Sebagaimana kita ketahui bersama, jenis penyakit ada dua, yaitu penyakit lahiriah dan batiniyah. Penyakit lahiriah adalah jenis penyakit yang menyerang fisik manusia, seperti stroke, kanker, diabetes, dan semacamnya. Adapun penyakit batiniyah adalah penyakit yang menyerang hati manusia alias penyakit hati, seperti iri hati, dengki, sombong, riya’, munafik, provokasi, dan sebagainya, hal ini bisa disebut dengan penyakit hati manusia.
Karenanya, Islam mengatur mekanisme kesehatan yang baik kepada manusia melalui konsep syifa yang terkandung dalam Al-Quran. Salah satu konsep itu telah disitir oleh-Nya dalam Q.S. Yunus [10]: 57 yang berfungsi untuk menyembuhkan penyakit hati manusia sebagai berikut,
اَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَاۤءٌ لِّمَا فِى الصُّدُوْرِۙ وَهُدًى وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ
Wahai manusia! Sungguh, telah datang kepadamu pelajaran (Al-Qur’an) dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang yang beriman. (Q.S. Yunus [10]: 57)
Tafsir Surat Yunus Ayat 57
Al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan membagi penafsiran ayat di atas ke dalam tiga redaksi. Pertama, redaksi ya ayyuhan nas qad jaatkum mauidzatun min rabbikum. Redaksi ini ditafsiri al-Tabari sebagai satu bentuk warning bagi penduduk kafir Quraisy Makkah agar mereka mempertegas keimanannya dan kembali kepada-Nya.
Dalam tafsirnya, al-Tabari melampirkan statement-nya,
من عند ربكم لم يختلقها محمد صلى الله عليه وسلم ولم يفتعلها أحد، فتقولوا: لا نأمن أن تكون لا صحة لها. وإنما يعني بذلك جلّ ثناؤه القرآن، وهو الموعظة من الله
“Barang siapa di sisi Tuhannya, lalu tidak mereka-reka kenabian Nabi Muhammad saw dan tidak berbuat (buruk) terhadap-Nya. Kata mereka (penduduk Mekah): Maka mereka tidak akan merasa aman dan menjadi sakit (alias tidak sehat). Demikianlah pengagungan terhadap Al-Quran dan termasuk mauidzah dari-Nya”.
Baca juga: Tafsir Tabiin: Ragam Kekhasan Kajian Madrasah Tafsir Madinah
Pernyataan di atas bermakna bahwa kita diminta untuk mengakui dan mencintai yang haq (benar) dan membenci kebatilan. Maka tak heran, jika redaksi berikutnya berbunyi wa syifa-un lima fis shudur, artinya obat (penyembuh) bagi penyakit yang bersarang di dada manusia seperti kebodohan, kedengkian, iri hati, adu domba, provokasi, dan semacamnya.
Jadi, untuk dapat mencintai kebenaran dan membenci kebatilan, maka gunakanlah ramuan syifa ala Al-Quran. Ramuan itu ada tiga hal, yaitu mau’idzah (peringatan atau pesan Allah dalam Al-Quran supaya direnungi dan ditadabburi), syifa (penyembuh untuk penyakit hati, seperti iri hati, dengki, dst), hudan (petunjuk Al-Quran tentang halal-haram, taat-maksiat, baik-buruk), dan rahmat (Allah pasti merahmati umat Islam dan menjauhkannya dari kekufuran. Demikian tafsiran al-Tabari.
Tidak jauh berbeda, Ibnu Katsir sependapat dengan al-Tabari terkait makna syifa bahwa Al-Quran adalah penyembuh kebimbangan dan keraguan serta penghapus penyakit hati manusia. Sedangkan, penafsiran senada juga dituturkan Ibnu Ajibah dalam al-Bahr al-Madid bahwa wa syifa-un lima fis shudur bermakna al-haqqu jalla jalaluhu al-syakku wa al-jahlu (mengagungkan kebenaran, dan menjauhkan keraguan dan kebodohan).
Masih menurut Ibnu Ajibah, hudan wa rahmatun lil mu’minina di sini ialah hidayah dan cahaya Allah swt dalam batin mukmin (hidayatun fi bawathinihim bi anwari al-tahqiq) serta rahmat Allah yang terkandung dalam setiap ibadah beserta adab yang dikerjakan kaum mukmin (rahmatun fi dzawahirihim bi adabi al-tasyri’). Lebih jauh, Az-Zamakhsyari dalam Tafsir al-Kasyaf menafsirkan ayat di atas bahwa sesungguhnya di dalam kitab Al-Quran berisi mau’idzah (nasihat) dan memperteguh keesaan Allah swt (tanbihun ala al-tauhid).
Baca juga: Mengenal Kitab Mukhtasar Tafsir Ibn Katsir Karya Syekh Ali Ash-Shabuni
Syifa adalah obat, kata al-Zamaksyari, obat untuk menyembuhkan endapan najis dan kotor dalam dada manusia serta memulihkan kepada kebenaran. Rahmat di sini olehnya dimaknai rasa aman bagi kaum mukmin. Dalam tafsir yang lain, sebut saja al-Suyuthi dalam Tafsir Jalalain, wa syifa-un lima fis shudhur bermakna obat atau penyembuh akidah yang rusak dan keraguan (al-‘aqidah al-fasidah wa al-syukuki). Adapun hudan adalah petunjuk dari kesesatan.
Tidak mau kalah, al-Qurtuby juga urun rembug terkait tafsiran syifa di atas yakni obat bagi penyakit hati manusia seperti keraguan (syakk), munafik (nifaq), kesalahan (khilaf), dan perselisihan (syiqaq). Selanjutnya, kalima hudan ia tafsiri dengan rasyidan liman ittaba’ahu (petunjuk bagi mereka yang mengikuti Al-Quran). Serta rahmat bermakna nikmat.
Mufasir kenamaan asal Granada, Spanyol sekaligus salah satu rujukan kelompok Aswaja, yaitu Ibnu Atiyyah. Dalam tafsirnya, al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab al-Aziz, ia menjelaskan bahwa khitab ayat di atas berlaku semua manusia (hadza ayatun khithabun biha jami’i al-‘alam). Al-Quran sebagai mauidzah yang berisi ajakan untuk berbuat ma’ruf dan menjauhi yang bathil.
Ibnu Atiyyah juga mengajak manusia merenung akan penyakit hati yang kapanpun siap menjangkiti manusia, seperti kebodohan dan segala perbuatan yang melemahkan iman. Terkait makna hudan wa rahmatun, tampaknya Ibnu Atiyyah lebih memerinci perbedaan penafsiran di antara para ulama. Ibnu Abbas dan Abu Sa’id al-Khudri misalnya, kata rahmat dimaknai al-fadhl (keutamaan), Islam, dan Al-Quran. Begitu pula Yazid bin Aslam, dan al-Dhahhak memaknai serupa dengan mereka.
Al-Quran sebagai Obat bagi Penyakit Hati Manusia
Sebaik-baik obat ialah Al-Quran. Seluruh ayat Al-Quran mengandung syifa’. Apa saja mampu diobati oleh Al-Quran. Dalam artian, Al-Quran memberi petunjuk kepada manusia khususnya umat Islam bahwa segala penyakit baik penyakit lahiriah maupun batiniyah mampu diobati dengan Al-Quran.
Baca juga: Periode Pewahyuan surah Al-Qur’an Menurut Theodor Nöldeke
Kita tentu mafhum, dengan beragamnya resepsi terhadap Al-Quran di kalangan masyarakat kita seperti pembacaan hizib, wiridan ayat-ayat tertentu, ijazahan. Semua itu menguatkan Al-Quran selain berfungsi sebagai hudan (petunjuk), akan tetapi juga syifa (obat) sebagaimana penjelasan artikel terdahulu.
Syekh Ibrahim al-Khawash sebagaimana dikutip oleh al-Qusyairi dalam Risalah al-Qusyairiyah memberikan mekanisme bagaimana obat hati (seperti nifaq, iri hati, dengki, hasud, adu domba, fitnah, dst) bekerja. Berikut ungkapannya,
ومن كلامه أيضا دواء القلب خمسة أشياء: قراءة القرآن بالتدبر، وخلاء البطن، وقيام الليل؛ والتضرع عند السَحر، ومجالسة الصالحين ذكره القشيري في الرسالة
“Salah satu kalam al-Khawash ialah Ia menyatakan bahwa obat hati terdiri atas lima hal, yaitu (1) membaca Al-Quran disertai kontemplasi, (2) mengatur perut (pola makan dan pola hidup sehat) agar tidak kekenyangan sehingga menyuburkan nafsu syahwat, (3) mendirikan ibadah malam (shalat tahajjud, shalat hajat, berdzikir, atau amalan lainnya, (4) menghinakan diri dihadapan Allah di sepertiga malam, (5) berkumpul dengan orang-orang shalih. Demikilah yang termaktub dalam Risalah al-Qusyairiyah”.
Pernyataan di atas adalah syarah atas kata syifa di atas. Dengan demikian, tatkala kelima hal tersebut kita jalankan dengan baik dan penuh kesadaran diri (self-awareness), maka bukan tidak mungkin segala penyakit enggan menjangkiti manusia, termasuk wabah Covid-19. Sungguhpun demikian, semua hal tersebut harus kita sandarkan kepada Allah swt. Karena Allah swt lah sejatinya Yang Maha Menyembuhkan. La haula wa la quwwata illa billah. Wallahu A’lam.