Periode Pewahyuan surah Al-Qur’an Menurut Theodor Nöldeke

Tartib Nuzuli
Tartib Nuzuli menurut Theodor Noldeke

Pada artikel sebelumnya, Theodor Nöldeke: Sarjana German Pelopor Kajian Sejarah Al-Qur’an, telah dijelaskan mengenai biografi singkat Theodor Nöldeke dan bagaimana pandangannya terhadap Al-Qur’an serta nabi Muhammad saw. Pada artikel ini, penulis akan menerangkan mengenai urutan pewahyuan surah Al-Qur’an menurut Theodor Nöldeke (tartib nuzuli).

Berkenaan dengan susunan ayat Al-Qur’an, setidaknya kita mengenal dua macam urutan, yakni: Pertama, tartib mushaf atau penyusunan ayat Al-Qur’an berdasarkan urutan yang diajarkan nabi Muhammad saw dan yang tertuang dalam mushaf selama ini. Kedua, tartib nuzuli atau penyusunan yang didasarkan pada urutan pewahyuan surah Al-Qur’an (al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an).

Masing-masing kedua penyusunan Al-Qur’an di atas (tartib al-Qur’an), baik tartib mushaf atau tartib nuzuli memiliki kelebihan dan karakteristik tersendiri. Hanya saja, tartib mushaf lebih sering digunakan karena mengikuti rasm utsmani  Menurut mayoritas ulama, tartib al-Qur’an ini bersifat tauqifi (baca: sesuai petunjuk) dari nabi Muhammad saw dan bebas dari intervensi apa pun.

Baca Juga: Mengurai Sejarah Kemunculan dan Urgensi Kronologi Al-Quran dalam Ilmu Tafsir

Sedangkan tartib nuzuli – sebagaimana disebutkan oleh Muhammad al-Thahir Ibnu ‘Asyur dalam Muqaddimah al-Tahrir wa al-Tanwir – dibuat berdasarkan urutan pewahyuan surah Al-Qur’an sesuai dengan pengetahuan masing-masing sahabat atau mufasir yang melakukannya. Artinya, mayoritas tartib nuzuli dihasilkan dari ijtihad individu. Maka tak heran, tartib nuzuli menurut tokoh tertentu sedikit berbeda dengan tokoh yang lain.

Secara umum tartib nuzuli terbagi kepada dua bentuk, yaitu: Pertama, tartib nuzuli yang bersifat global, yakni dengan mengelompokkan semua surah-surah makkiyah sebelum surah-surah madaniyah tanpa mengurutnya secara presisi. Kedua, tartib nuzuli yang bersifat khusus, yakni dengan mengurutkan surah-surah Al-Qur’an mulai dari yang pertama kali turun hingga yang terakhir. Ini pernah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Mas’ud.

Kronologis Surah Al-Qur’an dalam Perspektif Theodor Nöldeke

Ketika mengkaji teks Al-Qur’an, Theodor Nöldeke menggunakan pendekatan historis-filologis dan kesusastraan. Dengan pendekatan sejarah, ia melacak segala peristiwa terkait Al-Qur’an atau yang sezaman dengannya melalui teks-teks sejarah. Kemudian, ia membaca peristiwa tersebut secara komprehensif, mulai dari kapan peristiwa itu terjadi, di mana, apa sebabnya dan siapa saja tokoh yang terlibat.

Melalui pendekatan sejarah ini, seseorang diajak untuk memasuki realitas yang sebenarnya berkenaan dengan terjadinya suatu peristiwa. Dari sini, seseorang akan memahami bahwa Al-Qur’an memiliki konteks historisnya. Oleh karena itu, jika seseorang ingin memahami Al-Qur’an secara komprehensif, maka ia harus mempelajari sejarah pewahyuan Al-Qur’an dan kejadian-kejadian yang mengiringinya (asbabun nuzul).

Sementara pendekatan susastra digunakan oleh Noldeke untuk melihat gaya bahasa Al-Qur’an – seperti rima dan persajakan – dan perbendaharaan katanya. Dengan memadukan pendekatan historis-filologis dan kesusastraan, Noeldeke dan Schwally berpandangan bahwa babak pewahyuan Al-Qur’an merupakan gerak maju yang ajeg dan kontekstual, mulai dari surah-surah panjang periode Mekah hingga surah-surah pendek periode Madinah.

Singkatnya, dalam upaya merekonstruksi urutan pewahyuan surah Al-Qur’an secara komprehensif Theodore Noeldeke melakukan langkah ganda, yaitu: Pertama, Ia mengeksplorasi sejarah Al-Qur’an melalui berbagai sumber rujukan sejarah, baik referensi tradisional seperti kitab tafsir maupun referensi sejarah lainnya, guna menentukan secara presisi kapankah suatu ayat atau surah diturunkan, terutama pada periode Madinah (The History of Qur’an).

Kedua, selain mengacu pada referensi sejarah yang kompatibel, Theodore Noeldeke juga memfokuskan diri pada gaya bahasa Al-Qur’an, mulai dari kosa kata, terminologi hingga ungkapan-ungkapannya. Dalam konteks ini, Noeldeke secara serius berusaha menjelaskan pola-pola dialektika Al-Qur’an dari masa ke masa. Melalaui hal tersebut, ia dapat melakukan penyusunan urutan pewahyuan surah Al-Qur’an.

Berdasarkan hasil kajiannya, Noldeke membagi kronologi Al-Qur’an dalam beberapa periode, yaitu:

  1. Periode Makah Pertama

Surah-surah dan ayat-ayat pada periode Mekah pertama cenderung pendek dan berirama. Pada periode ini, surah sering kali diawali dengan ungkapan sumpah, bahasanya penuh dengan tamsilan (metafora) dan memiliki keindahan puitis (The History of Qur’an: 64). Hal ini lumrah terjadi, karena menurut mayoritas mufasir – seperti al-Suyuthi dalam al-Itqan Fi Ulumil Quran – kala itu Al-Qur’an ingin menyentuh jiwa masyarakat Mekah yang mengagungkan syair.

  1. Periode Mekkah Kedua (Tengah)

Surah-surah pada periode Mekah kedua lebih panjang dan lebih berbentuk prosa, tetapi itu tetap dengan kualitas puitis yang indah. Gaya bahasanya seakan-akan membentuk suatu transisi antara Surah-surah periode Makkah pertama dan ketiga. Pada periode ini, tanda-tanda kemahakuasaan Tuhan dalam alam dan sifat-sifat ilahi seperti rahmah mulai ditekankan secara intens. Hal ini dapat dilihat dengan ungkapan Al-Qur’an di mana Tuhan digambarkan sebagai al-Rahman.

Baca Juga: Mengenal Kitab Fahm Al-Quran Al-Hakim, Tafsir Nuzuli Karya M. Abid Al-Jabiri

Selain itu, pada periode ini deskripsi yang hidup tentang surga dan neraka turut diungkapkan. Al-Qur’an juga mulai memperkenalkan kisah-kisah umat terdahulu – yakni kisah umat manusia sebelum kedatangan nabi Muhammad saw mulai dari nabi Adam as hingga nabi Isa as – terutama umat-umat yang ingkar dan diazab oleh Allah swt sebagai bahan pelajaran bagi pendengar Al-Qur’an. Sarjana barat lebih mengenal kisah-kisah ini dengan istilah “Punishment Stories”.

  1. Periode Makah Ketiga (akhir)

Surah-surah pada periode Makkah ketiga lebih panjang dan lebih berbentuk prosa. Noeldeke-Schwally mengemukakan bahwa penggunaan al-Rahman sebagai nama Tuhan berakhir pada periode ini, tetapi karakteristik-karakteristik periode kedua lainya semakin mengental. Kisah-kisah kenabian dan pengazaban umat terdahulu dituturkan kembali secara lebih terperinci (The History of Qur’an: 118).

  1. Periode Madinah

Surah-surah pada periode Madinah tidak memperlihatkan banyak perubahan gaya dari periode ketiga selain perubahan pokok bahasan. Perubahan ini terjadi seiring meningkatnya kekuasaan politik Nabi dan perkembangan masyarakat di Madinah setelah Hijrah. Pengakuan terhadap Nabi sebagai pemimpin masyarakat, menyebabkan wahyu-wahyu Al-Qur’an berisi hukum dan aturan kemasyarakatan. Tema-tema dan istilah-istilah kunci baru turut membedakan surah-surah periode ini dengan periode sebelumnya.

Melalui pembagian periode tersebut dan karakteristik ayat yang turun di dalamnya, Noeldeke kemudian menyusun urutan pewahyuan surah Al-Qur’an (tartib nuzuli). Menurutnya surah yang pertama kali turun adalah surah al-‘Alaq dan surah yang terakhir turun adalah surah al-Hujarat. Tartib nuzuli Noeldeke ini dikemudian hari menstimulus al-Jabiri dan Angelika Neuwirth untuk melakukan pendekatan sejarah terhadap Al-Qur’an.