BerandaTafsir TematikTafsir Ayat Poligami yang Tidak Pernah Usai dan Kisah Imam Abu Hanifah...

Tafsir Ayat Poligami yang Tidak Pernah Usai dan Kisah Imam Abu Hanifah Membela Perempuan

Topik poligami selalu menarik untuk diperbincangkan, bukan hanya karena bahasan tafsir ayat poligami yang tidak pernah usai, tetapi juga karena keragaman pandangan tentangna. Dikatakan oleh Abd. Moqsith dalam salah satu tulisannya, Tafsir Atas Poligami Dalam Al-Quran bahwa tidak ada pandangan tunggal tentang kebolehan poligami dalam konteks sekarang.

Ayat Al-Quran yang biasa digunakan sebagai dasar teologis poligami ini sudah sangat populer, yaitu surat An-Nisa’ ayat 3

وَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تُقْسِطُوْا فِى الْيَتٰمٰى فَانْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِّنَ النِّسَاۤءِ مَثْنٰى وَثُلٰثَ وَرُبٰعَ ۚ فَاِنْ خِفْتُمْ اَلَّا تَعْدِلُوْا فَوَاحِدَةً اَوْ مَا مَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْنٰٓى اَلَّا تَعُوْلُوْاۗ

Mengikut pada Faqihuddin Abdul Kodir dalam Memilih Monogami, ayat poligami ini diterjemahkan seperti berikut:

“Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hakhak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah perempuanperempuan (lain) yang suka kepada kamu; dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) satu saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”

Tafsir Ayat Poligami; dari Boleh hingga Terlarang

Melanjut penjelasan Abd. Moqsith di atas, perbedaan tafsir ayat poligami di atas bersimpul pada tiga pandangan ulama.

Pertama, ulama pro poligami, mereka membolehkan poligami dengan batas maksimal sembilan istri sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad Saw. Pendapat ini antara lain dikemukakan oleh Zhahiriyah, Ibn As-Sabbagh, Al-Umrani, Al-Qasim bin Ibrahim dan sebagian kelompok Syiah. Meskipun ada hadis yang melarang sahabat Nabi untuk menikah lebih dari empat istri, kelompok ini tetap pada pendapatnya.

Baca Juga: Tafsir Surat Al-Ahzab Ayat 33: Perempuan sebagai Pemeran Domestik dan Publik

Menurut mereka hadis tersebut harus dipahami dalam satu konteks, misalnya ada hubungan nasab, susuan dan sebab syar’i lainnya. Maka tidak heran jika Nabi memerintah para sahabat saat itu untuk menceraikan istri-istrinya hingga tersisa empat.

Kedua, ulama yang menoleransi poligami dalam keadaan darurat. Keadaan darurat yang dimaksud berbeda-beda, misal sang sitri mandul, sang istri sakit atau ada dalam keadaan yang membuatnya tidak bisa melaksanakan kewajibannya. Al-Maraghi dan M. Quraish Shihab menambah kriteria darurat tersebut dengan keadaan seperti libido suami tinggi sementara libido istri rendah, istri sudah menopause sementara suami masih ‘segar’, jumlah perempuan lebih banyak dari jumlah laki-laki.

Ketiga, ulama yang hanya menoleransi poligami pada zaman Nabi. Para pemikir Islam di kelompok ini beralasan bahwa toleransi ini diberikan bukan karena adanya keadaan darurat seperti pandangan kelompok kedua, tetapi lebih karena Al-Quran tidak mungkin menghapus praktik poligami secara sekaligus. Oleh karena itu cara yang strategis adalah dengan pelan-pelan, dimulai dengan membatasi jumlah poligami serta dengan syarat yang tidak mudah.

Nama-nama tokoh seperti Fazlur Rahman, Husein Muhammad dan Faqihuddin Abdul Kodir ada di kelompok ketiga. Mereka juga berpandangan bahwa tujuan syariah dari pernikahan itu monogami, bukan poligami.

Hal ini didasarkan pada ayat 129 surat An-Nisa’,

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوْٓا اَنْ تَعْدِلُوْا بَيْنَ النِّسَاۤءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوْا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوْهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۗوَاِنْ تُصْلِحُوْا وَتَتَّقُوْا فَاِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا

Dan kamu tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.

Ayat 129 ini juga menjadi tafsir ayat poligami di ayat sebelumnya, yaitu ayat 3. Berdasar pada ayat ini, diketahui secara tekstual bahwa adil sebagai syarat poligami di ayat 3 sangat sulit atau bahkan tidak mungkin bisa dilaksanakan oleh seorang suami.

Tafsir ayat poligami dalam kisah Imam Abu Hanifah dan Khalifah Al-Mansur

Buya Husein Muhammad dalam Pendar-Pendar Kebijaksanaan menukil cerita tentang Imam Abu Hanifah, Khalifah Al-Mansur dan istrinya.

Suatu hari hubungan sang Khalifah dan istrinya terganggu . Hampir sertiap hari mereka bertengkar, bahkan untuk hal-hal yang kecil sekalipun, dan stelah ditelisik ternyata sang suami ingin berpoligami, menikah lagi. Menghadapi masalah tersebut, keduanya sepakat melibatkan orang lain untuk memediasi mereka berdua, dan akhirnya orang yang terpilih adalah Imam Abu Hanifah.

Siapa yang tak kenal Abu Hanifah, ulama besar, cerdas dan dikenal bijak bestari. disebutkan bahwa Sang khalifah dan istrinya sangat hormat kepada sang Imam. Di waktu yang telah ditentukan, Imam Abu Hanifah tiba di istana dan disambut dengan penuh ta’dhim.

Setelah cukup memberikan muqaddimah tentang permasalahan pasangan suami istri tersebut, Khalifah Al-Mansur kemudian mengajukan pertanyaan ke sang Imam, “Berapakah batas seorang laki-laki berhak menikahi perempuan dalam satu waktu?”

“Empat” jawab Abu Hanifah

“Berapa banyak dia boleh menikahi budak perempuan?”

“Terserah, berapa saja dia mau.”

“Apakah seorang muslim boleh menentang pandangan Anda ini?”

“Tidak.” tegas Abu Hanifah

Khalifah tampak sumringah mendengar jawaban tegas dari Imam, dia merasa imam bersamanya, mendukungnya. sang Khalifah mulai percaya diri sambil berbisik pada istrinya, “Kamu sudah mendengar, apa yang dikatakan oleh Imam Abu Hanifah tadi?”

Baca Juga: Al-Mar’ah fil Islam: Antologi Kesetaraan Perempuan dalam Al-Quran, Hadis, dan Sejarah Nabi

Belum sempat sang istri menimpali, Abu Hanifah segera melanjutkan, “Ya, benar demikian aturannya yang mulia Khalifah. Akan tetapi, hal itu hanya dibolehkan bagi orang yang bisa berlaku adil. Namun jika tidak, maka dia hanya boleh memiliki satu saja. Allah sudah mengatakan, “jika kamu kawatir tidak bisa berbuat adil, maka satu saja.” Sudah seharusnya kita mengikuti etika Allah dan mengambil pengetahuan dari kata-kataNya.”

Mendengar penjelasan imam yang terakhir ini, Khalifah diam, membisu seribu bahasa, lama sekali, wajahnya tidak lagi ceria seperti sebelumnya. Sementara wajah sang istri berbinar-binar.

Kisah ini juga merupakan tafsir ayat poligami yang disampaikan oleh salah satu pendiri madzhab fikih. Sampai kapanpun tafsir ayat poligami tidak akan pernah usai.

Wallahu A’lam

Limmatus Sauda
Limmatus Sauda
Santri Amanatul Ummah, Mojokerto; alumni pesantren Raudlatul Ulum ar-Rahmaniyah, Sreseh Sampang
- Advertisment -spot_img

ARTIKEL TERBARU

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

Metodologi Fatwa: Antara Kelenturan dan Ketegasan

0
Manusia hidup dan berkembang seiring perubahan zaman. Berbagai aspek kehidupan manusia yang meliputi bidang teknologi, sosial, ekonomi, dan budaya terus berubah seiring berjalannya waktu....