Kebodohan dan keraguan adalah dua entitas yang harus dimusnahkan dalam nomenklatur peradaban manusia. Betapa tidak, rusaknya peradaban dan munculnya permasalahan disebabkan oleh keduanya. Kebodohan adalah pangkal kerusakan dan episentrum kemudharatan. Sementara keraguan merupakan pekerjaan setan untuk menegasikan keyakinan dalam diri manusia. Ayat syifa kali ini menyinggung Al-Quran sebagai penyembuh kebodohan dan keraguan.
Oleh karena itu, Islam telah memberikan tuntunan kepada kita agar bisa sembuh dari kedua penyakit itu sebagaimana terlukiskan dalam firman-Nya,
قُلْ هُوَ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا هُدًى وَّشِفَاۤءٌ ۗوَالَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ فِيْٓ اٰذَانِهِمْ وَقْرٌ وَّهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًىۗ اُولٰۤىِٕكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَّكَانٍۢ بَعِيْدٍ ࣖ
Katakanlah, “Al-Qur’an adalah petunjuk dan penyembuh bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, dan (Al-Qur’an) itu merupakan kegelapan bagi mereka. Mereka itu (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.” (Q.S. Fussilat [41]: 44)
Baca Juga: Tafsir Ayat Syifa: Al-Quran sebagai Obat bagi Orang Beriman
Tafsir surah Fussilat Ayat 44
Muhammad Ali al-Shabuni dalam Shafwah al-Tafasir menafsirkan ayat di atas bahwa sesungguhnya Al-Quran adalah petunjuk bagi orang-orang mukmin dari kesesatan (hudan lil mu’minin min al-dhalalah), dan penyembuh kebodohan dan keraguan juga kebimbangan (wa syifa-un lahum minal jahli wa al-syakki wa al-raibi).
Dalam Hasyiyah al-Baidhawi juga dikatakan,
قال في حاشية البيضاوي: إِنَّ الْقُرْآنَ لوضوحُ آيَاتِهِ، وَسطوعُ بَرَاهِيْنِهِ، هَادٍإِلَى الْحَقِّ، وَمَزِيلٌ لِلرَّيْبِ والشَّكِّ، وَشِفَاءٌ مِنْ دَاءِ الْجَهْلِ وَالْكُفْرِ وَالْاِرْتِيَابِ، وَمَنْ ارْتَابَ فِيهِ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِهِ، فَارْتِيَابه إنما نشأ عن توغله فِي اتِّبَاعِ الشَّهَوَاتِ، وَتقَاعده عن تفقد ما يسعده وَينجيه
“Sesungguhnya ayat-ayat Al-Quran bersinar terang, penjelasannya begitu terang, petunjuk kepada kebenaran, penghilang rasa keraguan dan kebimbangan, penyembuh bagi kebodohan, kekafiran dan kebimbangan. Barang siapa yang meragukan Al-Quran maka ia tergolong bukan orang beriman, dan cenderung mengikuti hawa nafsunya. Dan barang siapa yang menjauhkan diri dari kebimbangan maka bahagia hidupnya”.
Penafsiran syifa yang lain adalah penyembuh kebodohan (syifa-un minal jahli) sebagaimana diwartakan al-Tabari dalam Jami’ al-Bayan. Ia mengutip riwayat dari Basyar, dari Yazid, dari Sa’id, dari Qatadah bahwa redaksi qul huwa lilladzina aamanu hudan wa syifa ialah Allah swt menjadikan Al-Quran itu nur (cahaya petunjuk), keberkahan dan obat bagi orang beriman (ja’alahullahu nuran wa barakatun wa syifa-un lil mu’minina). Lebih dari itu al-Sa’di menuturkan bahwa yang dimaksud syifa adalah Al-Quran.
Tidak jauh berbeda, al-Qurtuby, Ibnu Katsir, al-Razi dan al-Zamakhsyari juga mengamini bahwa yang dimaksud syifa ialah penyembuh dari kebodohan, keraguan, dan penyakit mematikan. Ibnu Katsir memperjelas terminologi syifa, yaitu syifa-un lima fi al-sudhur min al-syukuki wa al-raibi (penyembuh bagi penyakit hati (keraguan dan kebimbangan).
Hal senada juga disampaikan al-Zamaksyhari, syifa yang dimaksud ialah irsyadul ilal haqqi (pembimbing kepada jalan kebenaran) dan penyembuh dari penyakit keraguan dan kebimbangan. Meskipun begitu al-Razi dalam Mafatih al-Ghaib-nya, ia berpandangan syifa ialah petunjuk yang menuntun manusia kepada kebaikan dan kebahagiaan (dalil ‘ala al-khairat wa yursyidu ila kulli al-sa’adat). Dari petunjuk itu kemudian mampu menyembuhkan penyakit kekufuran dan kebodohan.
Baca Juga: Tafsir Ayat Syifa: Menebar Keselamatan dan Mencegah Kegaduhan
Tips Sembuh dari Kebodohan
Dari penjelasan di atas, konteks kalimat syifa di atas banyak berbicara tentang urgensi menghilangkan kebodohan. Ini menunjukkan betapa pentingnya menghilangkan kebodohan. Sebab kebodohan acapkali menutupi kejernihan akal fikiran dan hati. Betapa banyak Al-Quran menggunakan term untuk berpikir merenungi segala ciptaan-Nya, sepeti afala ta’qilun, afala tatafakkarun, afala tadabbarun, dan sebagainya, tujunnya ialah tidak lain untuk tidak mengistiqamahkan kebodohan.
Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad menyebut kebodohan ini sebagai pangkal keburukan dan epistentrum kemudharatan. Tak heran, Syekh Ali bin Abu Bakar melukiskan kebodohan dalam senandung syairnya,
الجَهْلُ نَارٌ لِدِينِ الْمَرْءِ يَحْرِقُهُ # وَالْعِلْمُ مَاءٌ لِتِلْكَ النَّارِ يُطْفِيهَا
“Kebodohan atau kedunguan adalah api bagi agama seseorang yang membakarnya. Sedangkan ilmu merupakan air yang memadamkannya”.
Bukan tanpa alasan Syekh Ali bersyair terkait kebodohan, sebab sebagian persoalan manusia di dunia dikarenakan ketidakjernihan pikiran dalam memetakan mana akar persoalan, cabang permasalahan, pemicu atau faktor, dan solusinya. Semuanya digebyar uyah podo asine (digeneralisir atau dipukul rata) sehingga yang terjadi saling gontok-gontokkan alias debat kusir tanpa dilandasi keilmuan.
Kecaman bagi mereka yang bodoh juga ditegaskan Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad dalam Risalatul Mudzakarah-nya,
وَالْجَاهِلُ وَاقِعٌ فِي تَرْكِ الطَّاعَاتِ وَفِعْلِ الْمعاصِى شاءَ أمْ أَبَى فَإنَّهُ لَا يَدْرِي أَيَّ شَيْءِ الطَّاعَة التي أمَرَهُ اللهُ بِفِعْلِها ولَا أيَّ شيء المَعْصِية التي نَهاه اللهُ عَنْ ارْتِكَابِها وَلَا يَخْرُجُ مِنْ ظُلُمَاتِ الْجَهْلِ إلَّا بِنُورِ الْعِلْمِ
“Orang bodoh pasti jatuh dalam kubangan maksiat dan pengabaian ketaatan dengan sengaja atau ketidaksengajannya, tanpa ia tahu akan perbuatan yang diperintah oleh-Nya dan maksiat yang dilarang-Nya. Seseorang tidak akan keluar dari nestapa kebodohan kecuali hanya dengan cahaya ilmu”.
Melalui firman-Nya, sesungguhnya Allah swt hendak berujar, “ayolah hamba-hambaku, Al-Quran ini sudah paket komplit yang Aku turunkan padamu. Pedomanilah Al-Quran agar engkau selalu disembuhkan olehnya termasuk penyakit kebodohan. Sebab kebodohan itu merusak. Jangan engkau pelihara, cepat-cepat tekan Ctrl+delete agar terhapus selamanya”.
Kira-kira begitulah pesan Allah swt kepada kita para hamba-Nya yang amat disayang dan dicintai oleh-Nya. Semoga kita mampu menghilangkan kebodohan sehingga menjadi hamba yang sehat baik secara jasmani, ruhani, agama maupun akal pikiran. Wallahu A’lam