BerandaTafsir Al QuranTafsir Ali Imran Ayat 169: Gus Dur Tidak Wafat, Menurut Prof. Nasaruddin...

Tafsir Ali Imran Ayat 169: Gus Dur Tidak Wafat, Menurut Prof. Nasaruddin Umar

Sewaktu Haul Gus Dur ke 11 di penghujung tahun 2020, ada tausyiah dari Professor Kiai Nasaruddin Umar, seorang imam besar Masjid Istiqlal dan sekaligus guru besar tafsir UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Bagaimana ia menyuguhkan pandangan segar tentang sosok Gus Dur, yang tak kalah menggelitik dari berbagai macam sesi acara yang menghibur pada malam itu. Bahkan Nasiruddin Umar mengatakan bahwa Gusdur tidak wafat, bagaimana bisa?

Gus Dur memang ketika di depan publik banyak bicara tentang pemikiran, sosiologi, antropologi, dunia internasional, termasuk sepakbola. Akan tetapi ada bahasa larut malam Gus Dur yakni bahasa tasawuf. Begitu kata Nasiruddin Umar.

Nasaruddin sendiri mengaku pernah diminta Gus Dur untuk membaca tuntas karya Hassan Hanafi yang banyak membahas tentang filsafat, serta masterpiece karya Ibnu ‘Arabi yang ternyata juga menjadi kesayangan Gus Dur, seperti kitab Futuhat al-Makkiyyah dan Fushush al-Hikam.

Baca juga: Dosen di Korea pun Bertafsir, Kyai Mustain: Ada Dua Model Orang Menafsirkan Al-Quran

Itulah mengapa Gus Dur lebih suka memahami Alquran dengan gaya sufistik, dari perspektif esoterisnya, dengan menyibak isyarat (isyari) yang terkandung dalam sebuah ayat. Dalam hal ini, Nasaruddin Umar memisalkan Surat Ali-Imran [3] : 169.

وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا بَلْ أَحْيَاءٌ عِنْدَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ

Dalam terjemahan Kementerian Agama, “janganlah kalian mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezeki”.

Sebab turunnya ayat ini, dominan kitab tafsir mengaitkan pada perang uhud berdasarkan beberapa hadis shahih. Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir Jilid I (1991), menerangkan bahwa mereka menjadi golongan syuhada’ dan akan tetap hidup, ruh mereka bertransmisi pada burung hijau, yang bisa terbang ke surga sesuai kehendaknya.

Ayat ini menjadi menarik ketika ditelisik dengan kacamata esoterik. Begini Nasaruddin Umar menjelaskan : “janganlah kalian mengira mereka yang gugur di jalan Allah, yang menggugurkan kepentingan-kepentingan individu di jalan Allah, yang membunuh nafsunya, egonya, demi di jalan Allah. Itu tidak wafat, bahkan ia tetap hidup.

Kemudian ia mengkontekstualkan dengan perjuangan Gus Dur. “Jika kita melihat sosok Gus Dur yang merupakan sosok figur yang berani menyingkirkan kepentingan subjektivitasnya, berani menanggalkan ego-egonya, berani dan tanpa takut sedikitpun demi di jalan Allah, sesungguhnya orang itu tidak wafat. Berarti sesungguhnya dari ayat ini, Gus Dur itu tidak wafat, bahkan ia masih mendapatkan rizkinya di sini dan di sana.

Bagaimana memaknai ketidakwafatan Gus Dur ini? Kita bisa berangkat dari dua sudut pandang yang keduanya ini melekat pada diri Gus Dur, yakni secara spiritualis dan filosofis. Menurut Nasaruddin Umar sendiri, dunianya Gus Dur itu dunia teosofi, yang masuk akal juga masuk di hati. Maka barangkali dari sini kita bisa merasakan kehadiran Gus Dur dalam kehidupan sehari-hari.

Baca juga: Inilah Ragam Pendapat Ulama tentang Nidzam Al-Quran

Sosok Gusdur dalam Pandangan Spiritual

Dari sudut pandang spiritual, Gus Dur memang tidak wafat. Seperti pemaparan kitab al-Tahrir wa al-Tanwir Juz 4 (Ibnu Asyur, 1984), bahwa mereka para mujahidin itu jasadnya saja yang mati, tapi ruhnya tetap hidup. Yaitu berupa kehidupan yang hakiki dengan tetapnya ruh tanpa sedikitpun mengalami kerusakan.

Begitupun kata Nasaruddin Umar seraya mengutip pendapat Ibnu ‘Arabi. Saat kita menziarahi makam wali lalu membaca Surat Yasin, maka roh wali itu ikut membaca. Kemudian doa yang kita panjatkan kepada Allah juga turut diamini oleh roh wali itu. Maka setiap kita berkunjung ke makam Gus Dur, atau bahkan pada waktu Haul beliau itupun, Gus Dur sebetulnya juga ikut membaca yasin dan tahlil, serta mengamini doa kita.

Sosok Gus Dur dalam Pandangan Filosofis

Lalu yang kedua, masih hidupnya Gus Dur dalam pandangan filosofis. Artinya semangat perjuangannya terus menyala hingga satu dekade lebih ini. Sejalan dengan penafsiran Sayyid Qutb (1991), bahwa kehidupan adalah kesinambungan, berkembang dan terdapat gerakan aktif. Maka siapa yang gugur dalam berjuang, namanya akan terus dikenang dan api semangatnya akan terus berkobar.

Hal ini persis pula yang dikatakan Anita Wahid, puteri ketiga Gus Dur, saat sambutan mewakili keluarga besar Ciganjur. “Agak aneh jika kita bilang mau mengingat Gus Dur, karena sesungguhnya ia tak pernah pergi dari ingatan kita dan tak pernah beranjak dari hati kita.

Setiap kali kita melihat ketidakadilan terjadi di bumi Indonesia, kita teringat Gus Dur. Setiap kita melihat penindasan dilakukan kepada anak bangsa, kita teringat Gus Dur. Setiap melihat pembungkaman terhadap kelompok rentan, lagi-lagi kita teringat Gus Dur ….

Karena ialah yang paling terdepan membela yang tertindas, membela hak-hak warga yang terampas, dan melindungi mereka yang terhempas. Karena ia juga yang selalu menggaungkan cinta, keasihan, toleransi, penghormatan di atas perbedaan, kesatuan, dan persaudaraan ….

Gus Dur pula yang meneladankan harapan itu selalu ada walaupun jauh sekali untuk digapai, kalau tidak sekarang mungkin anak cucu kita yang merasakannya nanti. Itu sebabnya beliau sangat sulit lepas dari ingatan kita ….”.

Hingga hari ini, di awal tahun 2021 ini, Gus Dur tetaplah hidup di dalam hati, pikiran, dan tindakan kita secara individu maupun kolektif. Lantas seberapa besar gelora perjuangan beliau yang bisa kita rasakan? Maka seberapa besar kemauan, untuk menggugurkan kepentingan pribadi dan golongan, demi kemaslahatan banyak orang.

Baca juga: Haul Gus Dur: Penafsiran Kontekstual Terhadap Surat Al-Nisa Ayat 34

Seperti mendahulukan kepentingan para petani, yang bergantung pada ekosistem air di kawasan hutan dan pegunungan, dari pada melayani oligarki tambang dan perkebunan yang seringkali menimbulkan bencana musiman.

Kemudian juga, seberapa besar kemauan untuk membunuh nafsu yang menggebu-nggebu dalam mengakumulasi laba, memonopoli pasar, dan menjerat hutang terhadap kaum lemah. Yang justru kian mengkonsentrasikan kekayaan pada segelintir orang (oligarki), bersamaan dengan semakin merebaknya kemiskinan pada banyak orang.

Kesemuanya ini adalah demi perjuangan di jalan Allah (fi sabilillah), Tuhan Yang Maha Melindungi segenap alam raya beserta penghuninya. Apalagi dalam Alquran terdapat seruan kepada manusia untuk senantiasa berbuat adil, karena keadilan sendiri sangat dekat dengan ketakwaan kita. Wallahu a’lam[]

Ruri Fahrudin Hasyim
Ruri Fahrudin Hasyim
Alumni UIN Sunan Ampel, Pegiat IPNU dan Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA)
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

tafsir surah al-An'am ayat 116 dan standar kebenaran

Tafsir Surah Al-An’am Ayat 116 dan Standar Kebenaran

0
Mayoritas sering kali dianggap sebagai standar kebenaran dalam banyak aspek kehidupan. Namun, dalam konteks keagamaan, hal ini tidak selalu berlaku. Surah al-An'am ayat 116...