Imran ayat 137 berikut:
قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلِكُمْ سُنَنٌ فَسِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
“Sungguh telah berlalu sebelum kamu sunah-sunah (Allah), karena itu berjalanlah kamu ke segenap penjuru bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan rasul-rasul” (Q.S. Ali Imran [3]: 138).
Ibnu katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa ayat ini ditujukan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman di saat perang Uhud ketika 70 orang sahabat terbunuh. Adapun yang dimaksud dengan kata “sunan” pada ayat tersebut adalah metode yang muktabar (diakui) dan jalan yang diikuti. Kemudian, Imam Fakhruddin al-Razi menyatakan kata “sunan” pada ayat tersebut menurut meyoritas ulama’ tafsir adalah jalan yang rusak (sunan al-halak), sebab potongan ayat setelahnya memerintahkan agar memperhatikan adzab orang-orang terdahulu yang mendustkan rasul-rasul mereka yakni orang-orang kafir.
Namun dalam riwayat yang lain, kata “sunan” selain orang kafir juga mencakup orang mukmin. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Mujahid bahwa “sunan” memuat di dalamnya orang-orang kafir dan orang-orang mukmin. Sebab selain dunia juga ada akhirat di mana orang-orang mukmin yang meninggal akan harum dan dipuji lalu, dibalas kelak di akhirat sementara orang-orang kafir, mereka dilaknat di dunia dan akan disiksa di akhirat. Sehingga perintah untuk mengetahui umat-umat terdahulu yang nantinya dijadikan sebagai pelajaran seyogianya tidak hanya kepada umat-umat yang menentang tetapi juga umat-umat yang beriman atau yang patuh pada Rasul yang diutus oleh Allah.
Al-Maraghi menyatakan bahwa tujuan Allah menyuruh hamba-Nya agar melakukan perjalan di muka bumi adalah agar mereka berangan-angan mengenai konstelasi keadaan umat-umat terdahulu, sehingga mendapatkan ilmu yang sahih dan mengambil petunjuk dari apa yang telah didapat. Bahwa umat-umat yang haq akan menang dari umat-umat yang batil.
Baca juga: Napak Tilas Kemerdekaan Islam Pada Peristiwa Fathu Makkah
Lantas, apakah yang dimaksud “fasiru” (maka berjalanlah kamu) pada Ali Imran ayat 137 di atas harus dengan mengadakan perjalanan biasa atau traveling? Sementara di era milenial ini seakan-akan dunia ada di genggaman tangan atau bisa disebut dengan era digitalisasi yang memudahkan kita untuk mengetahui berita nasional atau internasional melalui media sosial.
Untuk menjawabnya, saya mengumpulkan beberapa eksegesis potongan ayat tersebut yang sangat relevan dengan zaman modern ini, di mana teknologi informasi dan komunikasi sangat berkembang pesat. Bahwa untuk mengetahui seperti apa umat-umat terdahulu yang kemudian dijadikan pelajaran, tidak harus dihasilkan melalui traveling namun juga dapat melalui aktivitas membaca atau mendengar. Imam Fakhruddin al-Razi dalam “Mafatih al-Gahib” secara tegas menyebutkan bahwa untuk mengetahui berita-berita tersebut tanpa melakukan perjalanan di muka bumi sudah dianggap cukup untuk menghasilkan sesuatu yang dituju.
Eksegesis atau penafsiran yang lebih jelas lagi dari Imam al-Maraghi yang menyebutkan bahwa untuk menapaktilasi jejak-jejak umat-umat terdahulu baik yang durhaka atau tidak, hal tersebut dapat dilakukan dengan cara kita membaca buku-buku sejarah yang ditulis oleh para peneliti yang pernah melakukan perjalanan di penjuru bumi. Dengan begitu, kita dapat menggali pelajaran dan nasihat yang terkandung di dalam perjalanan hidup mereka.
Barangkali ayat tersebut juga dapat dijadikan sebagai dalil untuk melakukan penelitian dengan cara observasi langsung ke suatu objek atau tempat yang ingin diteliti (penelitian kualitatif). Al-Razi juga menyatakan, tidak salah jika dinyatakan bahwa melihat secara langsung jejak-jejak umat terdahulu dengan diri kita sendiri adalah lebih kuat pengaruhnya daripada hanya sekadar mendengar dari orang lain.
Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan, untuk mengamalkan maksud atau kandungan Ali Imran ayat 137 di atas, tidak harus dengan cara melakukan perjalanan tetapi cukup dengan membaca, baik membaca di media sosial atau membaca secara langsung buku-buku sejarah. Sebab, dengan tulisan itu pula pengetahuan akan terekam, agama akan hidup, dan bangsa yang datang belakangan akan mengenal sejarah umat-umat sebelumnya, siapa yang tercela dan siapa yang terpuji. Dengan tulisan pula, peradaban manusia akan terbangun dan dapat menjadi penerang terhadap perselisihan. Sebagaimana ungkapan al-Maraghi ketika menafsirkan Q.S. Al-Alaq: 1-5.
Baca juga: Esensi Qalam dan Anjuran Menulis Dalam Al-Quran