Secara literal, Alquran menggambarkan hujan sebagai rahmat, berkah, dan kehidupan. Di samping menyucikan, hujan menghidupkan bumi, menumbuhkan tanaman, bahkan menopang seluruh ekosistem. Tafsir Alquran tentang hujan tersebut seakan bertolak belakang dengan bencana alam yang terjadi, hujan dilihat sebagai ancaman, penyebab bencana, banjir, longsor, hingga kerusakan infrastruktur yang lain.
Menjadi pertanyaan kemudian, apakah hujan memang layak disalahkan, atau mungkin manusia yang merusak sistem alam? Mengapa sesuatu yang rahmat bisa berubah menjadi bencana? Mari lihat penjelasan Alquran ketika memotret hujan!
Baca Juga: Empat Tipologi Bencana dalam Perspektif al-Quran
Allah berfirman dalam surah al-Furqan [25] ayat 48,
وَأَنزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
“Dan Kami turunkan dari langit air yang bersih (penyuci).” (QS. Al-Furqan[25]: 48)
Mufasir seperti Ibn ‘Abbas hingga Ibn Kathir, sepakat menafsirkan bahwa air yang dimaksud pada ayat ini tertuju pada air hujan. Disebut ṭahūr, bukan sekadar ṭāhir, karena ia datang dari langit dalam keadaan murni, siap membersihkan dan menghidupkan.
Ibn Abī Ḥātim dalam tafsirnya mengutip sebuah hadis dalam menafsirkan ayat tentang air hujan tersebut,
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: إِنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجِّسُهُ شَيْءٌ يُطَهِّرُ وَلا يُطَهِّرُهُ شَيْءٌ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ: وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
“…..“Sesungguhnya air itu tidak dinajisi oleh apa pun; ia menyucikan dan tidak perlu disucikan oleh sesuatu pun. Sebab Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: ‘Dan Kami telah menurunkan dari langit air yang ṭahūr (penyuci). (Tafsīr Ibn Abī Ḥātim. Maktabah al-Syāmilah, hlm. 2705.).
Tafsir Alquran atas hujan tersebut menjelaskan tentang sifat dan kualitas air hujan, yakni murni dan suci. Artinya, kemurnian dan kesucian air hujan itu menandakan kemanfaatan yang dibawa oleh air tersebut.
Jika kemudian dipahami bahwa air hujan adalah “bencana”, maka itu bukan karena kualitas airnya, melainkan karena faktor lain. Berdasar pada akal, dan ilmu pengetahuan, bisa jadi faktor lain yang bermasalah bumi atau tanah sebagai wadah hujan, bumi gundul, tanah resapan semakin berkurang, dan keseimbangan ekologi lainnya.
Hujan yang tidak terserap oleh tanah dapat menimbulkan beberapa dampak negatif, yaitu aliran air permukaan yang berlebihan saat tanah jenuh dapat menyebabkan erosi tanah dan hilangnya lapisan tanah subur karena air yang mengalir di permukaan dapat membawa partikel-partikel tanah, volume air yang besar dan cepat tidak dapat dibendung sehingga menyebabkan banjir bandang.
Baca Juga: Bencana Alam dan Misi Dasar Islam: Refleksi Surah Alanbiya’ Ayat 107
Tafsir Alquran tentang hujan juga berdasar pada ayat yang lain, yaitu surah Qaf [50] ayat 9,
وَنَزَّلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً مُبَارَكًا فَأَنْبَتْنَا بِهِ جَنَّاتٍ
“Dan Kami turunkan dari langit air yang penuh berkah, lalu dengan itu Kami tumbuhkan kebun-kebun…”. (QS. Qaf [50]: 9).
Ayat ini jelas menyatakan bahwa air hujan itu menumbuhkan kehidupan, bukan menyebabkan ketakutan, dan bukan pula suatu ancaman.
Tafsir Alquran tentang hujan juga digambarkan bersamaan dengan ilustrasi ekologis yang natural, seperti pada ayat berikut,
فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ
“Ketika Kami menurunkan air ke atasnya, bumi itu bergerak dan subur.” (QS. Fussilat [41]: 39).
Allah swt. menggambarkan bumi yang khāshi‘ah (kering, mati) lalu hidup ketika menerima hujan. Para ulama seperti Ibn Qayyim menekankan bahwa hujan diturunkan bi qadarin, yaitu dengan takaran yang selaras dengan kebutuhan bumi. Dengan kata lain hujan bukan bencana, ia adalah mekanisme hidupnya bumi.
Di samping itu, Alquran juga berbicara tentang keteraturan alam. Dalam ayat lain Allah menegaskan: “Dan Dia telah meninggikan langit dan meletakkan keseimbangan, agar kamu tidak merusak keseimbangan itu.” (QS. Ar-Rahman [55]: 7–8)
Baca Juga: Q.S Arrum (41): Makna La’allahum Yarji’ūn sebagai Panggilan Taubat Ekologis
Lalu mengapa akhir-akhir ini hujan (lebih tepatnya dikatakan) bisa menjadi petaka?
Imam as-Sya’rawi menjelaskan dalam tafsirnya,
فكما رفع الحق سبحانه السماء بلا عمد، وجعل الأمور مستقرة متوازنة؛ فلكم أن تعدلوا في الكون في الأمور الاختيارية بميزان دقيق؛ لأن اعوجاج الميزان إنما يفسد حركة الحياة
Sebagaimana Allah, telah meninggikan langit tanpa tiang dan menjadikan seluruh urusan alam ini stabil serta seimbang, maka kalian pun seharusnya berlaku adil dalam kehidupan, terutama dalam urusan-urusan yang menjadi pilihan manusia. Gunakanlah timbangan yang benar-benar tepat, karena apabila timbangan itu bengkok, seluruh gerak kehidupan akan rusak. (Tafsīr al-Sha‘rāwī, Maktabah al-Syāmilah, hlm. 6742).
Jadi, apabila manusia menebang pohon sembarangan, merusak hutan, menutup tanah dengan beton, dan mengubah aliran sungai, manusia sebenarnya merusak mīzān (keseimbangan) alam yang menjadi cara Tuhan mengatur dunia. Bencana bukan muncul karena hujan berubah sifat, tetapi karena manusia mengubah fungsi dan keseimbangan bumi.
Alquran telah memperingatkan: “Kerusakan telah tampak di darat dan laut akibat ulah tangan manusia. Ini adalah ayat ekologis yang sangat relevan dan sering digunakan untuk menyadarkan manusia. Hujan sudah dinyatakan sebagai rahmat, berkah, air yang membersihkan, dan penghidup bumi, Bagaimana mungkin rahmat itu tiba-tiba menjadi “salah” hanya karena manusia membabat hutan dan mengurung tanah dalam beton?
Banjir terjadi bukan karena hujan berlebihan. Banjir terjadi karena penyerap air dikurangi, aliran air dihambat, dan tata ruang dirusak. Ibarat memberi makanan pada tubuh yang sehat, makanan bisa memberi energi, tetapi jika tubuh manusia sengaja dibuat sakit, makanan yang sama malah menjadi pemicu efek buruk. Sumber masalahnya bukan pada makanan, tetapi pada kerusakan tubuh itu sendiri.
Lagi-lagi yang rusak adalah bumi yang ditinggali manusia, bukan air yang diturunkan oleh Allah. Hujan adalah rahmat yang memerlukan wadah: tanah dengan resapan yang tinggi, pohon yang kokoh, sungai yang lapang, dan gunung yang terjaga. Ketika semua itu dihancurkan, rahmat berubah menjadi ancaman.
Beberapa ayat di atas sudah tegas, bahwa bencana ekologis bukan hukuman dari langit, tetapi konsekuensi ulah keserakahan manusia yang tidak kunjung sadar.
Jadi, jangan mengeluh ketika hujan turun, kembalikan keseimbangan lingkungan. Jangan diam kalau terjadi banjir maupun longsor, ayo hentikan penebangan liar, mari jaga sungai dari penyempitan dan sampah. Wallah a’lam

















